RADARMAKASSAR.co.id – Abdul Hayat Gani, Mantan Sekretaris Provinsi Sulawesi Selatan hingga saat ini menyesalkan sikap diam Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) yang belum membayar gaji dan tunjangan yang melekat miliknya.
Di mana haknya tersebut seharusnya dibayarkan sesuai dengan Surat Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Nomor 1252/B-KB.01.01/SD/J/2025, perihal Tindak Lanjut Penerusan Permohonan Perlindungan Hukum Abdul Hayat, tanggal 15 Januari 2025, dengan sifat segera. Surat ini ditandatangani oleh Kepala BKN, Halim.
Surat tersebut ditujukan kepada Sekretaris Daerah Pemprov Sulsel c.q. Kepala Badan Kepegawaian Daerah sebagai tindak lanjut dari surat Menteri Sekretaris Negara Nomor R-17/M/D-1/HK.06.02./01/2025, tanggal 7 Januari 2025.
Di mana isinya dengan tegas memerintahkan agar memenuhi hak kepegawaian berupa gaji dan tunjangan melekat yang belum dibayarkan dapat memperoleh penanganan lebih lanjut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan lebih dahulu berkoordinasi dengan Badan Keuangan Republik Indonesia.
Ia meminta agar Pemprov Sulsel segera memenuhi hak-hak gaji dan tunjangan melekat miliknya sebagai Sekprov Sulsel. Sebab, berdasarkan putusan Pengadilan, PTUN, dan Mahkamah Agung, dia masih berstatus sebagai Sekprov Sulsel.
“Saya ini kan kebetulan menang. Seandainya saya kalah, pasti saya kembalikan juga tunjangan-tunjangan saya sebagai staf ahli. Tetapi karena saya menang, hargai dong, penuhi hak-hak saya juga sebagai kompensasi,” ujarnya, Jumat, 11 April 2025.
Lebih lanjut dia mengatakan, gaji dan tunjangan melekatnya sebagai Sekprov yang tidak dibayarkan Pemprov Sulsel sudah sekitar tiga tahun. Untuk nilainya, dia taksir sudah mencapai miliaran rupiah.
“Saya diberhentikan itu bulan 22 November 2022, kalau dihitung sampai sekarang ya hampir tiga tahun. Nilainya itu sekitar Rp8 miliar. Yang saya tuntut ini baru mengenai hak-hak saya, belum soal tindakan melawan hukum. Itu selanjutnya,” ungkapnya.
Namun dia mengaku, Sekprov Sulsel saat ini Jufri Rahman, menyampaikan bahwa Pemprov telah memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan tunjangan Abdul Hayat sebagai staf ahli.
“Saya kan Sekprov, itu berdasarkan putusan pengadilan. Saya ini bukan staf ahli, meski pun saya sudah pernah membuat surat penyataan siap didemosi dari eselon 1.b ke eselon II.a OPD,” kata dia.
Namun begitu, Hayat Gani, tetap menolak dilantik sebagai eselon II, karena akan dilakukan setelah kasusnya inkrah. Padahal, dia membuat surat pernyataan pada 20 Juni 2024 dan inkrah pada Juli 2024.
“Saya tolak dilantik karena sudah inkrah, saya anggap pernyataan itu sudah tidak berlaku dong. Lagian, di surat pernyataan saya minta di eselon II.b OPD, staf ahli kan bukan OPD,” jelasnya.
Sebelumnya, Pj Gubernur Sulsel Prof Zudan Arif Fakhrulloh sempat melontarkan kalimat bahwa Abdul Hayat sudah aman dan tenang, karena memiliki komitmen turun ke eselon II.a. Hanya saja, Hayat menolak karena itu dilakukan setelah ada inkrah dari Mahkamah Agung.
“Pak Hayat sudah komitmen untuk turun ke eselon II. Jadi kalau masih mau menjadi eselon I, berarti melanggar komitmen. Jadi itu gak boleh” kata Zudan.
Kemudian, pada 25 Maret 2025 Pemprov Sulsel membalas surat dari BKN lewat surat nomor 800.1.10.3/2932/BKD, yang ditandatangani Sekprov Sulsel, Jufri Rahman. Surat tersebut menyatakan, menindaklanjuti Surat Kepala Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Kepegawaian atas nama Kepala BKN RI Nomor 1252/8KB.01.01/SD/J/2025 tanggal 15 Januari 2025.
Dalam surat tersebut memuat lima poin. Pertama, Pemprov Sulsel telah melakukan koordinasi dengan BPK RI Perwakilan Sulsel secara tertulis, melalui Surat Gubernur Sulsel Nomor 800.1.10.3/801/8.Hukum tanggal 31 Januari 2025, Perihal: Permohonan Pendapat.
Kedua, Kepala Perwakilan BPK RI memberikan jawaban atas surat tersebut angka 1 melalui Surat Nomor: 57/SXIX.MKS/3/2025 tanggal 11 Maret 2025, perihal jawaban permohonan pemberian pendapat perihal Abdul Hayat, yang memuat dua sub poin.
“Pertama, penyelesaian permasalahan kepegawaian bukan merupakan kewenangan dari BPK.”
Kedua, penentuan hak dan kewajiban pegawai ASN terutama dalam hal sengketa, diselesaikan melalui upaya administratif yaitu keberatan atau banding administratif, yang ditindaklanjuti oleh Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN).
Serta tahapan lebih lanjut pada PTUN terkait apabila diperlukan, dan selanjutnya agar pelaksanaan pemenuhan hak-hak kepegawaian berupa gaji dan tunjangan yang belum dibayarkan agar dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Poin ketiga dalam surat tersebut menyatakan, Abdul Hayat sejak diberhentikan dari jabatan Sekda tanggal 30 November 2022, kemudian dialihkan dalam jabatan Pelaksana Analis Pengembangan SDM Aparatur (Jabatan Administrasi), berdasarkan Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 821.25/61/2022, tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Pelaksana Di Lingkungan Pemprov Sulsel.
Keempat, sebagai pejabat pelaksana, Abdul Hayat telah diberikan hak-hak kepegawaian berupa gaji dan tunjangan, sesuai dengan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Terakhir, berdasarkan Keputusan Gubernur Sulsel Nomor: 800.1.3.3/17M111/2024 tanggal 1 Agustus 2024, Abdul Hayat telah diangkat dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dan telah diberikan hak-hak kepegawaian berupa gaji dan tunjangan sebagai Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Terpisah, Direktur Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel, Farid Mamma mengatakan, adanya putusan yang dimenangkan oleh Hayat Gani dari awal yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung, maka putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Berdasarkan Pasal 97 ayat (9) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, kata Farid, pemerintah harus memulihkan hak-hak yang hilang akibat keputusan yang dibatalkan, termasuk pembayaran gaji dan tunjangan yang sebelumnya tidak diberikan.
“Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah, dalam hal ini pemerintah provinsi,” ucap Farid.
Jika Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) tidak melaksanakan putusan dalam waktu 60 hari kerja, kata dia, maka dapat dikenakan sanksi administratif atau denda (dwangsom), sesuai Pasal 116 UU PTUN.
“Selain itu, ketidakpatuhan juga dapat diumumkan di media massa sebagai bentuk tekanan publik,” terang Farid.