Warga di kawasan industri tepatnya di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan kini tengah menghadapi dilema besar. Keberadaan smelter nikel milik PT Huadi Nickel Alloy Indonesia di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) telah memunculkan dampak nyata bagi masyarakat sekitar. Dari debu yang terus menempel di rumah warga, sumur yang mengering, hingga ketidakpastian nasib lahan dan relokasi. Dalam situasi ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel melalui Komisi D menyatakan dukungan penuh terhadap rencana relokasi warga terdampak. Namun dengan syarat tegas: masyarakat harus memperoleh “ganti untung”, bukan sekadar “ganti rugi” saja.
“Relokasi Smelter bukan hanya soal memindahkan warga ke lokasi baru, tapi bagaimana menata masa depan mereka agar tidak merasa kalah dalam pertarungan industri.”
Dampak Industri yang Mengusik Kehidupan Warga Sekitar
Kawasan KIBA di Desa Papan Loe, Borong Loe, dan Pa’jukkukang telah menjadi sorotan akibat aktivitas smelter yang disebut menimbulkan debu halus, getaran, dan sumur warga yang mengering. Warga menyampaikan bahwa debu menempel di lantai rumah, udara menjadi kabur, dan kondisi lingkungan tidak lagi seperti semula. Tanah yang dahulu produktif pun sering kehilangan fungsi.
Fenomena ini menciptakan tekanan sosial yang besar. Warga merasa bahwa pembangunan industri Smelter yang seharusnya membawa manfaat ternyata juga membawa beban. Dalam rapat dengar pendapat (RDP), Sekretaris Komisi D DPRD Sulsel, Abdul Rahman, menyampaikan bahwa proses pembebasan lahan dan relokasi harus ditangani serius. Ia menegaskan bahwa kompensasi yang diberikan tidak boleh kurang dari nilai keadilan sosial dan ekonomi.
“Kalau warga hanya mendapatkan ganti rugi saja, mereka tetap kalah dalam posisi tawar. Industri boleh untung, tapi masyarakat jangan sampai jadi korban.”
Relokasi sebagai Solusi atau Sekadar Pemindahan?
Relokasi Smelter sering dianggap sebagai jalan keluar ketika dampak industri sudah tidak bisa lagi diabaikan. Namun, menurut DPRD Sulsel, relokasi tanpa perencanaan yang matang bisa malah memperparah kondisi warga. Warga bukan hanya dipindahkan, tetapi harus menerima kompensasi yang adil, fasilitas yang layak, dan akses ekonomi yang terjamin di lokasi baru.
Masalah yang muncul antara lain: apakah lahan baru telah terpenuhi infrastrukturnya, bagaimana akses pekerjaan di lokasi baru, apakah fasilitas sosial dan transportasi memadai, dan apakah warga yang terdampak bersama-sama mendapat keuntungan bukan hanya perusahaan.
Warga berharap agar “pemindahan” ini diikuti dengan “kenaikan kualitas hidup”. Karena jika hanya dipindahkan ke tempat baru dengan kondisi yang sama atau bahkan lebih buruk, maka mereka bisa merasa kehilangan lebih banyak.
“Relokasi Smelter yang baik adalah ketika kita tidak hanya memberi rumah baru kepada warga, tapi memberi masa depan yang lebih baik.”
Tuntutan “Ganti Untung” dan Keadilan Sosial

Istilah “ganti untung” menjadi kunci dalam rencana relokasi ini. Tidak cukup hanya membayar kompensasi sebatas nilai tanah atau rumah yang terdampak, tetapi juga memastikan warga memperoleh peluang ekonomi baru, perbaikan fasilitas, dan jaminan bahwa mereka tidak tertinggal akibat hadirnya industri.
Abdul Rahman secara eksplisit menegaskan bahwa pihaknya tidak mau hanya melihat perusahaan yang untung besar sementara masyarakat hanya menerima kompensasi kecil.
Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan industri harus hadir dengan tanggung jawab sosial yang nyata. Jika smelter hadir, maka harus ada kontribusi langsung kepada masyarakat sekitar bukan sekadar toleransi dampak.
“Pembangunan tanpa keadilan adalah ketidakadilan dalam waktu yang lama.”
Peran Pemerintah Daerah dan Perusahaan
DPRD menegaskan bahwa tanggung jawab relokasi tidak hanya ada pada perusahaan, tetapi juga di tangan pemerintah daerah. Mulai dari pembebasan lahan yang adil, penyerahan lokasi dengan fasilitas yang layak, hingga penyusunan program sosial yang mendukung transisi warga ke kehidupan baru.
PT Huadi sebagai perusahaan industri besar di KIBA juga mendapat sorotan. Warga dan DPRD menuntut perusahaan untuk transparan dalam membiayai relokasi, menyediakan perumahan yang layak, dan menghadirkan skema ekonomi baru bagi warga terdampak. Tanpa itu, kehadiran industri bisa saja memperkuat kesenjangan.
“Industri boleh maju, tapi kalau rakyat yang tinggal di sekitarnya jadi korban, maka pembangunan itu gagal secara kemanusiaan.”
Tantangan Lingkungan dan Sosial yang Mengiringi Industri
Masalah relokasi tidak lepas dari konteks lingkungan yang tidak stabil. Laporan mencatat bahwa beberapa sumur warga mengering, ada debu halus yang menempel di rumah, dan komunitas merasa tak lagi aman tinggal dekat kawasan industri.
Semua ini menuntut transformasi yang lebih besar daripada sekadar memindahkan lokasi. Harus ada pemulihan lingkungan, jaminan kesehatan masyarakat, dan pengelolaan limbah yang benar agar dampak tidak terus berulang.
DPRD menegaskan bahwa relokasi harus berjalan bersamaan dengan perbaikan lingkungan agar warga bisa benar-benar pulih dan tidak hanya dipindahkan ke kondisi baru yang bermasalah.
“Relokasi tanpa rekonstruksi lingkungan adalah memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.”
Implikasi Bagi Pembangunan Industri di Indonesia Timur
Kasus ini menjadi sinyal penting bagi pembangunan industri di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi Selatan. Pemerintah dan perusahaan harus menyadari bahwa keberadaan industri besar membawa tanggung jawab sosial dan lingkungan yang tidak bisa diabaikan.
DPRD Sulsel melalui Komisi D menunjukkan bahwa lembaga legislatif memiliki fungsi pengawasan yang kuat terhadap dampak industri bukan hanya terhadap produksi dan investasi, tetapi juga terhadap kesejahteraan masyarakat.
Konsep “untung bersama” menjadi hal yang harus diusung secara konsisten agar investasi industri tidak menciptakan dua kelas sosial di sekitar kawasan, yaitu kelas pekerja dan kelas terpinggirkan.
“Sulawesi Timur bisa menjadi contoh bahwa industrialisasi bisa berjalan bersama kesejahteraan masyarakat. Tapi itu hanya terjadi jika ada kemauan kuat untuk berbagi, bukan mengambil saja.”
Harapan Warga dan Rencana Aksi ke Depan
Warga terdampak menunggu realisasi yang nyata. Beberapa dari mereka telah mempersiapkan dokumen lahan, membuat daftar hak, dan berkoordinasi dengan pemerhati lingkungan. Mereka berharap bahwa proses relokasi berjalan cepat dan adil.
DPRD Sulsel juga berencana memanggil perusahaan dan pemerintah daerah untuk mempercepat proses dan mengawasi pelaksanaan kesepakatan. Garis besar prioritas yang disepakati adalah: pembebasan lahan yang transparan, perumahan layak, fasilitas sosial di lokasi baru, kesempatan kerja bagi warga, dan mekanisme pengawasan dampak lingkungan.
“Kalau warga bisa pindah ke tempat baru yang punya fasilitas lebih baik, akses ekonomi lebih terbuka, dan lingkungan lebih sehat maka relokasi itu berhasil.”
Antara Investasi dan Keadilan Sosial
Pembangunan smelter ini sejatinya membawa potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi lokal: lapangan pekerjaan, infrastruktur, dan pendapatan daerah. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, bisa juga membawa penderitaan lingkungan dan sosial.
DPRD Sulsel mengingatkan bahwa investasi besar tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan hak warga. Sebaliknya, investasi harus menjadi katalis bagi perubahan yang lebih baik bagi masyarakat sekitar.
“Ketika pembangunan hanya memikirkan produksi, bukan kehidupan, maka kita sedang membangun tanpa kemanusiaan.”
Momentum Pengawasan Publik
Relokasi warga terdampak ini sejatinya menjadi momen penting bagi penguatan pengawasan publik di Indonesia. Publik, melalui media dan organisasi masyarakat sipil, kini mulai menyoroti dengan serius bagaimana relokasi dan kompensasi dijalankan.
Transparansi dalam proses relokasi, keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan, dan mekanisme pertanggungjawaban perusahaan menjadi syarat mutlak untuk memastikan keadilan di luar kata-kata.
DPRD Sulsel menegaskan bahwa bantuan teknis, pendampingan hukum, dan akses informasi harus tersedia bagi warga terdampak agar mereka tidak kehilangan haknya.
“Ketika masyarakat punya informasi dan akses, maka mereka tidak lagi menjadi objek relokasi, tapi subjek perubahan.”
Tantangan yang Belum Terselesaikan
Meski banyak langkah telah disepakati, tantangan besar masih menanti di depan. Beberapa di antaranya adalah memastikan kecepatan pelaksanaan relokasi di Smelter, memperjelas status lahan baru, memastikan kesejahteraan ekonomi warga di lokasi relokasi, dan memulihkan kondisi lingkungan yang terdegradasi.
DPRD juga mengingatkan bahwa jika relokasi tertunda, maka risiko konflik sosial meningkat. Warga bisa merasa dikesampingkan, kehilangan lahan, dan tidak mendapat jaminan masa depan.
“Relokasi yang tertunda adalah relokasi yang gagal. Setiap hari yang berlalu di lokasi terdampak adalah hari warga yang rentan.”
Kesempatan untuk Membangun Keadilan Industri
Kasus ini memberi peluang besar bagi semua pihak pemerintah, perusahaan, dan warga untuk membuktikan bahwa pembangunan industri bisa berjalan dengan keadilan.
Perusahaan Smelter harus membuktikan komitmennya bukan hanya melalui produksi, tetapi melalui kesejahteraan sosial. Pemerintah harus membuktikan bahwa kebijakan industrinya tidak mengabaikan rakyat. Warga harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pihak terdampak, tapi mitra strategis pembangunan.
“Industri nikel Smelter bisa mengubah wajah Sulawesi Selatan. Tapi wajah yang kita ubah harus adalah wajah yang penuh martabat bagi warga.”
Jalan ke Depan: Bersama Membangun Ekonomi yang Adil
Jika relokasi berjalan sesuai rencana dan warga benar-benar mendapatkan keuntungan yang layak, maka kasus PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia foto contoh sukses bagi industri lain di kawasan Indonesia timur. Tetapi jika relokasi gagal baik dari sisi pelaksanaan maupun keadilan maka dampaknya akan panjang dan tak hanya dirasakan oleh satu komunitas.
DPRD Sulsel berada di garis pengawasan. Tugasnya bukan hanya menuntut, tetapi juga memfasilitasi agar semua kesepakatan terlaksana. Apalagi masyarakat menuntut agar relokasi bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi transisi kehidupan yang lebih baik.
“Relokasi yang sukses bukan ketika rumah baru telah berdiri, tetapi ketika warga baru itu tertawa lega, anaknya sehat, dan tanahnya tidak lagi menjadi beban.”
Setiap langkah ke depan harus dilalui dengan transparansi, partisipasi masyarakat, dan komitmen moral dari semua pihak. Industri boleh maju, tapi keadilan sosial jangan tertinggal. Ketika rakyat tidak hanya menjadi saksi pembangunan, tetapi penerima manfaat utuh, maka industrialisasi akan benar-benar menjadi alat kemajuan bersama — bukan alat penindasan.






