MAKASSAR — Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) secara tegas menolak aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penyelenggaraan produk asuransi kesehatan.
Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang ditandatangani oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun, Ogi Prastomiyono, pada 19 Mei 2025 dan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Salah satu poin utama dalam aturan ini adalah kewajiban peserta asuransi untuk menanggung minimal 10 persen dari total biaya pengajuan klaim atau biaya pengobatan, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Co-payment ini berlaku untuk klaim hingga Rp300 juta (rawat jalan) dan Rp3 juta (rawat inap) per klaim.
Ketua FKBI, Tulus Abadi, menilai aturan ini tidak adil karena cenderung berpihak kepada industri asuransi dan justru merugikan konsumen. Ia juga mengkritik proses penyusunan aturan yang dinilai tidak melibatkan perwakilan dari lembaga konsumen.
“Dalam catatan kami, aturan ini sangat bias industri. Tidak melibatkan konsumen, dan hanya mengakomodasi kepentingan perusahaan asuransi,” ujar Tulus, Selasa (10/6/2025).
Tulus juga mempertanyakan narasi yang menyebut co-payment diperlukan untuk mengurangi moral hazard dari peserta. Menurutnya, justru industri asuransi yang sering melakukan praktik tidak adil melalui penolakan klaim dengan alasan yang dicantumkan dalam klausula baku—yang menurut UU Perlindungan Konsumen No.8/1999 merupakan pelanggaran hukum.
“Yang lebih sering melakukan moral hazard adalah perusahaan asuransi sendiri. Banyak dalih penolakan klaim diselipkan dalam kontrak polis yang tidak transparan,” tegasnya.
Ia mendesak agar OJK fokus mereformasi format polis asuransi untuk menghapus praktik klausula baku, bukan malah menerbitkan regulasi yang melemahkan perlindungan terhadap konsumen.
Tulus juga memperingatkan bahwa aturan ini berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk berasuransi, terlebih di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap industri akibat kasus gagal bayar dan skandal korupsi.
“SEOJK No.7/2025 bukan hanya merugikan konsumen, tapi juga kontraproduktif bagi keberlangsungan industri asuransi itu sendiri,” ucapnya.
Sebaliknya, OJK menyebut aturan ini dibuat demi efisiensi pembiayaan layanan kesehatan yang tertekan oleh tren inflasi medis global.
Kepala Eksekutif OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan bahwa co-payment bertujuan membagi risiko secara lebih adil dan menjaga keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan.
“Efisiensi ini diperlukan agar layanan kesehatan tetap terjangkau dalam jangka panjang, baik lewat skema nasional maupun asuransi komersial,” ujarnya.
Senada, Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Ismail Riyadi, menyatakan bahwa mekanisme ini juga bisa membuat premi asuransi lebih terjangkau dan mendorong penggunaan layanan medis yang lebih selektif dan berkualitas.
“Skema co-payment telah diterapkan di banyak negara dan terbukti meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab peserta dalam menggunakan layanan kesehatan,” jelas Ismail.
Namun, skema ini dikecualikan untuk produk asuransi mikro. Sementara untuk skema layanan kesehatan terkelola (managed care), aturan berlaku di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
Aturan ini juga memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi, termasuk yang berbasis syariah, untuk meninjau ulang premi berdasarkan riwayat klaim dan tingkat inflasi medis, baik pada masa perpanjangan polis maupun di luar periode tersebut, dengan persetujuan peserta. (**)