Penegakan hukum di Sulawesi Selatan kembali mencuri perhatian publik setelah Kejati Sulsel menyatakan kesiapannya untuk mengusut dugaan mark up dan gratifikasi dalam proyek pengadaan buku pendamping untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Takalar. Dugaan ini muncul setelah ditemukan adanya selisih harga yang signifikan antara harga pasar dengan harga yang dibebankan kepada sekolah, serta indikasi keterlibatan oknum dalam proses pengadaan.
Sebagai institusi penegak hukum yang selama ini aktif dalam pemberantasan korupsi di wilayah provinsi, Kejati Sulsel menegaskan bahwa mereka tidak akan menutup mata terhadap setiap indikasi penyimpangan, termasuk di sektor pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas kesejahteraan anak bangsa. Langkah cepat ini pun disambut luas oleh masyarakat yang menginginkan transparansi dalam setiap proyek publik.
“Jika anggaran pendidikan bocor lewat mark up buku yang seharusnya mendidik, kita bukan hanya rugi uang, tetapi rugi masa depan anak-anak kita.”
Latar Belakang Kasus Pengadaan Buku Pendamping
Program pengadaan buku pendamping untuk SD dan SMP di Takalar sejatinya dimaksudkan untuk memperkaya literasi pelajar dan memperluas referensi pembelajaran. Namun, dalam pelaksanaannya, muncul banyak keluhan dari kepala sekolah dan tenaga pendidik terkait harga serta mekanisme pengadaan.
Beberapa sekolah mengaku dipaksa membeli buku dari penyedia tertentu dengan harga yang jauh di atas harga pasar. Buku-buku tersebut bahkan tidak sesuai dengan kurikulum yang sedang diterapkan dan akhirnya hanya menumpuk di perpustakaan tanpa digunakan secara aktif. Selain itu, proses pengadaan disebut tidak melalui mekanisme lelang yang transparan, melainkan diarahkan kepada satu penyedia saja.
Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa ada praktik mark up dalam penentuan harga, serta gratifikasi yang melibatkan pihak tertentu. Para pengamat menilai, kasus semacam ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal di lingkungan pendidikan daerah.
“Pengadaan buku seharusnya mendukung semangat belajar, bukan menjadi beban keuangan bagi sekolah dan lahan subur bagi oknum yang mencari keuntungan.”
Kronologi Munculnya Dugaan dan Tindakan Kejati Sulsel
Laporan terkait proyek pengadaan buku di Takalar pertama kali muncul setelah sejumlah kepala sekolah SD dan SMP menyampaikan keberatan mereka terhadap kewajiban pembelian buku dari satu rekanan tertentu. Mereka menilai, selain harga yang tidak masuk akal, buku-buku tersebut tidak sesuai kebutuhan siswa.
Keluhan itu berlanjut ke masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kemudian melakukan investigasi independen. Dari hasil temuan awal, ditemukan adanya selisih harga mencapai hampir dua kali lipat dari harga pasar. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Kejati Sulsel sebagai laporan resmi.
Respons Kejati Sulsel Tentang Proyek Makassar
Menanggapi laporan tersebut, Kejati Sulsel menyatakan siap mengusut dugaan mark up dan gratifikasi yang terjadi. Langkah ini dimulai dengan pengumpulan data awal, pemanggilan saksi-saksi, serta audit terhadap dokumen pengadaan yang diduga bermasalah. Kejati menegaskan bahwa mereka akan bekerja profesional dan transparan.
“Kami siap menindaklanjuti setiap laporan dugaan penyimpangan, terutama yang melibatkan dana publik di sektor pendidikan. Tidak ada yang kebal hukum.”
Langkah tegas ini memberikan harapan baru bagi masyarakat, terutama bagi para tenaga pendidik yang selama ini merasa tidak berdaya menghadapi sistem pengadaan yang tidak adil.
Aktor dan Pihak yang Diduga Terlibat
Dari hasil penelusuran awal, terdapat sejumlah pihak yang berpotensi terlibat dalam dugaan mark up dan gratifikasi tersebut. Mereka terdiri atas:
- Pihak Dinas Pendidikan Daerah, yang berperan dalam menentukan kebijakan pengadaan dan kemungkinan melakukan intervensi terhadap pemilihan penyedia.
- Penyedia Buku, yang diduga memberikan harga tinggi dan keuntungan tambahan kepada oknum tertentu.
- Kepala Sekolah, yang menjadi target kebijakan pengadaan dengan tekanan untuk membeli buku dari penyedia tertentu.
- Pihak Perantara atau Broker, yang kemungkinan besar menjadi penghubung antara pihak dinas dan penyedia dalam proses gratifikasi.
Kejati Sulsel kini menelusuri dokumen kontrak pengadaan, aliran dana, hingga komunikasi antar pihak untuk memastikan apakah benar ada persekongkolan yang menyebabkan kerugian negara. Jika terbukti, pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi, termasuk penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi.
Dampak Terhadap Dunia Pendidikan Takalar
Kasus dugaan mark up dan gratifikasi ini tentu berdampak besar terhadap kepercayaan publik pada dunia pendidikan, khususnya di Kabupaten Takalar. Para guru dan kepala sekolah merasa cemas bahwa setiap program pendidikan yang seharusnya membawa manfaat justru menjadi beban.
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan penting seperti perbaikan fasilitas dan pengembangan kegiatan belajar, justru tersedot untuk membeli buku yang tidak dibutuhkan. Akibatnya, kegiatan pembelajaran tidak mengalami peningkatan kualitas yang berarti.
Lebih dari itu, masyarakat mulai mempertanyakan akuntabilitas lembaga pendidikan dan integritas pemerintah daerah. Dalam situasi seperti ini, kehadiran Kejati Sulsel menjadi harapan baru agar keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
“Setiap rupiah dari anggaran pendidikan harusnya mencerdaskan anak-anak, bukan memperkaya segelintir orang. Ketika integritas hilang di dunia pendidikan, maka masa depan bangsa ikut terancam.”
Sorotan Publik dan Reaksi Pemerintah Daerah
Publik menyambut baik langkah cepat Kejati Sulsel. Banyak pihak menilai bahwa inilah momentum untuk membongkar praktik-praktik lama yang kerap terjadi di daerah. Pemerintah Kabupaten Takalar pun kini berada di bawah tekanan publik untuk membuka semua data pengadaan secara transparan.
Beberapa pejabat daerah sempat memberikan klarifikasi bahwa proyek buku pendamping dilakukan untuk mendukung literasi siswa, namun pernyataan ini dianggap belum cukup. Publik menuntut adanya audit terbuka dan sanksi tegas bagi siapa pun yang terbukti melakukan penyimpangan.
Selain itu, sejumlah kepala sekolah yang berani bersuara berharap mereka tidak akan mendapat intimidasi atau mutasi sebagai dampak pelaporan. Kasus ini menjadi ujian serius bagi keberanian aparat daerah dalam menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Kaitan dengan Proyek-Proyek di Wilayah Makassar
Menariknya, kasus di Takalar ini tak berdiri sendiri. Di wilayah Makassar dan sekitarnya, juga tengah berlangsung berbagai proyek besar yang nilainya mencapai triliunan rupiah, seperti pembangunan bendungan, infrastruktur jalan, dan program pendidikan digital. Semua proyek tersebut kini menjadi sorotan karena publik khawatir pola yang sama bisa terjadi.
Kejati Sulsel memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan semua proyek, baik yang bernilai besar maupun kecil, berada di jalur yang benar. Jika pengadaan buku di Takalar saja bisa bermasalah, bagaimana dengan proyek raksasa di Makassar yang melibatkan dana jauh lebih besar?
Hal ini menunjukkan pentingnya sistem pengawasan yang menyeluruh. Tidak hanya menyoroti proyek-proyek strategis nasional, tetapi juga memastikan bahwa setiap kegiatan di tingkat daerah terlaksana dengan prinsip good governance.
“Kasus Takalar menjadi alarm bagi seluruh daerah. Integritas dalam pengelolaan proyek publik harus dijaga, mulai dari ruang kelas hingga gedung megah di kota.”
Analisis Hukum dan Tantangan Pembuktian
Secara hukum, dugaan mark up dan gratifikasi masuk dalam ranah tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tantangan utamanya terletak pada pembuktian niat jahat, aliran dana, serta peran masing-masing pihak.
Kejati Sulsel dihadapkan pada tugas berat untuk membongkar jaringan yang mungkin melibatkan lebih dari satu instansi. Diperlukan audit forensik yang mendalam untuk menelusuri selisih harga dan transaksi keuangan yang tidak wajar. Meski begitu, keberanian Kejati Sulsel mengumumkan komitmennya untuk mengusut kasus ini menjadi langkah awal yang positif.
Selain itu, penting untuk meninjau ulang regulasi pengadaan barang dan jasa di sektor pendidikan agar lebih adaptif terhadap kebutuhan sekolah dan tidak mudah dimanipulasi oleh oknum tertentu. Pengawasan internal juga harus diperkuat agar setiap pengadaan melewati proses evaluasi terbuka.
Harapan Publik Terhadap Proses Hukum
Masyarakat berharap agar kasus ini tidak berakhir di meja penyelidikan tanpa hasil. Kejelasan proses hukum akan menjadi penentu kepercayaan publik terhadap Kejati Sulsel. Publik menuntut agar setiap pihak yang terlibat, baik penyedia maupun pejabat daerah, diberikan sanksi sesuai ketentuan.
Di sisi lain, guru dan kepala sekolah berharap ada kebijakan baru yang memberi mereka otonomi dalam menentukan kebutuhan pembelajaran di sekolah. Mereka ingin bebas dari tekanan pihak luar dan lebih fokus pada peningkatan mutu pendidikan.
“Pendidikan adalah fondasi bangsa. Jika di dalamnya terdapat praktik kotor, maka bangsa ini kehilangan pondasi moralnya.”
Refleksi dan Catatan untuk Pemerintah Daerah
Kasus di Takalar menjadi cermin bagi daerah lain bahwa transparansi bukan hanya slogan, melainkan kewajiban moral. Pemerintah daerah harus memastikan setiap proyek, sekecil apa pun nilainya, dikelola secara profesional dan sesuai prosedur. Lembaga pendidikan pun harus diberi ruang untuk menentukan kebutuhan mereka tanpa campur tangan pihak yang memiliki kepentingan.
Lebih jauh, pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat sinergi dalam pengawasan anggaran pendidikan. Setiap rupiah dari kas negara harus dapat dipertanggungjawabkan. Pengawasan oleh masyarakat juga perlu ditingkatkan agar tidak ada lagi ruang bagi praktik-praktik gelap di balik proyek pendidikan.
Langkah Kejati Sulsel mengusut kasus dugaan mark up dan gratifikasi di Takalar patut diapresiasi sebagai upaya menjaga marwah hukum di bidang pendidikan. Meski prosesnya mungkin panjang, masyarakat berharap bahwa kebenaran akan terungkap, dan keadilan akhirnya berdiri tegak di atas kepentingan publik.