RADARMAKASSAR.co.id – Demi mempercepat kemajuan Indonesia dalam mencapai target nasional dan global terkait wasting pada anak balita, UNICEF mendukung Kementerian Kesehatan meluncurkan kampanye kesadaran nasional akan wasting di tahun 2023.
Sebagai bagian dari kampanye nasional ini, kegiatan roadshow ke beberapa kota, termasuk Kota Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) , dilaksanakan pada tanggal 7-8 November 2023.
Acara roadshow ini merupakan bagian integral dari strategi kampanye nasional yang lebih luas yang diintegrasikan dengan peringatan hari Kesehatan Nasional 2023.
Khusus di Kota Makassar, UNICEF Bersama Kementerian Kesehatan, Kantor Staff Presiden (KSP), bekerjasama dengan pemangku kepentingan di Sulsel, seperti TP-PKK & Bunda PAUD, Jenewa Madani, dan ICONS UNHAS sebagai Pusat Unggulan Regional Pencegahan, Deteksi Dini dan Tata laksana Wasting di Sulsel menyelenggarakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan wasting, termasuk upaya pencegahan, deteksi dini dan tata laksana, bila pencegahan gagal.
Kegiatan roadshow di Kota Makassar ini, sekaligus sebagai momentum untuk penandatanganan komitmen bersama pemangku kepentingan, yakni Pemprov Sulsel, ICONS-UNHAS dan UNICEF untuk mendukung upaya pemerintah menuju Sulsel Bebas Wasting di tahun 2026.
Di mana Penanganan Stunting dan Gizi Buruk, adalah satu dari delapan Program Prioritas, PJ Gubernur Sulsel 2023 -2026. Adapun tema kegiatan roadshow ini adalah “Ayo, Cegah & Obati Wasting Biar Ga Stunting!”
Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Sulawesi dan Maluku Henky Widjaja mengatakan, wasting atau gizi kurang/buruk mengancam anak-anak di Sulsel.
Berdasarkan asil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan, prevalensi wasting menyentuh angka 8,3 persen. Jumlahnya naik dari tahun lalu yang hanya 7,8 persen.
Dari data SSGI itu, lebih dari 70 persen kabupaten di Sulsel mempunyai prevalensi wasting lebih tinggi dibanding nasional, yakni 7,7 persen. Kabupaten Maros berada pada peringkat pertama dengan angka prevalensi wasting 13,6 persen.
“Ini bagian dari program kami, mengangkat isu wasting di kampus. Wasting ini masalah serius. Kita mau pastikan SDM yang ada di kampus sudah paham, sehingga jika lulus bisa memberi pikiran yang jelas (kepada masyarakat terkait isu ini,” katanya dalam sambutan di Auditorium Prof. Amiruddin, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu, (08/11/2023).
Henky mengatakan, anak yang menderita wasting memiliki berat badan rendah jika dibandingkan tinggi badan dan lingkar lengan atas. Ciri-cirinya, tampak kurus, tidak nafsu makan atau menyusu, bengkak pada kedua punggung kaki, dan tampak sakit berat atau terlalu lemah untuk menyusu.
Wasting bisa disebabkan banyak faktor. Mulai dari anak tidak mendapat ASI eksklusif, makanan pendamping ASI tidak cukup, balita menderita sakit namun lambat ditangani, imunisasi tidak lengkap, tidak menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta lingkungan rumah yang kotor.
Anak yang menderita wasting akan mudah terkena penyakit seperti infeksi karena kekebalan tubuh rendah. Anak juga akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik sehingga berisiko stunting. Juga akan berdampak pada perkembangan otak, sampai menyebabkan risiko kematian lebih tinggi.
Untuk menangkal persoalan wasting ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Seperti pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. Dilanjutkan pemberian ASI hingga 2 tahun atau lebih.
“Ini juga karena ibunya tidak dapat mendapat gizi yang bagus saat kehamilan. Ada juga kecendrungan ibu enggan menyusui karena tidak yakin dengan gizinya. Oleh karena itu, harus ada dukungan keluarga kepada ibu,” sambung Henky.
Langkah selanjutnya, memberikan anak makanan bergizi seimbang sesuai umur. Kemudian melengkapi imunisasi dasar dan memberikan vitamin A. Rajin ke Posyandu dan menerapkan perilaku bersih dan sehat.
Di tempat yang sama, Ketua Tim Kerja Kesehatan Balita dan Anak Prasekolah Kementerian Kesehatan RI, dr Muhammad Yusuf menjelaskan jika upaya pencegahan sejak dini bisa dilakukan dengan melihat berat badan anak.
Jika tiap bulan tak ada penambahan berat badan, orang tua sudah patut khawatir. Mulai dari berat badan tidak naik saja, keluarga, nakes, kader (posyandu) itu sudah harus khawatir.
“Karena itu bukan sesuatu yang normal. Harus segera ke petugas kesehatan, untuk dinilai status gizinya,” ucapnya.
Sementara itu, Senior Advisor Executive Office of the President (KSP) Republic of Indonesia, Brian Sriprahastuti menerangkan terdapat istilah windows opportunity atau dalam usia 2 tahun anak yang mengalami wasting tidak ditangani, maka akan berpotensi mengalami stunting.
“Wasting, bisa bentuknya gizi buruk. Jika tidak diatasi berakibat pada resiko kematian. Beda dengan stunting. Inilah kenapa ini penting. Pertama risiko kematian, kedua bisa stunting, dan ketiga kecenderungannya naik,” bebernya.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS, Prof. dr. Veni Hadju, M.Sc, Ph.D mengatakan, mengenai wasting dan stunting itu harus edukasi dulu kepada orang tuanya. Di antaranya mengenai berat badan anak yang naik atau turun. Itulah sebabnya mengapa orang tua disuruh membawa anaknya ke posyandu.
“Di sana ditimbang dan diukur badannya, sehingga bisa dikategorikan ini wasting apa tidak. Dulu posyandu mengukur berat badan saja, sekarang sudah ada ukur tinggi,” tuturnya.
Kata Prof Veni, beda kurus dan pendek. Kalau pendek ini penyebabnya sebelumnya atau kronik seperti dalam kandungan. Sementara kalau wasting itu artinya kondisi saat ini, ketika anak tidak dirawat dengan baik maka terjadi hal ini.
“Makanya perlu juga diberikan edukasi kepada orang tua, terutama pada ibunya,” tuturnya.
Meskipun Gerakan Nasional Stunting telah meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang stunting, masih terdapat kesenjangan pengetahuan dan kesadaran yang signifikan di antara masyarakat dan pemangku kepentingan utama mengenai wasting dan kaitannya dengan stunting.
Mewakili Pj Gubernur, Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, Dr. dr. HM Ishaq Iskandar, M.Kes., mengatakan penanganan Stunting dan Gizi Buruk, adalah satu dari delapan Program Prioritas.
Hasil kajian menunjukkan kesenjangan yang signifikan terkait pengetahuan tentang risiko mortalitas dan morbiditas, kecacatan, dampak wasting terhadap stunting dan sebaliknya, serta pencegahan, identifikasi dini, dan pengobatan anak wasting.
Selain itu, meskipun ada upaya besar untuk meningkatkan layanan PGBT secara nasional, cakupan dan kualitas perawatan untuk anak-anak dengan gizi buruk di Indonesia masih belum optimal.
Kurang dari 15 persen anak-anak gizi buruk menerima pengobatan setiap tahun dibandingkan dengan perkiraan beban kasus lebih dari 760.000 kasus per tahun.(*)