Raih Akreditasi Institusi, Rektor UIT Harap Marwah Kampus Kembali Berjaya Ruang senat Universitas Indonesia Timur siang itu dipenuhi senyum yang lama dirindukan. Sebuah papan akrilik berbingkai kayu terpajang di depan podium, menandai babak baru perjalanan kampus yang berbasis di Makassar ini. Surat keputusan akreditasi institusi resmi diterima, disambut tepuk tangan civitas academica yang berdiri serentak. Di barisan depan, rektor UIT menyampaikan harapannya agar marwah kampus kembali berjaya, bukan semata pada simbol dan seremoni, melainkan pada mutu pendidikan yang terasa hingga ke ruang kelas, laboratorium, dan pengabdian masyarakat. Di udara, ada rasa lega bercampur tekad, karena capaian akreditasi selalu menjadi awal dari kerja yang lebih besar.
“Akreditasi ibarat paspor. Ia membuka gerbang, tetapi perjalanan yang membuat kita dihormati. Paspor ini baru bermanfaat bila kita benar benar berangkat.”
Momentum yang Mengubah Cara Pandang
Akreditasi institusi bukan sekadar label administratif. Di mata mahasiswa dan orang tua, ia adalah penanda kualitas dan kepastian layanan akademik. Bagi dosen, akreditasi menjadi landasan untuk mengembangkan penelitian dan memperluas jejaring akademik. Momentum ini mengubah cara pandang internal, dari sekadar menjaga operasional harian menjadi merencanakan lompatan jangka menengah. UIT menempatkan akreditasi sebagai kerangka tata kelola, bukan proyek sesaat.
Pada tataran praktis, perubahan cara pandang terlihat dari cara unit unit kerja menyusun rencana. Setiap fakultas menautkan target kurikulum, kegiatan kemahasiswaan, dan agenda riset ke indikator mutu yang konkret. Akreditasi menjadi kompas yang menjaga arah. Tidak lagi ada program yang berjalan sendiri, semua harus menyumbang pada mutu lulusan dan reputasi lembaga.
Rektor Menghamparkan Peta Jalan
Dalam pidatonya, rektor memaparkan peta jalan tiga tahun ke depan. Fokusnya terang benderang. Penguatan tata kelola akademik, penjaminan mutu berkelanjutan, pembaruan kurikulum berbasis kebutuhan industri dan masyarakat, serta revitalisasi ekosistem riset dan inovasi yang berdampak. Peta jalan ini tidak dibuat di ruang tertutup. Sebelumnya, tim task force akreditasi telah menggelar lokakarya bersama dekan, kepala program studi, pimpinan unit layanan, hingga perwakilan organisasi mahasiswa. Dengan cara ini, semua merasa memiliki peran, bukan sekadar menerima instruksi dari atas.
Peta jalan juga menggariskan keseimbangan yang sehat. Selain mengejar publikasi dan kolaborasi riset, kampus memprioritaskan perbaikan pengalaman belajar mahasiswa. Mulai dari layanan perpustakaan yang diperluas jam bukanya, akses basis data ilmiah, hingga penataan ruang diskusi dan co working yang nyaman. Rektor menegaskan, reputasi itu kombinasi mutu akademik dan kebahagiaan belajar.
Penjaminan Mutu sebagai Nadi Organisasi
Salah satu pelajaran terbesar dari proses akreditasi adalah pentingnya sistem penjaminan mutu internal yang hidup. UIT membangun siklus sederhana namun disiplin, rencanakan, jalankan, evaluasi, dan perbaiki. Setiap program studi menetapkan indikator kinerja utama, seperti masa studi, tingkat kelulusan tepat waktu, serapan kerja, dan aktivitas riset mahasiswa. Data dikumpulkan per semester, bukan menunggu ujung tahun. Hasilnya dibahas terbuka dalam rapat mutu yang rutin, sehingga keputusan perbaikan bisa dilakukan segera, bukan setelah masalah membesar.
Budaya mutu yang sehat juga menuntut keberanian mengakui kekurangan. Laporan evaluasi tidak disusun untuk menyenangkan pimpinan, melainkan untuk menyelamatkan proses. Kejujuran seperti ini membuat siklus mutu terasa sebagai alat bantu, bukan beban administrasi.
Kurikulum yang Bergerak Seiring Zaman
Akreditasi yang baik mengharuskan kurikulum relevan. UIT memilih pendekatan kurikulum berbasis capaian, yang menempatkan kompetensi sebagai tujuan akhir. Setiap mata kuliah ditautkan pada keterampilan abad 21, kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan literasi digital. Di program studi yang berorientasi praktis, magang industri dan proyek lapangan menjadi bagian wajib, dengan sistem asesmen yang jelas agar pengalaman di luar kelas terukur dan bermakna.
Mahasiswa dilatih menyelesaikan masalah nyata. Di bidang kesehatan, misalnya, mereka merancang promosi kesehatan berbasis komunitas. Di bidang teknik, mereka membuat prototipe sederhana untuk kebutuhan UKM sekitar kampus. Di rumpun sosial, mahasiswa memfasilitasi dialog warga dan menyusun rekomendasi kebijakan tingkat lokal. Kurikulum yang bergerak membuat ruang kelas terhubung dengan kehidupan.
“Kurikulum yang berhasil adalah yang membuat mahasiswa pulang dengan cerita kegagalan dan perbaikan, bukan hanya nilai di transkrip.”
Dosen sebagai Poros Inovasi
UIT menyadari bahwa dosen adalah poros yang menggerakkan mutu. Kampus memperluas program pengembangan dosen, mulai dari pelatihan metodologi pengajaran aktif, penyusunan rubrik asesmen yang transparan, hingga klinik penulisan artikel ilmiah dan penyusunan proposal hibah. Skema insentif disusun agar dosen tidak perlu memilih antara mengajar dengan baik dan meneliti dengan serius. Keduanya dihargai sepadan, dengan indikator yang jelas.
Kolaborasi lintas prodi didorong. Dosen keperawatan bisa berpasangan dengan dosen ilmu komunikasi untuk merancang modul literasi kesehatan. Dosen teknik informatika bekerja dengan dosen administrasi publik untuk membangun dashboard layanan warga yang mudah dipakai. Sinergi semacam ini memperkaya pengalaman mahasiswa dan menambah jejak dampak kampus pada masyarakat.
Laboratorium dan Perpustakaan yang Berbenah
Sarana prasarana menjadi sorotan. UIT menginventarisasi kebutuhan laboratorium, dari alat ukur hingga keselamatan kerja. Pembenahan tidak dilakukan sekaligus, melainkan bertahap dengan prioritas yang jelas. Laboratorium dibuka lebih lama saat musim tugas akhir, sementara teknisi mendapat pelatihan pemeliharaan agar alat awet dan akurat. Di perpustakaan, katalog digital dan ruang baca kolaboratif ditambah. Akses jurnal elektronik diperluas melalui konsorsium, memudahkan dosen dan mahasiswa mengunduh referensi terbaru tanpa terkendala paywall.
Perubahan kecil di ruang fisik berkontribusi besar pada pengalaman belajar. Kursi yang nyaman, pencahayaan yang cukup, dan stopkontak di setiap meja meningkatkan waktu tinggal mahasiswa di perpustakaan. Di laboratorium, alur peminjaman alat yang transparan mengurangi gesekan dan mempercepat pekerjaan praktikum.
Layanan Kemahasiswaan yang Lebih Manusiawi
Marwah kampus tidak hanya diukur dari publikasi dan akreditasi, tetapi juga dari cara kampus memperlakukan mahasiswanya. UIT merapikan layanan administrasi, digitalisasi proses yang sering memakan waktu, dan memperkenalkan kanal pengaduan yang responsif. Konseling akademik diperkuat, dengan dosen wali yang memiliki rasio pembimbingan lebih sehat. Unit karier menyusun peta kompetensi dan lokakarya sederhana menulis CV, wawancara kerja, dan etika profesional.
Mahasiswa yang menghadapi kesulitan finansial didorong memanfaatkan skema beasiswa dan kerja paruh waktu kampus. Di sisi lain, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada program yang menumbuhkan kepemimpinan dan kepekaan sosial. Festival ide, forum debat, dan kompetisi inovasi sosial menjadi agenda yang terus dipelihara, sehingga mahasiswa tumbuh sebagai individu yang cakap dan peduli.
“Kampus yang baik bukan yang membanggakan gedungnya, tetapi yang memastikan setiap mahasiswa merasa terlihat dan didengar.”
Jejaring Industri dan Pemerintah Daerah
Akreditasi memperkuat posisi tawar kampus di hadapan mitra. UIT memanfaatkan momentum untuk memperluas jejaring dengan industri, rumah sakit pendidikan, pemerintah kota, dan organisasi masyarakat sipil. Nota kesepahaman tidak berhenti pada seremoni. Setiap MoU diterjemahkan menjadi aktivitas konkret, magang terstruktur, proyek riset terapan, kuliah tamu berkala, hingga program sertifikasi yang diakui mitra.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah membuka ruang pengabdian masyarakat yang lebih terarah. Mahasiswa dan dosen terlibat dalam program penanggulangan stunting, digitalisasi administrasi kelurahan, hingga pelatihan kewirausahaan bagi ibu rumah tangga. Laporan kegiatan tidak hanya memenuhi kewajiban, tetapi menjadi bahan pembelajaran untuk mata kuliah terkait.
Riset yang Mengakar dan Bermanfaat
UIT menegaskan riset bukan hanya soal angka publikasi, melainkan dampak. Pusat riset tematik dibentuk untuk menyatukan sumber daya. Fokusnya pada isu lokal yang memiliki gema nasional. Kesehatan komunitas, transformasi digital layanan publik, ketahanan pangan skala keluarga, pendidikan vokasi, dan kewirausahaan sosial. Setiap riset didorong menghasilkan keluaran ganda, artikel ilmiah, prototipe, dan rekomendasi kebijakan yang dapat diserahkan kepada pemangku kepentingan.
Skema pembiayaan internal berfungsi sebagai pemantik. Tim kecil yang menjanjikan diberi dana awal untuk memulai, dengan syarat membangun jejaring eksternal dalam enam bulan. Pendampingan manajemen riset disediakan agar administrasi tidak menjadi penghambat. Dengan cara ini, budaya riset tumbuh dari kebutuhan, bukan dari tekanan.
Transformasi Digital yang Rasional
Kampus modern tidak lepas dari transformasi digital. UIT menerapkan sistem informasi terpadu untuk akademik, keuangan, dan kepegawaian. Portal mahasiswa dirapikan agar layanan KRS, pembayaran, dan pengajuan administrasi dapat diakses dari satu pintu. Namun transformasi ini dilakukan dengan rasional. Tidak semua urusan dipaksa digital bila kenyataannya merumitkan pengguna. Untuk layanan tertentu, jalur tatap muka tetap disediakan, terutama bagi mahasiswa baru dan orang tua yang membutuhkan pendampingan.
Keamanan data diperkuat. Pengelolaan akun pengguna, autentikasi ganda, serta edukasi keamanan siber menjadi kebiasaan. Staf dan dosen dilatih agar tidak lengah terhadap praktik phising yang kian canggih. Data adalah aset dan tanggung jawab, bukan sekadar berkas di server.
“Digital itu alat. Manfaatnya baru terasa ketika ia memudahkan yang sulit dan menyederhanakan yang rumit, bukan sebaliknya.”
Transparansi dan Akuntabilitas
Untuk menjaga kepercayaan publik, UIT memperbaiki praktik transparansi. Laporan kinerja dan penggunaan anggaran dipublikasikan secara berkala dalam bentuk yang mudah dipahami. Forum dengar pendapat dengan mahasiswa dan dosen dijadwalkan rutin. Pertanyaan kritis tidak dihindari. Pimpinan menanggapinya dengan data dan rencana tindak lanjut. Budaya akuntabilitas seperti ini menular ke tingkat program studi dan unit layanan.
Transparansi juga berlaku pada proses rekrutmen dosen dan tendik. Kriteria disampaikan di awal, panitia seleksi melibatkan unsur independen, dan hasil diumumkan tepat waktu. Langkah langkah ini memperkecil ruang spekulasi dan menjaga marwah kampus di mata publik.
Alumni sebagai Mitra Strategis
Tidak ada kampus yang berjaya tanpa jejaring alumni yang hidup. UIT mengaktifkan kembali ikatan alumni lintas angkatan. Basis data diperbarui, kanal komunikasi diperjelas, dan program mentoring karier diluncurkan. Alumni yang bekerja di sektor kunci diundang memberi kuliah praktis dan membuka peluang magang. Di sisi lain, kampus menyiapkan layanan karier bagi alumni, karena hubungan tidak boleh putus setelah wisuda.
Partisipasi alumni juga diarahkan pada dukungan beasiswa dan program pengabdian. Banyak alumni yang bersedia menjadi host bagi proyek mahasiswa di komunitasnya masing masing. Jembatan emosional ini mempercepat perputaran manfaat, dari kampus ke masyarakat, lalu kembali ke kampus dalam bentuk pengalaman, jejaring, dan reputasi.
“Alumni adalah cermin masa depan yang paling dekat. Ketika mereka tumbuh, reputasi kampus ikut menjulang.”
Kedisiplinan Administrasi dan Etika Akademik
Marwah kampus erat dengan kejujuran akademik. UIT mempertegas kebijakan anti plagiarisme dengan alat deteksi dan pembinaan. Mahasiswa dan dosen mendapat modul etika penulisan dan sitasi yang benar. Pelanggaran diproses adil, dengan tujuan mendidik, bukan mempermalukan. Di ranah administrasi, kedisiplinan dokumen dipermudah dengan alur yang jelas. Birokrasi dipangkas, tanggung jawab diperjelas, dan tenggat waktu diawasi tanpa kekakuan yang tidak perlu.
Kedisiplinan ini semakin penting seiring meningkatnya kolaborasi dengan mitra. Kejelasan perjanjian, tata kelola anggaran, dan kepatuhan pada standar keselamatan kerja menjauhkan kampus dari masalah yang bisa mencoreng nama baik.
Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Warga Kampus
UIT menempatkan kesejahteraan sebagai bagian dari mutu. Layanan konseling diperkuat, pelatihan pertolongan pertama psikologis diperluas untuk dosen wali dan pimpinan organisasi mahasiswa. Kegiatan olahraga dan seni didorong sebagai pelepas penat. Kalender akademik disusun agar beban puncak tidak saling bertumpuk. Di lingkungan kerja, kebijakan fleksibilitas terbatas diberlakukan untuk kebutuhan tertentu tanpa menurunkan produktivitas.
Investasi pada kesehatan mental membuahkan suasana belajar yang lebih tenang. Konflik kecil tertangani di hulu. Kreativitas tumbuh ketika orang merasa aman. Kampus menjadi ruang yang menyehatkan, bukan menakutkan.
UIT dan Peran Regional
Sebagai kampus yang berakar di Makassar, UIT memikul peran regional. Akreditasi memberi legitimasi untuk memimpin kolaborasi lintas perguruan tinggi di kawasan. Pertukaran dosen dan mahasiswa, penelitian bersama isu kepulauan, serta forum kebijakan publik tingkat daerah menjadi agenda nyata. UIT menawarkan diri sebagai simpul pengetahuan yang membantu pemerintah daerah merumuskan program berdasarkan data, bukan hanya intuisi.
Inisiatif ini dimulai dengan hal sederhana. Workshop literasi data bagi ASN, pelatihan pemanfaatan perangkat lunak terbuka untuk perencanaan, hingga klinik menulis kebijakan berbasis bukti. Upaya kecil yang berulang sering lebih berdampak daripada proyek besar yang jarang.
“Marwah kampus terlihat ketika ia berani menjadi pelayan pengetahuan bagi kotanya sendiri.”
Menyulam Harapan ke dalam Kebiasaan
Pada akhirnya, akreditasi hanyalah pintu. Yang membuat marwah kampus kembali berjaya adalah kebiasaan sehari hari, presensi dosen yang tepat waktu, kelas yang dipersiapkan rapi, umpan balik tugas yang cepat dan jernih, laboratorium yang terawat, perpustakaan yang ramah, dan administrasi yang tidak membuat frustasi. Kebiasaan yang ditenun sabar akan melahirkan reputasi yang bertahan lama.
UIT telah memulai tenunan itu. Rektor mengajak semua pihak menjaga ritme, tidak tergoda pada euforia. Setelah foto bersama, pekerjaan kembali menunggu. Tumpukan berkas evaluasi menanti, rencana kurikulum harus dimatangkan, mitra perlu dihubungi, dan mahasiswa wajib disapa. Di jalan yang panjang ini, akreditasi menjadi penanda bahwa arah sudah benar, tetapi kaki tetap harus melangkah. Dan marwah, pada akhirnya, adalah hasil dari langkah langkah kecil yang konsisten dan tulus.






