Tidak Memilih AMIN, Benarkah Diragukan Ke NU annya Perdebatan tentang ke NU an kembali berulang seperti gelombang yang menepi lalu datang lagi. Kali ini pemicunya sederhana namun mengusik. Ada anggapan bahwa tidak memilih pasangan AMIN di pemilihan presiden lalu dapat dibaca sebagai tanda bahwa seseorang kurang NU. Kalimat seperti itu beredar dalam potongan video, status panjang di media sosial, serta obrolan warung kopi. Pada titik ini, kita perlu menata ulang pertanyaan dengan jernih. Apakah pilihan politik berhak menjadi penggaris yang menilai ke NU an seseorang. Atau jangan jangan penilaian semacam itu justru mereduksi tradisi yang selama puluhan tahun dirawat dengan adab, ilmu, dan kebijaksanaan.
“Mengubah pilihan politik menjadi meteran ke NU an sama artinya menyederhanakan lautan menjadi ember.”
Dari Panggung Kampanye ke Perbincangan Nilai
Setiap masa kampanye selalu memunculkan bahasa yang tegas, lugas, penuh dorongan agar barisan kompak. Di sanalah sering lahir diksi yang menempelkan identitas keagamaan pada satu poros politik. Begitu pesta demokrasi selesai, jejak kata itu tidak serta merta padam. Ia tersisa sebagai percakapan nilai. Banyak warga bertanya apakah pernyataan yang lahir di panggung agitasi pantas dijadikan ukuran abadi bagi keanggotaan kultural yang lebih luas dan tua dibanding usia republik.
Pertanyaan itu wajar. NU sejak lama berdiri sebagai rumah besar yang menaungi ragam latar. Di dalamnya ada petani, nelayan, guru ngaji, santri kampung, profesor, pedagang pasar, perajin, dan birokrat. Rumah besar tidak mungkin memaksa selera politik tunggal. Ia hanya mewajibkan adab. Bila pernyataan politik membuat sebagian penghuni rumah merasa seperti tamu, maka yang perlu diperbaiki bukan kesetiaan mereka, melainkan cara rumah menyapa.
“Rumah yang sehat tidak menggembok pintu bagi penghuni yang berbeda selera.”
Apa Sebenarnya Makna Ke NU an
Ke NU an bukan seragam yang dipinjam di musim kampanye. Ia adalah kebiasaan yang ditempa waktu. Di satu lapis, ke NU an berarti kesetiaan pada manhaj ahlussunnah wal jamaah yang menghormati ilmu, sanad, dan wasathiyah. Di lapis lain, ke NU an bermakna keterlibatan dalam jamiyah dan amal sosialnya. Orang NU bisa terlihat dari laku sehari hari. Cara menghormati guru, cara menghargai tetangga yang berbeda, cara mengikat perselisihan dengan dialog, dan cara menata ibadah tanpa menihilkan adat.
Ketika ke NU an dikecilkan menjadi setuju atau tidak setuju dengan satu pasangan politik, kita memotong panjang sejarah menjadi garis yang pendek. Kependekan itu membuat banyak hal hilang dari pandangan. Hilang kerja sunyi para kiai kampung, hilang arisan ibu ibu pengajian, hilang gotong royong memperbaiki jalan desa, hilang musyawarah yang menyejukkan hati. Padahal di situlah substansi ke NU an berdiam.
Warga NU dan Peta Pilihan yang Beragam
Fakta lapangan menunjukan bahwa warga nahdliyin tidak tunggal dalam urusan pencoblosan. Di satu daerah ada yang cenderung condong ke pasangan tertentu karena faktor kedekatan kultural. Di daerah lain pertimbangan ekonomi, figur lokal, serta jejaring keluarga lebih dominan. Ada yang memilih karena program pendidikan, ada yang memilih karena isu pangan, ada yang memilih karena alasan sederhana seperti reputasi ketokohan di mata orang tua. Keragaman ini bukan cacat, melainkan bukti bahwa warga NU menggunakan akal sehat politik tanpa harus kehilangan identitas kultural.
Kita dapat melihat bahwa di lingkungan pesantren pun pandangan tidak selalu seragam. Kiai satu berpesan santai agar santri mengikuti hati nurani. Kiai lain memberi isyarat dukungan kepada figur yang ia kenal sejak muda. Yang terjadi bukan permusuhan, melainkan adab. Santri yang berbeda pilihan tetap sungkem pada dua kiai sekaligus. Itulah kekayaan yang mustahil muat dalam kalimat ke NU an jika diikat pada satu poros saja.
“Identitas yang matang memberi ruang untuk berbeda, sebab yakin bahwa akarnya cukup dalam.”
Mengapa Politik Identitas Mudah Menyala
Bahasa identitas memikat karena menawarkan hal yang sederhana. Kita dan mereka. Satu kalimat singkat bisa mengerahkan energi banyak orang. Namun kesederhanaan yang sama dapat berubah menjadi jebakan ketika diangkat sebagai kompas moral. Begitu pilihan politik diposisikan sebagai tiket masuk menjadi NU yang benar, diskusi merosot menjadi adu label. Orang tidak lagi membahas kesehatan, pendidikan, tata kelola beras, dan masa depan anak anak. Yang dibahas justru siapa paling asli dan siapa pendatang di rumah sendiri.
Di sini perlu pengingat. Politik itu alat. Ia baik kalau dipakai memperbaiki hidup orang banyak, tetapi berbahaya bila dijadikan ukuran kemurnian iman dan tradisi. Mengaitkan secara berlebihan antara pilihan di bilik suara dan kualitas keagamaan berpotensi membuka borok tidak perlu. Luka sosial tidak sembuh hanya dengan klarifikasi, apalagi jika klarifikasinya terlambat.
Adab Berpolitik di Rumah Besar
Rumah besar yang bernama NU memiliki pagar adab. Pagar itu menyatakan bahwa jamiyah bukan partai. Ia bersahabat dengan semua, menjaga jarak yang wajar, dan mendoakan pemimpin yang terpilih agar amanah. Para masyayikh mengajarkan bahasa yang menyejukkan. Silakan berkontestasi, tetapi jangan menuduh saudara sendiri keluar dari rumah hanya karena tidak sefavorit. Silakan berdebat, tetapi ingat bahwa setelah pencoblosan kita akan kembali shalat berjamaah di masjid yang sama, menghadiri tahlilan yang sama, dan mengantarkan jenazah tetangga yang sama.
Adab ini bukan basa basi. Adab adalah teknologi sosial yang membuktikan keampuhan selama puluhan tahun menjaga tenun bangsa dari sobek. Tanpa adab, kepintaran berbahasa politik berubah menjadi pedang yang mudah melukai.
“Adab menuntun lidah sebelum otak sempat menyusun dalih.”
Memilah Ajakan Politik dan Penakaran Identitas
Ajakan memilih adalah hak setiap warga. Tokoh publik boleh mempromosikan gagasan, rekam jejak, dan rencana kerja. Itu bagian dari demokrasi. Yang menjadi soal ialah ketika ajakan disertai penakaran identitas. Kalimat yang memberi kesan bahwa tidak memilih pasangan tertentu berarti kurang NU harus ditolak secara elegan. Penolakan bukan untuk memarahi orang, melainkan untuk menjaga agar ukuran identitas kembali pada tempatnya. Ukuran itu adalah laku, pengabdian, dan akhlak, bukan surat suara.
Cara menolak yang elegan bisa dimulai dengan pertanyaan yang membuat kita berpikir. Apakah seseorang yang sejak remaja mengaji kitab, mengabdi di masjid, dan mengurus madrasah, lalu memilih pasangan lain, menjadi kurang NU. Apakah ibu ibu yang saban malam Jumat menyiapkan konsumsi untuk tahlilan berubah identitasnya karena berbeda pilihan. Jawaban hati kecil kita akan membantu mengembalikan keseimbangan.
Peran Media dalam Menjernihkan
Media punya andil besar mengarahkan suhu. Judul yang tajam boleh, namun konteks harus ada. Potongan video yang menyinggung identitas perlu ditemani penjelasan yang adil. Ketika publik mendapat gambaran utuh, emosi lebih mudah dikelola. Media juga bisa mengangkat kisah yang mengembalikan rasa persaudaraan, misalnya cerita dua kampung yang beda pilihan tetapi tetap bergotong royong saat banjir. Narasi semacam itu menyalakan memori bahwa kita ini sesungguhnya lebih mirip daripada yang diduga.
Di sisi lain, literasi pembaca penting. Kebiasaan memeriksa sumber, tanggal, serta menghindari komentar yang menyulut permusuhan adalah bagian dari laku NU juga. Mengamalkan tabayyun di ruang digital sama mulianya dengan tabayyun di majelis taklim.
“Kebiasaan memeriksa sebelum berbagi adalah sedekah akal sehat di zaman deras kabar.”
Suara Pesantren dan Keluasan Pandang
Pesantren yang menjadi kebun tempat NU tumbuh memiliki tradisi musyawarah yang panjang. Dalam forum bahtsul masail, para santri terbiasa melihat dalil yang tampak bertentangan lalu mencari titik temu. Kebiasaan ini membentuk keluasan pandang. Ketika berpindah ke ranah politik, keluasan itu menjadi empati. Orang bisa berbeda alasan dalam menentukan pilihan dan kita tidak perlu panik. Yang penting adalah memastikan perbedaan tidak menggusur rasa sayang sebagai sesama umat dan sesama warga negara.
Di banyak tempat, para kiai mendorong santri untuk dewasa. Mereka tidak memaksa, hanya menuntun. Ada nasihat yang selalu diulang. Pilihlah dengan pikiran jernih, jaga bahasa, jangan permalukan kawan, dan setelah selesai kembalilah bekerja. Negara tidak akan berubah hanya oleh ribut di dunia maya. Negara berubah oleh kerja sabar di dunia nyata.
Menyusun Ulang Bahasa Setelah Pemilu
Pemilu telah lewat. Saatnya mengurangi diksi yang memecah dan menambah diksi yang merajut. Kita bisa memulai dari kalimat sederhana namun kuat. Kita bersaudara meski berbeda pilihan. Kita sejalan dalam urusan kemaslahatan walau kadang berseberangan di taktik. Kita menghormati yang terpilih sekaligus mengawasi dengan sopan. Jika bahasa yang dipakai menentramkan, masyarakat akan mengikuti.
Bahasa yang tertib memudahkan kerja kebijakan. Pemerintah yang hendak memperbaiki kualitas madrasah, menaikkan kesejahteraan guru ngaji, memperluas akses kesehatan santri, dan mempercepat infrastruktur desa membutuhkan dukungan luas. Dukungan semacam itu lebih mudah terkumpul ketika warga tidak disekat sekat oleh label.
“Sesudah pertarungan, yang tersisa bukan lawan politik, melainkan tetangga yang akan kembali kita sapa setiap pagi.”
Menimbang Ulang Peran Tokoh
Tokoh publik memiliki pengaruh yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Satu kalimat bisa menjadi tuntunan, bisa juga menjadi bara. Karena itu peran tokoh sangat berharga setelah suhu menurun. Mereka dapat memberi teladan memeluk semua pihak. Mereka bisa turun ke basis, menenangkan para pendukung agar tidak menghakimi saudara sendiri. Mereka pun dapat membuka dialog dengan pihak yang berbeda untuk membuktikan bahwa politik bukan alasan mengoyak silaturahmi.
Tentu saja tidak mudah. Namun nilai seorang tokoh diukur ketika ia sanggup menahan diri dari sensasi dan memilih rute panjang yang lebih menyehatkan. Jalan panjang itulah yang selama bertahun tahun ditempuh para masyayikh sebelum kita. Tidak ada alasan untuk tidak meneladani.
Tanda Tanda Ke NU an yang Tak Tergoyah
Mari kita ingat kembali tanda tanda yang tidak lekang oleh musim pemilu. Ke NU an tampak pada cara bersikap ketika menang dan kalah. Yang menang tidak jumawa, yang kalah tidak dendam. Ke NU an terlihat pada ketertiban ibadah, pada kegemaran mengaji, pada keramahan menyambut tamu, pada semangat menolong tetangga tanpa menanyakan pilihan mereka. Ke NU an bersinar ketika seorang anak muda berhenti mengetik komentar pedas lalu memilih berdiskusi dengan santun. Ke NU an hidup ketika seorang pedagang menakar timbangan dengan jujur walau harga sedang naik.
Tanda tanda itu terlalu agung untuk direndahkan menjadi sekadar kesesuaian pilihan dengan satu pasangan politik. Jika tanda tanda itu tetap terjaga, tidak ada yang berhak meragukan ke NU an hanya karena perbedaan di bilik suara.
“Laku kebaikan selalu lebih nyaring dari slogan yang berumur sehari.”
Jalan Tengah agar Luka Tidak Melebar
Agar polemik tidak membesar, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dibudayakan. Pertama, setiap seruan politik yang menyentuh identitas sebaiknya diiringi pengakuan bahwa warga bebas memilih. Kedua, organisasi kemasyarakatan menjaga garis pemisah yang sehat dari kendaraan politik. Ketiga, warga sendiri bersikap kritis namun tidak sinis, menegur jika ada pernyataan yang melewati batas tetapi tetap menghormati orangnya. Keempat, ruang edukasi diperbanyak agar santri dan pemuda memahami proses politik tanpa benci.
Dengan cara ini, kita tidak terjebak pada perdebatan sia sia. Energi yang tadinya habis untuk saling sangsi dialihkan pada kerja nyata yang lebih mendesak. Mengurangi stunting, memperbaiki kualitas sekolah, memperkuat perlindungan sosial, dan menyiapkan anak muda menghadapi perubahan ekonomi adalah pekerjaan besar yang menuntut persatuan.
Meneguhkan Pesan Penutup di Tengah Riuh
Kita hidup di zaman ketika kabar datang secepat kedipan. Satu potong kalimat bisa membuat gaduh berhari hari. Di tengah riuh itu, kita memerlukan jangkar. Jangkar itu bernama adab. Ia menjaga agar perbedaan tidak berubah menjadi permusuhan, agar kritik tidak merusak persaudaraan, agar keyakinan tidak dipakai sebagai alat mengusir saudara sendiri. Bila jangkar diturunkan, arus sebesar apa pun tidak mudah menyeret perahu.
Maka ketika ada suara yang menyoal ke NU an karena seseorang tidak memilih AMIN, jawaban yang pantas adalah kembali ke laku. Tunjukkan kepedulian pada sesama, teruskan pengabdian di kampung, jaga sopan santun di ruang digital, dan perbanyak doa agar para pemimpin bekerja amanah. Dengan begitu, ke NU an tidak lagi berhenti di bibir, melainkan berakar di hati dan berbuah di perbuatan.






