Kiprah Global Dosen Unibos di AsiaTEFL 2025 Pendidikan Bahasa Inggris Unjuk Gigi di Hong Kong

Pendidikan16 Views

Kiprah Global Dosen Unibos di AsiaTEFL 2025 Pendidikan Bahasa Inggris Unjuk Gigi di Hong Kong Di tengah geliat kolaborasi akademik kawasan Asia, satu kabar menggembirakan datang dari Makassar. Seorang dosen Universitas Bosowa tampil di panggung AsiaTEFL 2025 di Hong Kong, membawa riset yang berakar pada realitas kelas di Indonesia Timur sekaligus menawarkan solusi praktis untuk pengajaran bahasa Inggris masa kini. Momen ini bukan sekadar kehadiran pada konferensi bergengsi, melainkan tonggak yang menandai keberanian kampus di luar pusat untuk berdiri sejajar di forum internasional.

“Begitu riset yang lahir dari ruang kelas pinggir kota dihadirkan dengan mutu, panggung dunia tidak lagi terasa jauh. Yang jauh hanya keberanian untuk memulai.”

AsiaTEFL 2025 dan Pentas Ilmu yang Membangun Jembatan

Konferensi AsiaTEFL tahun ini menjadi simpul pertemuan ide dari para peneliti, pengajar, serta pengambil kebijakan. Di sana, gagasan tentang pengajaran yang berempati, inovasi yang membumi, dan keberlanjutan praktik belajar bukan sekadar slogan. Ketiganya hadir dalam diskusi paralel, lokakarya, hingga pembahasan antar jejaring yang berlangsung intens dari pagi hingga malam.

Bagi dosen Unibos, keikutsertaan ini adalah kesempatan rangkap. Pertama, menguji gagasan di hadapan audiens kritis yang berasal dari beragam konteks pedagogis Asia. Kedua, menyerap metode baru yang bisa diadaptasi untuk kelas di Sulawesi Selatan. Ketiga, membuka pintu kolaborasi penelitian serta pertukaran akademik yang lebih terstruktur.

Riset yang Dibawa dan Relevansinya untuk Ruang Kelas Indonesia

Materi yang dibawa berangkat dari satu pertanyaan mendasar. Bagaimana mengubah pembelajaran bahasa Inggris yang kerap terjebak pada hafalan menjadi pengalaman belajar yang komunikatif, bermakna, dan berkelanjutan. Riset memadukan tiga pilar. Literasi digital yang memungkinkan siswa berkreasi dan berkolaborasi, pendekatan berbasis tugas yang meniru situasi dunia nyata, dan sentuhan budaya lokal agar bahasa Inggris tidak terlepas dari identitas peserta didik.

Contohnya sederhana namun kuat. Siswa diminta membuat panduan wisata kampung halaman dalam bahasa Inggris, memotret kuliner khas, mewawancarai pelaku usaha kecil, lalu menyusun naskah promosi dengan teknik narasi dan kosakata yang tepat. Tugas ini membangun kepercayaan diri berbahasa sekaligus empati sosial. Pada saat bersamaan, guru belajar menilai performa lisan dan tulisan dengan rubrik yang jelas sehingga umpan balik tidak lagi generik melainkan personal dan terukur.

“Bahasa akan hidup ketika dipakai untuk menyapa hal yang dekat. Membahas jembatan di kampung sendiri sering lebih menggetarkan daripada menghafal dialog di negeri entah di mana.”

Teknologi yang Mendukung namun Tidak Mendominasi

Presentasi menekankan bahwa teknologi bukan tujuan, melainkan alat. Perangkat yang dipilih adalah yang akrab bagi siswa dan guru, dari telepon genggam hingga aplikasi pengolah teks dan suara. Penggunaan rekaman audio untuk latihan pelafalan, papan tulis digital untuk kolaborasi ide, serta ruang kerja daring untuk menyatukan dokumen merupakan rangkaian kecil yang berdampak besar.

Keberhasilan tidak ditentukan oleh kecanggihan, melainkan keterpaduan desain pembelajaran. Guru menempatkan teknologi pada momen yang memang menuntutnya. Sebaliknya, pada sesi tatap muka, percakapan bermakna tetap menjadi inti. Dengan cara ini, kelas tidak tergantung jaringan semata dan siswa tetap memupuk kebiasaan berbicara yang alamiah.

Penilaian Autentik dan Umpan Balik yang Mendorong Tumbuh

Salah satu sesi yang menyita perhatian peserta adalah praktik penilaian autentik. Alih alih ujian pilihan ganda semata, guru memadukan proyek, portofolio, presentasi, serta refleksi pribadi. Rubrik penilaian terbuka dibagikan di awal. Siswa tahu standar yang hendak dicapai dan cara memperbaikinya.

Umpan balik diberikan dalam dua lapis. Catatan cepat sesaat setelah performa dan umpan balik mendalam yang terjadwal. Guru memanfaatkan rekaman suara untuk memberi komentar singkat pada tugas lisan, sementara untuk tulisan digunakan fitur penanda agar perbaikan lebih terarah.

“Umpan balik bukan palu vonis. Ia jembatan agar pelajar melihat dirinya dari kaca yang jernih lalu melangkah lebih yakin.”

Membumikan Multibahasa dan Multikultur dalam ELT

Ruang kelas bahasa Inggris di Indonesia sejatinya multibahasa. Ada bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris yang saling berjumpa. Riset Unibos mendorong guru merangkul kenyataan ini. Alih alih menegakkan larangan kaku, kelas mengatur momen penggunaan bahasa ibu untuk menjelaskan konsep rumit lalu kembali ke bahasa Inggris saat praktik.

Pendekatan ini mengurangi kecemasan siswa pemula dan mendorong keberanian berbicara. Lebih dari itu, tugas pembelajaran yang mengajak siswa memotret budaya lokal seperti ritual panen, musik tradisional, atau permainan masa kecil menjadikan bahasa Inggris alat untuk merawat memori kolektif, bukan penanda jarak dengan lingkungan.

Lokakarya untuk Guru dan Pertukaran Gagasan yang Setara

Selain menyaji makalah, dosen Unibos memfasilitasi lokakarya singkat tentang desain tugas berbasis konteks lokal. Para peserta dari berbagai negara saling bertukar rancangan kegiatan belajar. Ada yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan melalui proyek audit sampah kampus. Ada yang menekankan kewirausahaan melalui simulasi pasar mini.

Diskusi berjalan cair. Kunci yang tampak jelas ialah keberanian menata ulang kurikulum agar memberi ruang bagi kreasi. Guru diundang untuk mengurangi ceramah dan memperbanyak fasilitasi. Murid diberi amanah untuk mencari, mengolah, dan menyajikan informasi. Di titik ini, bahasa Inggris menjadi wahana nalar kritis dan kerja tim.

Imbas bagi Program Studi dan Sekolah Mitra di Sulawesi Selatan

Sepulang dari konferensi, dampak yang paling diharapkan adalah perbaikan nyata. Program studi meninjau ulang mata kuliah metodologi, membawa pulang contoh rubrik, rencana ajar, serta perangkat penilaian yang siap pakai. Sekolah mitra diajak melakukan uji coba di beberapa kelas, mengevaluasi dalam tiga siklus pembelajaran, lalu menyebarkan praktik baik.

Kegiatan pendampingan dilakukan secara periodik. Dosen dan mahasiswa praktikan berkolaborasi menyiapkan materi, mendampingi pelaksanaan, serta merefleksikan hasil. Lingkaran ini melahirkan dokumen pembelajaran yang terdokumentasi rapi sehingga guru baru dapat langsung mengadaptasi tanpa memulai dari nol.

“Keberhasilan konferensi tidak diukur dari tepuk tangan, melainkan dari betapa mudah guru mengadopsi gagasan menjadi tindakan di kelas esok pagi.”

Tantangan yang Diakui dan Cara Menghadapinya

Tantangan tidak sedikit. Ketersediaan perangkat, kualitas koneksi, beban kerja guru, hingga persepsi orang tua tentang ujian tradisional menjadi ganjalan yang mesti disiasati. Rencana tindak lanjut menempatkan strategi berlapis.

Pertama, desain pembelajaran dibuat berjenjang. Ada versi kaya teknologi, versi sederhana, dan versi tanpa perangkat digital. Kedua, pelatihan guru disusun dalam modul kecil yang fokus pada satu keterampilan kunci, misalnya merancang rubrik presentasi atau memberi umpan balik lisan yang efektif. Ketiga, komunikasi dengan orang tua dilakukan melalui pertemuan singkat agar mereka memahami manfaat penilaian autentik.

Membangun Jejaring dan Publikasi yang Berkelanjutan

Dampak lain dari panggung AsiaTEFL ialah terbukanya peluang jejaring. Dosen Unibos menjajaki kolaborasi riset lintas negara untuk mengkaji efektivitas tugas berbasis konteks lokal terhadap peningkatan kelancaran berbicara. Target publikasi diarahkan pada jurnal yang memberi ruang untuk studi kelas yang aplikatif.

Selain itu, disusun pula agenda bersama komunitas guru di daerah untuk menyelenggarakan simposium tahunan. Di dalamnya dipamerkan rencana ajar, contoh portofolio siswa, dan rekaman pelaksanaan tugas. Langkah ini menumbuhkan budaya berbagi yang selama ini kerap terhalang oleh keterbatasan waktu dan ruang.

“Ilmu tumbuh ketika dibagikan. Dokumentasi yang rapi adalah bahan bakar agar praktik baik tidak padam saat orang berganti.”

Penguatan Peran Mahasiswa Calon Guru sebagai Motor Perubahan

Mahasiswa pendidikan bahasa Inggris adalah aset yang perlu diaktifkan sebagai motor perubahan. Mereka dilatih merancang tugas, mengelola kelas kolaboratif, serta melakukan penilaian formatif. Pada saat praktik di sekolah, mereka membawa semangat baru sekaligus belajar kearifan guru senior dalam mengelola dinamika kelas.

Sinergi ini melahirkan profil lulusan yang tidak hanya fasih berbahasa, tetapi juga cakap merancang pengalaman belajar. Kampus berperan menghubungkan mahasiswa dengan guru mentor yang terbuka pada inovasi, sehingga siklus belajar mengajar menjadi saling menguatkan.

Menyelaraskan Visi Kampus dengan Agenda Literasi Nasional

Kiprah di Hong Kong menyentil satu hal penting. Perguruan tinggi perlu menyelaraskan visi akreditasi, penelitian, dan pengabdian dengan pembenahan kelas nyata. Program studi menetapkan indikator kinerja yang tidak hanya berupa angka publikasi, tetapi juga jumlah sekolah yang terbina, banyaknya perangkat ajar yang diadopsi, dan peningkatan keterampilan siswa yang terukur.

Dengan cara ini, kontribusi kampus terhadap literasi bahasa Inggris nasional menjadi terarah. Riset tidak berhenti di rak perpustakaan, melainkan mengalir sebagai paket pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru di daerah terpencil sekalipun.

“Kita tidak kekurangan ide. Yang kerap kurang adalah jembatan yang mengantar ide itu ke meja guru dan bangku siswa.”

Cerita Kecil yang Menjadi Alasan Besar

Di balik statistik dan wacana, selalu ada cerita kecil. Seorang siswa yang semula enggan berbicara kini berani memperkenalkan kuliner kampungnya dalam bahasa Inggris. Seorang guru yang dulu ragu pada penilaian proyek mulai menikmati proses memberi umpan balik personal. Sebuah sekolah yang tadinya pasif kini aktif mengundang komunitas untuk kolaborasi tugas berbasis lingkungan.

Cerita semacam ini menjadi alasan mengapa kehadiran di forum internasional layak dirayakan. Ia menyulut harapan, mengingatkan bahwa perubahan besar sering dimulai dari satu kelas, satu guru, satu ide yang dikerjakan konsisten.

Harapan untuk Gelombang Berikutnya dari Timur Indonesia

Keberhasilan dosen Unibos adalah undangan terbuka bagi kampus kampus lain di Indonesia Timur. Undangan untuk mengangkat praktik baik lokal, memolesnya dengan metodologi riset yang kuat, lalu menawarkannya kepada dunia. Semakin banyak suara dari daerah yang muncul, semakin beragam pula solusi yang bisa dipertukarkan.

Dukungan pemangku kebijakan daerah akan mempercepat langkah. Penyediaan dana riset kecil, insentif dokumentasi praktik, dan dukungan perjalanan ilmiah adalah investasi yang hasilnya kembali ke ruang kelas. Pada gilirannya, literasi bahasa Inggris anak anak di daerah akan meningkat, membuka peluang pendidikan dan kerja yang lebih luas.

“Panggung global tidak meminta kita meniru. Ia meminta kita hadir sebagai diri sendiri dengan tawaran yang lahir dari tanah tempat kita tumbuh.”

Penutup yang Sengaja Tidak Ditutup

Kisah di Hong Kong ini bukan titik akhir. Ia adalah koma yang mengajak jeda, lalu melanjutkan kalimat dengan energi baru. Di depan ada jadwal pendampingan, ada naskah publikasi yang menunggu disunting, ada undangan temu komunitas guru yang menuntut konsistensi.

Jika satu dosen dari Makassar dapat bergaung di forum Asia, maka tidak ada alasan bagi ruang kelas di Bantaeng, Parepare, Enrekang, dan seterusnya untuk tidak ikut berubah. Perubahan itu mungkin sederhana. Lebih banyak tugas yang bermakna, lebih banyak umpan balik yang manusiawi, lebih banyak keberanian siswa untuk bersuara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *