Ketua RW Samata Soal Penangkapan Terduga Teroris oleh Densus Delapan Puluh Delapan AT

Ketua RW Samata Soal Penangkapan Terduga Teroris oleh Densus Delapan Puluh Delapan AT Suasana sore yang biasanya lengang di Kelurahan Samata berubah tegang ketika satuan antiteror berada di lokasi dan membawa seorang pemuda yang diduga terafiliasi jaringan ekstrem. Warga berkerumun di kejauhan, sebagian berbisik, sebagian merekam dari jauh dengan ponsel. Samata Di tengah kepanikan kecil itu, ketua rukun warga berdiri di antara aparat dan warga, menenangkan, menata arus informasi, dan memastikan lingkungan tidak larut dalam prasangka.

“Di situasi seperti ini, yang paling cepat menular adalah kecemasan. Tugas kita membuat tenang lebih dulu, baru mencari terang tentang apa yang sebenarnya terjadi.”

Siang yang Mengencang Menjelang Petang

Menurut penuturan warga, kendaraan berpintu gelap memasuki kawasan perumahan yang tak jauh dari masjid. Udara panas berubah menjadi dingin bagi mereka yang menyaksikan dari teras rumah. Penangkapan berlangsung singkat dan terukur, tidak ada suara keras, hanya aba aba pendek dan gerak yang cepat. Setelahnya, beredar kabar di grup pesan lingkungan bahwa seorang pemuda diamankan.

Ketua rukun warga segera bergerak. Ia meminta pengurus lingkungan lain berkumpul di balai kecil yang biasa dipakai rapat warga. Satu per satu pertanyaan muncul dari warga yang datang. Siapa orangnya, apa alasannya, apakah ada ancaman bagi lingkungan. Ketua rukun warga memilih menahan diri dari spekulasi, sembari meminta warga menghormati proses penegakan hukum.

“Kita perlu membedakan keingintahuan dengan prasangka. Yang satu membantu, yang satu lagi bisa melukai.”

Jembatan Antara Aparat dan Warga

Di banyak peristiwa sensitif, yang kerap hilang adalah jembatan komunikasi. Ketua rukun warga sadar itu. Ia menghubungi pihak kelurahan, babinsa, dan bhabinkamtibmas. Ia juga menyampaikan ke aparat bahwa warga membutuhkan penjelasan umum agar tidak simpang siur. Tidak perlu merinci hal teknis yang bersifat penyidikan, namun cukup menegaskan bahwa langkah yang diambil sesuai hukum dan mengutamakan keselamatan warga.

Dalam rapat singkat, ia meminta warga tidak menyebarkan foto atau video yang menampilkan wajah orang tertentu, karena selain berpotensi mengganggu penyidikan, juga dapat menimbulkan stigma berkepanjangan. Orang yang diamankan masih berstatus terduga, sehingga asas praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan.

“Kita mendukung penegakan hukum, namun cara kita mendukung juga harus beradab. Jempol di layar bisa membuat luka yang panjang.”

Denyut Sosial Setelah Penangkapan

Hari hari berikutnya, lingkungan Samata terasa berbeda. Ada yang memilih menutup pintu lebih cepat saat senja, ada yang khawatir anak anak akan ketakutan melewati lokasi kejadian. Ketua rukun warga lalu menggandeng pengurus masjid, karang taruna, dan pengelola posyandu untuk merancang kegiatan yang mengembalikan ritme normal.

Mereka menggelar kerja bakti, pengajian, dan kelas kecil literasi digital untuk remaja. Kegiatan bersama terbukti memulihkan rasa percaya satu sama lain. Warga kembali bertegur sapa di lorong, ibu ibu bercakap di depan rumah, dan anak anak bermain dengan tawa yang agak lama hilang.

“Keamanan tidak hanya diukur dari ada atau tidaknya aparat berjaga. Ia juga terlihat saat warga kembali berani tertawa.”

Menghadapi Stigma dan Menjaga Nama Baik Lingkungan

Salah satu keresahan warga adalah pelabelan negatif terhadap wilayah mereka. Ketua rukun warga memahami beratnya beban stigma. Ia meminta dukungan kelurahan untuk menegaskan bahwa kejadian ini merupakan upaya penegakan hukum terhadap individu tertentu, bukan penilaian terhadap kampung. Ia mengajak warga membuat narasi positif tentang Samata melalui kegiatan kebersihan, bazar kecil, dan liputan kegiatan belajar mengajar di lingkungan sekitar.

Upaya itu bukan pencitraan. Ini cara menjaga harga diri sosial dan memberi pesan bahwa lingkungan tetap sehat dan aktif. Bersamaan dengan itu, pengurus lingkungan membuka kanal pengaduan informal bagi warga yang merasa tertekan atau cemas, agar mereka bisa berbicara tanpa dihakimi.

“Nama baik kampung adalah selimut hangat. Kalau sobek di satu sisi, kita jahit bersama sama, bukan dibiarkan terbuka.”

Literasi Digital sebagai Tameng

Peristiwa ini menyadarkan semua pihak bahwa ancaman paham ekstrem kerap datang dari layar yang kita pegang. Ketua rukun warga, bersama relawan muda, menyusun modul sederhana tentang cara mengenali konten berbahaya, teknik memverifikasi informasi, dan etika berbagi. Kelas dibuat santai, dengan contoh nyata yang dekat, tanpa menggurui.

Kepada orang tua, ia menganjurkan pendampingan gawai bagi anak anak, menetapkan jam penggunaan, dan mewajibkan percakapan harian tentang apa yang mereka tonton. Tujuannya bukan membatasi kebebasan, melainkan menumbuhkan kebiasaan bertanya dan berpikir kritis.

“Anak yang terbiasa bertanya akan lebih sulit disesatkan oleh kalimat kalimat yang terdengar heroik namun kosong.”

Memastikan Hak Warga Tetap Dihormati

Ketika seorang warga diamankan, keluarga yang ditinggalkan kerap kebingungan. Ketua rukun warga menekankan pentingnya membantu keluarga yang terdampak secara manusiawi. Bantuan bukan berarti membenarkan dugaan, melainkan memastikan hak hak dasar tetap terpenuhi. Jika ada anak yang butuh antar ke sekolah atau lansia yang butuh obat, tetangga siap membantu.

Ia juga mengingatkan agar tidak ada pembatasan sosial terhadap keluarga terduga. Menjaga jarak secara emosional boleh, menghindari interaksi yang memanusiakan tidak perlu. Perbedaan ini tipis namun penting, sebab dari sinilah rasa kebersamaan diuji.

“Menegakkan hukum tugas negara. Menjaga kemanusiaan tugas kita semua.”

Koordinasi Lintas Lembaga

Agar lingkungan tidak terisolasi oleh isu, ketua rukun warga mendorong forum koordinasi yang melibatkan kelurahan, tokoh agama, tokoh pemuda, perwakilan sekolah, dan aparat keamanan. Agenda utamanya sederhana. Pertama, menyamakan informasi umum agar tidak ada kabar yang saling bertabrakan. Kedua, menyusun langkah pencegahan yang tidak menyulitkan warga, misalnya jadwal ronda yang lebih rapi, penyuluhan berkala, dan daftar kontak darurat.

Forum ini juga menjadi tempat validasi rumor. Setiap kabar baru ditampung dulu, diperiksa, lalu disampaikan dengan bahasa yang menyejukkan. Dengan cara ini, potensi provokasi yang bisa memecah belah warga dapat ditekan sejak dini.

“Banyak masalah selesai bukan karena hebatnya solusi, melainkan karena rapi dan tenangnya komunikasi.”

Menguatkan Peran Masjid dan Rumah Ibadah

Masjid dan rumah ibadah lain di Samata memegang peranan penting dalam merawat tenang. Pengurus rumah ibadah diajak menyiapkan materi ceramah yang menekankan kasih sayang, moderasi, dan ketaatan pada hukum. Bukan ceramah yang menuding, melainkan ajakan untuk kembali ke inti ajaran yang memuliakan hidup.

Kegiatan rutin seperti kajian, kelas mengaji untuk anak, dan bakti sosial dilanjutkan dengan disiplin. Kehadiran aktivitas ini menciptakan ruang positif yang menyerap energi kecemasan, menggantinya dengan interaksi yang sehat dan saling dukung.

“Ajaran yang benar membuat hati lapang. Jika ajaran membuat kita benci pada sesama tanpa alasan, mungkin kita salah belajar.”

Sekolah dan Kampus sebagai Penyangga Kesadaran

Samata dikelilingi institusi pendidikan. Ketua rukun warga datang ke beberapa sekolah dan berbicara dengan kepala sekolah tentang langkah langkah sederhana. Guru diminta peka pada perubahan perilaku siswa, konselor sekolah menyiapkan sesi konseling terbuka, dan orang tua dilibatkan dalam pertemuan singkat yang membahas pola komunikasi dengan anak.

Kampus terdekat juga digandeng untuk menghadirkan dosen yang dapat mengisi kelas literasi digital dan kewargaan. Kolaborasi ini memperkaya perspektif, sekaligus memperlihatkan kepada warga bahwa penanganan isu ekstremisme bukan pekerjaan satu pihak, melainkan gerak bersama.

“Jika ruang belajar ramai oleh diskusi yang sehat, ruang gelap bagi propaganda menjadi sempit.”

Mengelola Media dan Wartawan dengan Bijak

Peristiwa sensitif mengundang perhatian media. Ketua rukun warga menata cara berinteraksi dengan pewarta. Ia menyiapkan pernyataan yang lugas namun menenangkan, menghindari penyebutan hal hal yang belum pasti. Ia juga meminta warga untuk tidak mendahului aparat dalam memberikan informasi.

Kebijakan sederhana ini membuat narasi publik tentang Samata lebih tertib. Alih alih menjadi kampung yang diberi cap, Samata tampil sebagai contoh lingkungan yang dewasa menyikapi guncangan. Para pewarta pun mendapatkan akses yang cukup tanpa harus mengejar keterangan yang belum tentu benar.

“Berita yang jernih lahir dari narasumber yang jernih. Mari kita bantu jurnalis bekerja dengan baik.”

Kesiapsiagaan yang Manusiawi

Keamanan perlu prosedur. Namun ketua rukun warga menekankan bahwa semua langkah harus manusiawi. Ronda malam dijalankan dengan sopan, tidak menginterogasi warga secara sembarangan. Tamu yang bermalam tetap wajib lapor, tetapi prosesnya ramah dan tidak menyulitkan. Pos keamanan ditata agar terang dan nyaman, bukan menakutkan.

Setiap warga diajak memahami tanda tanda potensi radikalisasi di lingkungan sekitar. Misalnya perubahan mendadak yang mencolok, isolasi sosial yang ekstrem, atau konsumsi konten yang mencurigakan. Jika menemukan gejala, warga diarahkan melapor ke pengurus lingkungan, bukan bertindak sendiri.

“Kewaspadaan tanpa kebijaksanaan bisa berubah menjadi kecurigaan buta. Kita ingin waspada yang berakal sehat.”

Menyusun Jalan Pulang untuk Yang Ingin Berubah

Ada hal penting yang kerap terlupa. Tidak semua yang tersesat ingin terus tersesat. Ketua rukun warga menaruh perhatian pada upaya reintegrasi sosial. Ia menjajaki program bersama tokoh agama, psikolog komunitas, dan relawan untuk menyiapkan jalur pendampingan bagi mereka yang ingin lepas dari paparan paham ekstrem.

Pendekatan ini bukan naif. Ia justru realistis. Di banyak kasus, pintu pulang tertutup karena lingkungan sudah lebih dulu menghakimi. Dengan menyediakan ruang pemulihan yang berbasis keluarga, kampung memberikan pesan kuat bahwa yang dicari bukan sekadar hukuman, namun perubahan yang nyata.

“Hukum memberi batas. Masyarakat memberi harapan. Dua duanya perlu agar hidup bisa berjalan.”

Denyut Samata yang Kembali Menemukan Irama

Beberapa pekan setelah kejadian, Samata mulai menemukan kembali iramanya. Pedagang kembali membuka lapak, para bapak berkumpul di pos ronda, anak anak berlarian di halaman sekolah. Ketua rukun warga tetap siaga, namun tidak lagi tegang. Ia percaya, ketegangan tidak boleh jadi kebiasaan. Yang harus jadi kebiasaan adalah gotong royong, musyawarah, dan saling menguatkan.

Ia menutup satu pertemuan warga dengan mengingatkan tiga hal. Jaga lisan dan jemari, peluk keluarga lebih sering, dan jangan segan bertanya jika ada yang dirasa janggal. Tiga hal sederhana ini, katanya, adalah pagar paling efektif yang bisa dibangun dari rumah sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *