Pemeran Film Eva Pendakian Terakhir Keisha Alvaro dan Aji Santoso Hadir di Makassar Kota Makassar menjadi panggung riuh ketika dua pemeran film Eva Pendakian Terakhir menyapa penggemar secara langsung. Keisha Alvaro dan Aji Santoso datang bukan sekadar membagikan senyum di depan kamera, mereka membawa cerita panjang di balik proses kreatif sebuah film pendakian yang sarat emosi, adrenalin, dan pesan tentang menghormati alam. Sejak pagi hingga malam, antrean penonton yang ingin bertemu idola seolah tidak pernah putus, menandai kuatnya keterikatan penonton Sulawesi Selatan terhadap kisah yang bersumber dari lanskap budaya dan alam mereka sendiri.
“Saat penonton melihat dirinya di layar, mereka tidak hanya menyaksikan film, mereka sedang meneguhkan jati diri.”
Makassar Jadi Titik Temu Cerita Film dan Denyut Komunitas
Pilihan Makassar sebagai lokasi singgah tur promosi terasa masuk akal. Kota ini dikenal memiliki komunitas penikmat film yang tumbuh pesat, sekaligus rumah bagi banyak pejalan alam dan pendaki yang aktif berkegiatan. Di lobi bioskop, di kafe yang disulap menjadi panggung talkshow, di halaman yang diramaikan panggung kecil untuk sesi tanya jawab, emosi penonton mengalun dengan hangat. Orang tua membawa anak remaja, komunitas pecinta alam datang mengenakan jaket lapangan, mahasiswa memegang buku catatan untuk menyiapkan pertanyaan, semuanya menyatu dalam satu ruang yang dirancang untuk berbagi pengalaman.
“Promosi yang baik bukan sekadar poster, melainkan perjumpaan yang memberi makna pada poster itu.”
Agenda Penuh Energi dari Pagi Hingga Malam
Rangkaian acara selama dua hari dipadatkan dengan temu penggemar, nobar, dan bincang hangat seputar produksi. Sesi foto bersama dibuat berjenjang agar semua pengunjung kebagian giliran. Panitia menyiapkan jalur masuk yang rapi, pengumuman jelas, dan relawan yang memandu seolah ini adalah perhelatan konser mini. Keisha dan Aji menyempatkan menyapa para pekerja di lokasi, termasuk petugas kebersihan dan staf proyeksi, sebuah gestur kecil yang memperlihatkan kesadaran bahwa film adalah kerja kolektif banyak tangan.
“Sebuah acara menjadi berkesan ketika setiap orang yang terlibat merasa dihargai, tidak hanya mereka yang terlihat di panggung.”
Rahasia Peran Keisha Alvaro sebagai Pasha
Keisha membawakan Pasha, karakter yang pada awalnya tampak ringan, candaannya menyelinap di antara persiapan jalur pendakian, tetapi perlahan melewati tekukan tajam, kabut pekat, dan keputusan berat. Ia bercerita kepada penonton bahwa menata napas, ritme langkah, dan bahasa tubuh di lokasi yang benar benar dingin adalah ujian yang tidak bisa dicoba ulang begitu saja. Ia belajar mengatur fokus, mengosongkan pikiran dari distraksi, dan memberi ruang agar rasa takut hadir, karena rasa takut itu yang membuat adegan terasa hidup.
“Keberanian di layar kerap dibangun dari pengakuan yang jujur bahwa kita memang takut.”
Aji Santoso Menghidupkan Fiki yang Murung dan Rapuh
Berbeda dengan Pasha, Fiki yang dimainkan Aji Santoso menyimpan beban yang tidak ia katakan terang terangan. Untuk menghidupkan karakter ini, Aji mengerjakan latihan emosi, menulis jurnal harian berisi suara hati Fiki, dan memoles dialog agar terasa lahir dari dada yang sesak, bukan sekadar lisan yang fasih. Ia mengaku paling berat menjaga gerak kecil yang memadatkan rasa, misalnya cara menoleh ketika mendengar suara dari semak, atau menahan napas ketika kabut turun cepat di jalur batu.
“Akurasi emosi itu seperti kompas di kabut, kecil bentuknya tetapi menentukan arah seluruh perjalanan.”
Menyulam Lokalitas di Dalam Bingkai Sinema
Film Eva Pendakian Terakhir meminjam tekstur budaya dan alam Sulawesi Selatan bukan sebagai tempelan, tetapi sebagai ruh cerita. Bahasa percakapan, gestur saling menjaga, hingga pantangan yang dipercaya pendaki lokal, semuanya disusun agar penonton merasakan bahwa gunung bukan sekadar lokasi, melainkan karakter yang harus dihormati. Ada adegan ketika tokoh tokohnya berhenti bicara, hanya mendengar desau angin dan gemerisik dedaunan. Tidak ada musik keras, hanya ruang sunyi yang membuat penonton ikut menahan diri.
“Alam yang dihormati tidak perlu efek berlebihan, ia menyampaikan wibawa melalui diamnya.”
Talkshow yang Menjadi Kelas Terbuka
Sesi talkshow bukan sekadar promosi, melainkan semacam kelas terbuka kecil. Penonton bertanya tentang persiapan fisik, penulisan naskah, manajemen risiko, hingga bagaimana kru menjaga kebersihan jalur setelah syuting. Produser yang hadir menjelaskan alur koordinasi dengan relawan lokal, pemandu jalur, dan perangkat setempat. Mereka menggunakan peta risiko untuk mengelola cuaca, memantau kabut, dan menentukan batas waktu pengambilan gambar setiap hari. Penonton belajar bahwa film petualangan yang tampak spontan di layar, sesungguhnya didesain sedemikian teliti.
“Kerapian yang tidak terlihat itulah yang membuat spontanitas terasa meyakinkan.”
Etika Pendakian dan Pesan Lingkungan yang Mengikat
Di sela obrolan, para pemeran menekankan etika yang sederhana tetapi sering dilupakan. Membawa turun kembali sampah yang dibawa naik, menghormati rambu alam yang tidak tertulis, menjaga suara agar tidak mengganggu satwa, dan menahan diri untuk tidak meninggalkan tanda tanda pribadi di bebatuan atau pepohonan. Film ini, kata mereka, bukan khotbah, namun berusaha menyelipkan pengingat bahwa ketahanan alam ditentukan oleh pilihan kecil yang kita ambil di jalur sempit maupun saat berehat di pos.
“Kepahlawanan yang paling sunyi adalah menahan diri ketika tidak ada yang melihat.”
Nobar yang Berubah Menjadi Perayaan Komunitas
Nonton bareng berubah menjadi perayaan komunitas ketika lampu studio padam dan bunyi langkah di gravel pembuka film terdengar. Tak ada teriakan berlebihan, penonton menyimak, memegang tangan teman di sebelah ketika adegan menegang, lalu tertawa lega saat momen cerah muncul. Seusai kredit akhir, tepuk tangan panjang mengisi ruang. Ada yang meneteskan air mata, ada yang berdiri memberi hormat kecil ke layar. Beberapa komunitas pendaki lansung mengajak diskusi singkat di luar studio, saling bertukar cerita jalur, saling mengingatkan soal etika yang tadi dibahas.
“Ketika tepuk tangan terdengar setelah lampu menyala, itu bukan akhir, itu tanda lahirnya percakapan baru.”
Detail Produksi yang Menguji Ketahanan Fisik dan Mental
Kru berbagi cerita mengenai bagaimana mereka mengemas logistik di jalur yang tidak bisa dilalui kendaraan. Peralatan kamera dipisahkan menjadi modul kecil agar bisa dipanggul bergantian. Tim lokasi menandai titik aman untuk menaruh generator portabel dengan jarak yang tidak mengganggu ekosistem. Di hari hari yang kelembapannya tinggi, mereka memanaskan lensa agar tidak berembun. Semua keputusan kecil itu membuat hari syuting bisa tetap produktif tanpa mengorbankan keamanan.
“Sebuah film yang tampak ringan di layar sering kali dibangun oleh ribuan keputusan kecil yang disiplin.”
Kostum, Rias, dan Bahasa Tubuh yang Realistik
Departemen artistik menekankan penggunaan kostum yang dapat menua secara wajar. Jaket yang awalnya kaku menjadi bertambah lipatan, celana lapangan mulai berbulu, dan sepatu menampakkan lecet setelah melewati akar dan batu. Rias wajah tidak diarahkan agar pemain tampak cantik sepanjang waktu, melainkan mengatur kilap keringat, bibir yang sedikit pecah, serta garis tanah yang menempel di pipi. Bahasa tubuh disesuaikan dengan napas yang pendek pendek di ketinggian, langkah yang hemat tenaga, dan cara mengangkat tas yang realistis.
“Keindahan di film petualangan bukan pada wajah yang mulus, tapi pada bekas langkah yang jujur.”
Suara dan Musik yang Menjaga Nafas Cerita
Desain suara memilih pendekatan minimalis. Bunyi ranting patah, desir angin yang berubah arah, burung yang tiba tiba senyap, menjadi penanda dramatis lebih kuat dibanding musik yang berlebihan. Musik hadir di saat yang tepat untuk mengikat emosi, bukan untuk menggurui rasa. Penataan seperti ini membuat penonton tidak sekadar melihat perjalanan, tetapi ikut mendengar isyarat alam yang sering kita abaikan di kehidupan sehari hari.
“Kadang kita perlu mematikan keramaian agar bisa mendengar peringatan yang paling halus.”
Peran Komunitas Lokal yang Tidak Tergantikan
Keterlibatan warga setempat bukan hanya urusan perizinan. Para pemandu lokal memetakan jalur alternatif, warga membuka rumah untuk pos istirahat kru, dan relawan pemuda membantu pengelolaan sampah harian agar tidak menumpuk di sekitar lokasi. Beberapa adegan meminjam ukiran bahasa setempat dalam percakapan yang singkat namun hangat. Kolaborasi ini memperlihatkan bahwa sinema dapat menjadi jembatan antara industri kreatif dan kehidupan keseharian yang sederhana tetapi kuat daya tahannya.
“Cerita yang lahir dari tanah akan berdiri kokoh ketika diangkat kembali oleh tangan tangan warganya.”
Geliat Ekonomi Kreatif di Sekitar Acara
Kehadiran pemeran dan gaung film memberi dampak pada ekosistem ekonomi kecil. Penjual kaus bertema pendakian menambah produksi, kedai kopi menyiapkan menu spesial bertema lereng dan puncak, penyedia jasa foto instan kebanjiran pesanan, dan perajin tali gelang menyesuaikan motif dengan tema film. Pengunjung luar kota memperpanjang waktu tinggal untuk mencicipi kuliner lokal, sementara pengelola wisata alam mengemas paket ringan yang mengedepankan edukasi keselamatan.
“Keberhasilan sebuah acara diukur dari seberapa banyak nilai tambah yang tertinggal setelah panggung beres.”
Ruang Diskusi bagi Generasi Muda
Sekolah dan kampus memanfaatkan momentum ini untuk membuka forum diskusi. Dosen mengajak mahasiswa menelaah struktur tiga babak film, pemimpin unit kegiatan pecinta alam memaparkan modul keselamatan, guru bahasa mengajak siswa menulis esai reflektif tentang rasa takut dan keberanian. Anak anak muda mengunggah hasil desain poster buatan sendiri, ada yang memulai podcast kecil untuk mewawancarai teman yang ikut nobar. Semuanya bergerak dalam alur partisipasi yang organik.
“Ketika budaya menonton berkembang menjadi budaya bertanya, di situlah literasi audio visual bertunas.”
Inspirasi yang Dibawa Keisha dan Aji untuk Penonton
Di penuturan yang paling personal, Keisha berbagi tentang cara ia mengelola panik ketika adegan menuntut langkah di tepi tebing. Aji bercerita soal latihan menahan hening agar tatapan mata bisa berbicara. Mereka tidak menempatkan diri sebagai superhero, justru mengajak penonton berteman dengan keterbatasan diri. Pesan yang berulang adalah tanggung jawab atas keputusan kecil di medan sulit, dan pentingnya tidak meninggalkan teman yang melambat di belakang.
“Kedewasaan sering datang ketika kita belajar berkata cukup, berhenti, dan menunggu kawan sampai.”
Rencana Aktivitas Lanjutan Bersama Komunitas
Tim film menyalakan niat untuk kembali ke Makassar dalam format kegiatan berbeda. Ada gagasan lokakarya keselamatan di jalur alam yang dipandu pelatih bersertifikat, pemutaran terbatas untuk komunitas relawan kebencanaan, hingga pameran foto di ruang publik yang menampilkan wajah wajah kru lapangan yang biasanya tersembunyi di balik kamera. Beberapa pengelola ruang kreatif menawarkan kolaborasi lintas disiplin, menggabungkan musik tradisi dengan rekaman bunyi hutan dari proses produksi.
“Karya yang baik cenderung menciptakan karya lain, begitulah energi yang menular.”
Kekuatan Cerita Lokal yang Bergaung Lebar
Eva Pendakian Terakhir menyajikan rumus yang terasa sederhana namun bekerja efektif. Cerita yang dekat, peran yang bernafas, dan lanskap yang didekati dengan rasa hormat. Kehadiran pemeran ke Makassar menambah lapisan emosional, karena penonton bisa menghubungkan adegan yang mereka lihat dengan wajah manusia yang mereka temui. Di luar gedung pemutaran, percakapan masih berlanjut, dan itulah tanda bahwa film telah melampaui definisinya sebagai hiburan semata.
“Ketika penonton pulang dengan banyak pertanyaan, film sedang menjalankan tugas terbaiknya.”
Catatan Kecil Tentang Keselamatan dan Kebersamaan
Beberapa menit terakhir dalam bincang bersama penonton diisi dengan pesan praktis yang tidak kalah penting. Jika ingin memulai hobi mendaki, mulailah dari jalur yang sudah dikenal, ikuti arahan pemandu, dan pastikan perlengkapan memadai. Jangan memaksakan puncak apabila cuaca berubah, dan tetap jujur dengan kemampuan diri. Keindahan alam tidak akan kemana mana, tetapi kesempatan kembali pulang selalu berharga. Pesan kebersamaan ditegaskan, sebab setiap perjalanan yang baik adalah perjalanan yang semua anggotanya kembali dalam keadaan aman.
“Keindahan yang sejati ialah bisa diceritakan kembali bersama mereka yang ikut berangkat.”
Antusiasme yang Menyisakan Jejak Panjang
Usai rangkaian acara, akun akun komunitas memajang foto bersama, potongan video tepuk tangan, dan kutipan singkat dari sesi tanya jawab. Pengelola bioskop melaporkan jadwal penayangan tambahan karena permintaan meningkat. Di linimasa warganet Makassar, rekomendasi tontonan menyebar secara alami dari satu grup pertemanan ke grup lain. Energi yang ditinggalkan bukan sekadar euforia sesaat, melainkan dorongan untuk terus merawat tradisi menonton yang sehat, kritis, dan penuh rasa bangga.






