Menjelang peringatan hari besar keagamaan, suasana Kota Makassar kembali diwarnai dengan seruan moral dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Makassar. Para wakil rakyat meminta agar seluruh Tempat Hiburan Malam (THM) di kota ini menghormati aturan yang berlaku, terutama terkait pembatasan jam operasional dan kegiatan selama momen sakral seperti Maulid Nabi, Natal, Nyepi, dan Ramadan. Seruan tersebut bukan sekadar formalitas tahunan. Bagi DPRD Makassar, penghormatan terhadap hari-hari besar keagamaan mencerminkan wajah sosial dan moral sebuah kota. Apalagi Makassar, yang dikenal sebagai kota religius dengan semboyan “Sombere dan Smart City”, memiliki kewajiban menjaga harmoni antara dunia hiburan dan nilai-nilai keagamaan masyarakatnya.
“THM di Makassar harus paham bahwa bisnis hiburan tidak bisa berjalan tanpa menghargai nilai-nilai spiritual masyarakat di sekitarnya.”
Suara Tegas dari Gedung DPRD Makassar
Dalam rapat koordinasi bersama Satpol PP dan Dinas Pariwisata, sejumlah anggota DPRD Makassar menegaskan bahwa aturan penutupan sementara atau pembatasan operasional THM saat hari besar keagamaan bukanlah sekadar imbauan, tetapi bagian dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketertiban Umum dan Kepariwisataan.
Ketua Komisi A DPRD Makassar menyebut bahwa setiap pemilik THM wajib mematuhi jadwal yang dikeluarkan oleh pemerintah kota, terutama pada malam menjelang hari keagamaan.
Ia menambahkan, pelanggaran terhadap aturan tersebut bukan hanya soal sanksi administratif, tetapi juga bentuk tidak menghormati keberagaman dan toleransi antar umat beragama.
“Makassar ini kota besar dengan masyarakat yang majemuk. Kalau tempat hiburan seenaknya buka di malam suci, itu bukan hanya melanggar aturan, tapi juga melukai perasaan warga.”
THM Makassar: Antara Ekonomi dan Etika Sosial
Kehidupan malam di Makassar memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Tempat Hiburan Malam. Mulai dari karaoke keluarga, pub, hingga diskotek, semuanya menjadi bagian dari denyut ekonomi kota. Banyak pekerja bergantung pada sektor hiburan ini, dari musisi lokal, karyawan bar, hingga penyedia jasa keamanan dan transportasi.
Namun, di balik geliat ekonomi itu, muncul dilema sosial yang selalu menjadi perdebatan. Bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan etika sosial dan nilai keagamaan masyarakat Makassar yang mayoritas Muslim?
Pemerintah kota bersama DPRD Makassar berusaha menempatkan posisi yang seimbang. Hiburan tidak dilarang, tetapi harus tunduk pada etika sosial yang sudah menjadi konsensus warga. Itulah mengapa setiap kali menjelang bulan Ramadan atau hari raya besar, muncul peraturan penutupan sementara THM demi menghormati umat yang beribadah.
“Ekonomi memang penting, tapi moralitas sosial lebih penting. Kota ini tidak boleh kehilangan jiwanya hanya karena ingin menjaga lampu hiburan tetap menyala.”
Sejarah Panjang THM di Makassar

Fenomena THM di Makassar bukanlah hal baru. Sejak era 1990-an, kawasan seperti Jalan Hertasning, Penghibur, dan Boulevard Panakkukang sudah dikenal sebagai pusat hiburan malam. Dari sana muncul banyak tempat karaoke, bar, dan live music yang menjadi magnet bagi warga kota hingga wisatawan.
Namun, perkembangan tersebut tak jarang menimbulkan gesekan dengan masyarakat. Ada masa di mana pemerintah kota bahkan menutup beberapa tempat hiburan karena dianggap menyalahi izin usaha atau mengabaikan norma sosial.
Meski demikian, sektor ini tetap bertahan karena memiliki basis ekonomi yang kuat. Ribuan tenaga kerja menggantungkan hidupnya di sana. Bahkan, beberapa THM kini bertransformasi menjadi tempat hiburan yang lebih ramah keluarga, mencoba keluar dari stigma negatif.
Namun, di setiap masa, perdebatan tetap muncul saat menjelang hari besar keagamaan. Sebagian pelaku usaha berharap diberi kelonggaran, sementara masyarakat menuntut ketegasan.
“DPRD Makassar selalu punya dua sisi, kota yang modern sekaligus religius. THM harus tahu di mana batas di antara dua sisi itu.”
Pengawasan Diperketat oleh Pemerintah Kota
Menindaklanjuti peringatan DPRD Makassar melalui Satpol PP dan Dinas Pariwisata menyiapkan langkah konkret. Tim gabungan akan turun langsung ke lapangan untuk memastikan tidak ada THM yang beroperasi di luar jam yang ditentukan saat hari besar keagamaan.
Selain patroli rutin, pemerintah juga membuka kanal aduan masyarakat melalui hotline dan media sosial. Warga dapat melaporkan THM yang melanggar aturan, baik dalam bentuk kegiatan yang melampaui jam operasional maupun aktivitas yang mengganggu ketertiban umum.
Kepala Satpol PP Makassar mengatakan bahwa pihaknya tidak akan segan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar, mulai dari teguran hingga pencabutan izin usaha.
“Kami tidak ingin hanya memberi peringatan simbolis. Setiap pelanggaran akan ditindak tegas karena ini menyangkut ketertiban dan kehormatan kota.”
Respons Pelaku Usaha THM
Sementara itu, sejumlah pelaku usaha THM di Makassar menyatakan siap mendukung imbauan pemerintah dan DPRD Makassar. Mereka mengaku telah menerima surat edaran resmi dari Dinas Pariwisata yang mengatur jadwal operasional selama hari besar keagamaan.
Beberapa pengelola bahkan memanfaatkan momen penutupan sementara untuk melakukan perawatan fasilitas, pelatihan karyawan, atau pembaruan konsep hiburan.
Namun, di sisi lain, ada pula pengusaha yang berharap pemerintah mempertimbangkan waktu penutupan agar tidak terlalu lama, mengingat dampak ekonomi yang mereka rasakan setelah pandemi masih cukup berat.
“Kami menghormati aturan DPRD Makassar. Tapi kami juga berharap kebijakan ini dibuat dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi para pekerja hiburan.”
Suara Tokoh Agama dan Masyarakat
Para tokoh agama di Makassar memberikan dukungan penuh terhadap sikap DPRD Makassar. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak hanya melindungi nilai-nilai religius, tetapi juga menjadi bentuk pendidikan moral bagi masyarakat.
Pimpinan salah satu ormas Islam di DPRD Makassar menyebut bahwa menghormati hari besar agama adalah bagian dari tradisi kultural masyarakat Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi sopan santun dan rasa saling menghargai.
Ia menambahkan bahwa keberadaan THM tidak perlu dihapuskan, tetapi harus dikendalikan agar tidak menodai nilai-nilai luhur daerah.
“Menghormati hari suci tidak akan membuat bisnis hiburan bangkrut, justru akan membuatnya lebih dihargai. Karena siapa pun yang tahu waktu untuk berhenti, tahu waktu untuk dihormati.”
THM dan Identitas Kota Makassar
Kota Makassar kini tumbuh menjadi salah satu pusat ekonomi dan pariwisata di kawasan timur Indonesia. Bersamaan dengan itu, muncul berbagai bentuk hiburan yang menjadi bagian dari gaya hidup urban.
Namun, bagi masyarakat Makassar, modernitas tidak boleh membuat mereka kehilangan identitas. Kota ini dibangun di atas nilai religius, gotong royong, dan kebudayaan Bugis-Makassar yang menekankan keseimbangan antara duniawi dan rohani.
THM yang tumbuh di kota ini harus mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga ikut menjaga citra Makassar sebagai kota yang bersahabat, sopan, dan menghormati keberagaman.
“Makassar dikenal bukan karena lampu malamnya, tapi karena kehangatan warganya. Hiburan boleh hidup, tapi jangan sampai mengaburkan jati diri kota.”
Peran Media dalam Mengawasi THM
Media lokal di Makassar turut memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ini. Beberapa redaksi seperti Radar Makassar dan Fajar kerap menyoroti isu pelanggaran tempat hiburan malam, terutama saat bulan Ramadan atau hari keagamaan besar.
Laporan investigasi mereka sering kali menjadi dasar bagi DPRD Makassar dan pemerintah kota untuk mengambil tindakan. Di sisi lain, media juga memberi ruang bagi pelaku usaha hiburan untuk menyampaikan aspirasi dan klarifikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman publik.
Fungsi media inilah yang membuat pengawasan terhadap THM menjadi lebih transparan dan partisipatif. Warga bisa ikut mengontrol, sementara pemerintah memiliki sumber informasi yang akurat dari lapangan.
“Pers di Makassar bukan hanya pengamat, tapi juga penjaga moral publik. Mereka memastikan bahwa keseimbangan antara hiburan dan nilai tetap terjaga.”
THM dan Potret Sosial Kota Metropolitan
Makassar kini bukan hanya milik warga lokal, tetapi juga para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia timur. Pertumbuhan ekonomi yang pesat mendorong munculnya berbagai tempat hiburan, kafe, hingga bar yang menjadi simbol gaya hidup urban.
Bagi sebagian orang, keberadaan THM adalah bagian dari kemajuan ekonomi kota. Namun bagi yang lain, terutama kalangan religius, ini dianggap sebagai tantangan bagi moralitas sosial.
Kedua pandangan itu hidup berdampingan, dan di sinilah pentingnya aturan. Tanpa regulasi yang jelas, hiburan bisa kehilangan arah dan menciptakan konflik sosial.
Dengan langkah tegas DPRD Makassar dan Pemkot Makassar, diharapkan keseimbangan ini tetap terjaga. Hiburan boleh tumbuh, tapi tetap dalam koridor moral dan hukum yang berlaku.
“Modernitas tidak berarti bebas tanpa batas. Kota yang maju adalah kota yang mampu mengatur kebebasan dengan bijak.”
Refleksi untuk Makassar yang Harmonis
Imbauan DPRD Makassar agar THM menghormati hari besar keagamaan bukan semata soal larangan, tapi cermin dari tanggung jawab sosial pemerintah terhadap moral publik. Dalam konteks yang lebih luas, ini adalah ajakan bagi semua pihak untuk memahami bahwa kemajuan ekonomi harus berjalan seiring dengan kematangan budaya.
Makassar memiliki potensi besar sebagai kota pariwisata malam di kawasan timur, tetapi potensinya hanya akan bermakna jika dibangun dengan keseimbangan. Di tengah geliat musik, lampu warna-warni, dan kehidupan malam, harus ada ruang untuk hening, refleksi, dan penghormatan terhadap yang sakral.
Kota ini bisa tetap hidup di malam hari, tapi dengan cara yang bermartabat.
“Makassar tidak akan pernah kehilangan cahaya, selama warganya masih tahu kapan harus menyalakan lampu, dan kapan harus menundukkan kepala dalam doa.”






