Ketua KKDB Alfatiha untuk Almarhumah Hj Hasnah Syam Ruang pertemuan sebuah sekretariat komunitas warga Barru di Makassar pagi itu terasa berbeda. Kursi disusun rapi menghadap panggung kecil dengan selembar kain putih yang membingkai foto almarhumah Hj Hasnah Syam. Di meja depan tersusun bunga melati, air mineral, dan beberapa kitab yang akan dipakai untuk tahlil. Ketua Kerukunan Keluarga Daerah Barru atau KKDB berdiri di mimbar, menatap hadirin yang datang dari berbagai kalangan. Nadanya tenang namun bergetar ketika mengucap salam dan memohon agar semua yang hadir menghadiahkan doa terbaik.
“Ukuran seorang tokoh tidak berhenti pada jabatan. Ia terlihat dari jejak kebaikan yang membuat orang lain ikut melangkah.”
Doa Bersama yang Mengundang Rasa Persaudaraan
Seusai pembukaan, lantunan ayat suci mengisi ruangan. Ketua KKDB menundukkan kepala, memimpin zikir pendek sebelum penghulu memandu tahlil. Tidak ada suara keras, hanya gumam serempak yang menyatu dengan isak yang sesekali terdengar dari barisan perempuan. Beberapa tamu dari luar daerah turut hadir tanpa dibuatkan undangan resmi. Mereka datang karena ikatan hati, merasa pernah disapa atau dibantu oleh almarhumah.
Pemandangan itu menyiratkan satu hal yang kuat, kepergian Hj Hasnah Syam bukan sekadar kabar duka di linimasa, melainkan kehilangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat yang pernah bersinggungan dengan kerja dan perhatiannya.
“Saat doa dipanjatkan serentak, kita sadar bahwa seorang tokoh telah menjadi bagian dari keluarga besar yang lebih luas dari sekadar marga dan alamat.”
Sosok yang Menjembatani Pemerintah dan Warga
Ketua KKDB dalam sambutannya mengingatkan bagaimana almarhumah kerap menjadi penghubung antara kebutuhan warga dan kebijakan publik. Ia menyebut pengalaman ketika pengadaan alat kesehatan untuk sebuah pos pelayanan terpadu di kampung nelayan sempat tersendat. Almarhumah hadir, tidak dengan janji panjang, tetapi dengan mengurai hambatan agar layanan segera berjalan.
Cerita lain mengalir dari seorang guru sekolah dasar yang berdiri dari kursinya. Ia mengisahkan bantuan buku bacaan dan peralatan ekstrakurikuler yang datang tanpa seremoni. Hingga hari ini, katanya, rak buku di sekolah itu masih mencantumkan nama penyumbang sebagai penanda agar murid murid tahu bahwa mereka tumbuh karena uluran tangan banyak orang.
“Ada pemimpin yang menggerakkan dengan kata kata, ada yang bekerja dalam senyap. Yang kedua seringkali lebih melekat di hati warga.”
Alfatihah sebagai Janji Melanjutkan Kebaikan
Dalam tradisi Muslim di Sulawesi Selatan, doa Alfatihah untuk yang telah berpulang bukan hanya wujud penghormatan. Ia juga menjadi janji diam bahwa keluarga dan sahabat akan meneruskan nilai nilai yang ditinggalkan. Ketua KKDB menekankan hal ini, bahwa doa harus berbuah tindakan. Komunitas pun menyepakati untuk membentuk sebuah program kerja yang memuat amanah sosial almarhumah.
Pembahasan tidak berlarut. Mereka menuliskan daftar kebutuhan prioritas, dari dukungan pendidikan bagi anak anak pesisir, penguatan layanan kesehatan komunitas, hingga pelatihan keterampilan bagi perempuan. Semua poin itu dikaitkan dengan jejak almarhumah semasa hidup agar program tidak sekadar menempel nama, melainkan memuat semangat yang sama.
“Mengirim doa adalah awal. Mengubah doa menjadi gerak adalah cara kita menjaga amalnya tetap mengalir.”
Hari Berkabung yang Berubah Menjadi Hari Belajar
Banyak pelayat datang untuk berbela sungkawa, namun mereka pulang membawa bekal gagasan. Sejumlah pengurus pemuda mencatat ide mengenai perpustakaan kampung beserta sistem peminjaman sederhana. Seorang bidan sukarela menuliskan skema pemeriksaan ibu hamil di pos warga dengan jadwal yang teratur. Para pedagang pasar menyumbang bahan konsumsi untuk kegiatan sosial pertama yang akan dijalankan sepekan kemudian.
Sebagai jurnalis yang hadir mengamati, saya merasakan bagaimana hari berkabung dapat menjadi ruang belajar sosial. Dukacita ternyata bisa menjadi wahana menyusun ulang prioritas sebagai komunitas.
“Kehilangan membuat kita menengok ke belakang, tetapi yang baik dari duka adalah dorongan untuk menata langkah ke depan.”
Ruang Kenangan yang Disusun dengan Tertib
Panitia menyiapkan sudut memori di salah satu dinding sekretariat. Di sana tergantung foto foto kegiatan almarhumah, sebagian berwarna, sebagian hitam putih. Ada gambar beliau sedang duduk di teras rumah warga sambil memegang buku catatan kecil. Ada pula gambar ketika beliau hadir di peresmian posyandu. Di bawah foto disediakan buku tamu yang mempersilakan pengunjung menulis kesan singkat dan doa.
Langkah ini barangkali terlihat sederhana, namun penting bagi generasi muda yang tidak lagi berjumpa langsung dengan almarhumah. Kelak, ketika mereka bertanya siapa yang dulu memulai program literasi di kampung atau siapa yang menggerakkan pelatihan jahit bagi ibu ibu, dinding itu akan menjawab tanpa pidato.
“Kenangan yang baik adalah yang dapat ditunjuk dan ditiru, bukan hanya diceritakan dengan kata kata.”
Suara Perempuan yang Terus Menggema
Banyak perempuan hadir dengan menutup kepala, mata mereka berkaca kaca. Beberapa di antaranya pernah menjadi peserta pelatihan keterampilan yang difasilitasi almarhumah. Seorang ibu menceritakan bahwa dari pelatihan itu lahir usaha kecil yang sekarang membantu biaya sekolah dua anaknya. Yang lain mengingat kunjungan almarhumah ke rumahnya ketika suaminya sakit dan membutuhkan rujukan.
Ketua KKDB menegaskan bahwa suara perempuan harus tetap menjadi perhatian setelah kepergian almarhumah. Koordinasi dengan organisasi perempuan dirancang agar kegiatan tidak putus di tengah jalan. Rencana pembentukan wadah perempuan wirausaha baru dibahas dengan sistem pendampingan sederhana.
“Ketika satu suara perempuan berhenti karena ajal, seratus suara lain perlu ditumbuhkan agar ruang yang ditinggalkan tidak menjadi kosong.”
Nilai Nilai Kepemimpinan yang Membumi
Di sela sela doa, seorang tokoh masyarakat maju ke depan. Ia bukan pejabat, hanya ketua rukun tetangga yang sudah sepuh. Ia bercerita tentang bagaimana almarhumah selalu memulai pertemuan dengan menanyakan masalah paling kecil di lingkungan. Saluran air, lampu jalan, hingga persoalan anak putus sekolah. Nilai kepemimpinan seperti ini menurutnya jarang terlihat pada masa ketika orang lebih terpikat pada panggung besar.
Ketua KKDB menambahkan bahwa pemimpin yang membumi tidak anti mimbar, tetapi lebih suka melihat kenyataan dari jarak dekat. Mungkin itulah sebabnya kepergian almarhumah menimbulkan rasa kehilangan yang nyata. Masyarakat merasa kehilangan seorang pendengar yang tulus.
“Kepemimpinan yang terasa di hati selalu dimulai dari kehadiran yang tidak berjarak.”
Jembatan ke Pemerintah yang Harus Tetap Kuat
Usai acara, pengurus KKDB menyusun rencana audiensi dengan beberapa instansi daerah. Tujuannya memastikan program sosial yang pernah didorong almarhumah mendapatkan dukungan struktural. Bukan untuk meminta nama jalan atau tugu, melainkan menyambung jaringan agar layanan untuk warga yang rentan tidak terhenti.
Langkah ini disambut baik. Ketika komunitas berjalan bersama pemerintah, program menjadi berumur panjang dan tidak tergantung pada satu figur. Ini pula yang ditekankan oleh Ketua KKDB, bahwa cara terbaik menghormati almarhumah adalah menjaga jembatan yang telah dibangunnya tetap tegak.
“Kebaikan perlu alamat yang jelas agar sampai. Pemerintah adalah salah satu alamat yang harus terus kita ketuk.”
Pendidikan sebagai Pusaka yang Diteruskan
Di sesi diskusi, beberapa guru muda mengusulkan pendirian kelas baca sabtu pagi. Lokasinya di teras rumah salah satu warga yang cukup luas. Perlengkapan belajar akan disumbang para alumni sekolah setempat. Ketua KKDB menyambut antusias dan meminta agar kegiatan tersebut dilengkapi dengan catatan kehadiran, daftar buku yang dibaca, serta target kecil agar kemajuan dapat diukur.
Pendidikan dipilih sebagai pusaka utama karena ia menembus batas waktu. Tidak peduli siapa pejabat yang datang dan pergi, anak yang bisa membaca dengan baik memiliki masa depan yang lebih terang. Ini selaras dengan cara kerja almarhumah selama ini yang percaya bahwa perubahan sosial yang tahan lama berawal dari pengetahuan.
“Ilmu adalah sedekah yang tidak pernah selesai karena selalu dilahirkan ulang di kepala para murid.”
Kesehatan Warga dan Jejaring Relawan
Selain pendidikan, kesehatan menjadi tema besar yang dihidupkan kembali. Seorang perawat komunitas menyodorkan proposal pemeriksaan tekanan darah dan gula darah berkala dengan biaya gotong royong. Apabila program menunjukkan hasil, barulah diajukan dukungan tambahan dari puskesmas. Ketua KKDB meminta agar pelaksanaan memanfaatkan hari yang sama pada setiap pekan supaya warga mudah mengingat jadwal.
Relawan muda bergerak cepat menyusun daftar tugas. Ada yang bertanggung jawab pada administrasi, ada yang mengelola peralatan, dan ada yang mengatur komunikasi dengan warga. Menghidupkan partisipasi dari relawan dianggap sebagai kunci agar program tidak bergantung pada satu dua orang.
“Gerak sosial membutuhkan ritme yang konsisten. Relawan adalah penabuh gendang yang menjaga ritme itu tetap terdengar.”
Ekonomi Mikro yang Menguatkan Ketahanan Keluarga
Dalam rapat kecil seusai tahlil, Ketua KKDB membuka sesi bagi pelaku usaha kecil. Mereka berbicara tentang akses bahan baku, kemasan, dan pemasaran sederhana. Usulan yang mengemuka adalah pembuatan gerai akhir pekan di halaman sekretariat untuk menampilkan produk warga. Strateginya sederhana tetapi nyata. Mengawinkan produk rumahan dengan acara komunitas sehingga ada arus pengunjung.
Almarhumah dikenal akrab dengan para pelaku usaha kecil. Karena itu, pengurus bersepakat memberi porsi khusus bagi perempuan kepala keluarga agar produk mereka mendapatkan perhatian. Pelatihan singkat mengenai pembukuan dasar dirancang agar pelaku usaha dapat memisahkan uang pribadi dan uang usaha.
“Ketahanan sebuah keluarga sering kali dimulai dari satu meja kecil tempat usaha rumahan dikerjakan dengan tekun.”
Media Sosial untuk Merawat Ingatan dan Kolaborasi
Anak anak muda yang hadir menawarkan pengelolaan kanal komunitas di platform digital. Kontennya akan memadukan informasi program, kisah inspiratif, serta edukasi singkat mengenai kesehatan dan literasi. Ketua KKDB mengingatkan agar unggahan tidak berubah menjadi panggung belaka, melainkan jendela yang memudahkan warga menemukan bantuan.
Pengelolaan digital juga ditujukan untuk merawat ingatan. Setiap edisi Jumat akan menampilkan satu catatan pendek tentang jejak almarhumah. Cara ini diharapkan membangun budaya dokumentasi yang selama ini sering diabaikan.
“Di zaman ini, ingatan butuh rumah. Jika tidak kita bangunkan sendiri, ia mudah tertiup derasnya arus informasi.”
Rumah Doa yang Menjadi Rumah Ide
Selesai acara doa, ruangan tidak langsung kosong. Kelompok kecil masih berkumpul, berdiskusi pelan sambil menikmati teh hangat. Ada rasa sesak yang pelan pelan berubah menjadi tekad. Ketua KKDB berkeliling menyalami satu per satu, mengucapkan terima kasih karena hadir bukan hanya untuk duka, tetapi juga untuk rencana.
Pada dinding paling depan, terpampang kalimat singkat yang ditulis tangan oleh salah satu relawan. Kalimat itu menjadi pengingat sederhana bagi siapa pun yang melangkah masuk.
“Doa memanggil kebaikan dari langit, kerja mengalirkan kebaikan ke bumi.”
Menjaga Martabat Duka agar Berbuah Manfaat
Duka yang terpelihara dengan martabat akan melahirkan manfaat. Itulah yang berkali kali diucapkan Ketua KKDB dalam berbagai kesempatan. Ia menandaskan bahwa komunitas tidak ingin menambah daftar upacara tanpa makna. Setiap kegiatan setelah ini akan diberi indikator agar dapat diukur, dikoreksi, dan diperbaiki.
Ia juga mengajak semua pihak untuk menahan diri dari godaan membuat program yang megah namun sukar dijalankan. Lebih baik kecil dan nyata, daripada besar dalam poster namun hilang di lapangan. Prinsip itu, katanya, sejalan dengan watak kerja almarhumah yang cenderung sunyi tetapi efektif.
“Kebaikan tidak membutuhkan pengeras suara. Ia mencari tangan yang sabar dan langkah yang konsisten.”
Salam Terakhir yang Menjadi Salam Pembuka
Ketika para hadirin mulai meninggalkan ruangan, matahari sudah condong ke barat. Foto almarhumah masih terpajang, dikelilingi bunga yang segar. Beberapa anak kecil ikut menunduk, menirukan orang dewasa yang memanjatkan doa. Pemandangan itu seperti menutup satu bab tetapi sekaligus membuka halaman baru dalam buku kehidupan komunitas.






