MUI Sulsel Tegaskan Haram Memberi Uang kepada Manusia Silver

MUI Sulsel Tegaskan Haram Memberi Uang kepada Manusia Silver Fenomena manusia silver kembali mengemuka di ruas jalan kota besar, termasuk Makassar. Wajah dan tubuh yang dioles cat perak, berdiri di persimpangan lampu merah, melambai kepada pengendara sambil berharap receh jatuh ke genggaman. Di tengah pro dan kontra, Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan sikap keagamaan yang tegas: memberi uang kepada manusia silver dinyatakan haram.

Pernyataan ini sontak memantik diskusi luas. Banyak yang menyambut baik karena melihatnya sebagai upaya memutus mata rantai eksploitasi di jalanan. Ada juga yang bertanya pelan, apakah larangan ini menutup ruang empati kepada mereka yang kesulitan hidup. Di antara dua arus itu, MUI Sulsel meminta publik menata cara membantu agar lebih tepat, lebih berdaya, dan tidak melanggengkan praktik yang merugikan.

“Sedekah adalah keindahan iman. Tetapi ketika niat baik justru menguatkan praktik yang berbahaya atau eksploitatif, maka kebajikan menuntut kita mengubah cara memberi.”

Mengapa Manusia Silver Jadi Sorotan

Gambaran manusia silver tampak sederhana: tubuh diselimuti cat, menampilkan gestur teatrikal di jalan, lalu menerima uang. Namun yang terlihat di permukaan sering tidak mewakili seluruh cerita. Ada bahaya kesehatan dari penggunaan cat pada kulit, ada risiko keselamatan di jalan raya, dan ada kemungkinan praktik ini dikelola oleh pihak tertentu yang mencari keuntungan dari kedermawanan orang lain.

Jalanan adalah panggung yang mudah memicu empati spontan. Pengendara sering merasa lebih mudah menurunkan kaca dan memberikan uang ketimbang mencari informasi lebih jauh tentang kondisi sosial orang yang meminta. Kebiasaan ini menciptakan siklus: semakin sering diberi, semakin kuat ketergantungan pada aktivitas meminta di ruang publik.

“Rasa iba yang tidak terarah, tanpa disadari, bisa menjadi bensin yang menyalakan api ketergantungan.”

Substansi Sikap Keagamaan MUI Sulsel

Inti sikap MUI Sulsel bertumpu pada dua pilar. Pertama, mencegah dukungan terhadap praktik meminta di jalan yang berpotensi menistakan martabat pelakunya, mengundang bahaya kesehatan, dan mengganggu keselamatan publik. Kedua, mengarahkan sedekah agar melalui jalur yang jelas, terukur, dan berkelanjutan sehingga benar benar menghadirkan maslahat.

Dalam perspektif fikih, sedekah tidak hanya dilihat dari niat, tetapi juga dari dampak. Bila sebuah pemberian menimbulkan keberlanjutan perbuatan yang mudarat, maka umat diseru untuk mengalihkannya kepada bentuk bantuan lain yang lebih aman dan maslahat. Prinsip ini sejalan dengan kaidah menghindari kerusakan yang lebih besar dan memilih cara kebaikan yang efeknya lebih luas.

“Baik itu bukan sekadar memberi, melainkan memastikan pemberian itu memuliakan, menyembuhkan, dan menguatkan.”

Dimensi Kesehatan, Keselamatan, dan Martabat

Cat perak yang melapisi tubuh bukan sekadar aksesori. Di banyak kasus, pemakaian cat yang tak dirancang untuk kulit memicu iritasi, gangguan pernapasan, hingga kerusakan kulit jangka panjang. Di sisi keselamatan, berdiri di badan jalan menantang risiko kecelakaan, baik bagi pelaku maupun pengguna jalan.

Di atas semuanya, ada soal martabat. Mencari rezeki dengan cara yang mengundang belas kasihan di ruang publik, dalam pandangan keagamaan dan norma sosial, dinilai tidak ideal sebagai jalan hidup. MUI Sulsel mendorong agar nafkah dicari melalui kerja yang terhormat, sekalipun sederhana, karena itulah inti kemuliaan mencari penghidupan.

“Martabat tidak boleh dipertaruhkan demi receh. Bekerja kecil dengan terhormat lebih agung daripada menampilkan diri untuk dikasihani.”

Tugas Negara dan Tata Kelola Bantuan

Fatwa atau sikap keagamaan tidak berdiri sendiri. Ia memerlukan ekosistem kebijakan agar tidak berhenti pada imbauan moral. Pemerintah daerah memiliki mandat menjaga keteraturan, keselamatan, dan kesejahteraan. Itu berarti pembinaan sosial, penertiban ruang publik, hingga penguatan jaring pengaman bagi kelompok rentan perlu berjalan beriring.

Di titik ini, kolaborasi menjadi kunci. Dinas sosial, aparat ketertiban, lembaga keagamaan, komunitas filantropi, dan kampus dapat berbagi peran: mulai dari pendataan, pelatihan kerja, akses layanan kesehatan, hingga penyaluran bantuan tunai bersyarat. Pendekatannya tidak menghukum, tetapi merangkul ke jalan yang lebih baik.

“Menertibkan jalan bukan untuk mengusir, melainkan untuk mengantar banyak orang keluar dari jalan buntu.”

Mengalihkan Sedekah ke Jalur yang Tepat

Pesan paling praktis dari sikap MUI Sulsel adalah mengalihkan kebiasaan memberi uang di lampu merah menuju saluran yang terstruktur. Warga dapat menyalurkan zakat, infak, dan sedekah melalui lembaga resmi yang memiliki sistem verifikasi dan pendampingan.

Di tingkat kampung dan kelurahan, masjid dan lembaga sosial lokal bisa menginisiasi kotak berbagi terkurasi. Data mustahik diperbarui, kebutuhan dipetakan, bantuan disalurkan dengan pendampingan. Pola sederhana tapi rapi seperti ini memastikan sedekah sampai kepada mereka yang memang berhak dan dibarengi upaya pemberdayaan, bukan sekadar konsumsi sesaat.

“Sedekah yang cerdas tidak membuat penerimanya tinggal di tempat, tetapi menolongnya melangkah ke depan.”

Menjawab Kritik: Bagaimana Empati Disalurkan

Pasti ada yang bertanya, bagaimana jika manusia silver itu benar benar dalam keadaan terdesak. Apakah kita harus membiarkannya begitu saja. Pertanyaan ini relevan dan wajar. Jawabannya bukan mematikan empati, melainkan mengalihkannya.

Jika bertemu di jalan, kita bisa menolak memberi uang tetapi menawarkan informasi tentang tempat layanan sosial terdekat. Di beberapa kota, hotline layanan sosial tersedia untuk merespons kondisi darurat. Di lingkungan tempat tinggal, kita bisa terlibat dalam program donasi bahan pokok terarah, atau menjadi relawan pendamping bagi keluarga rentan. Empati tidak hilang, hanya berubah wujud agar lebih berdampak.

“Hati yang peduli tidak selalu harus melepaskan uang seketika. Terkadang, kepedulian yang terbaik adalah menunjukkan jalan pulang.”

Perspektif Ulama: Maslahat, Maqasid, dan Prioritas

Dalam diskursus keislaman, maqasid syariah atau tujuan tujuan luhur hukum Islam menempatkan penjagaan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan sebagai poros. Praktik manusia silver di ruang publik berisiko pada beberapa tujuan itu sekaligus: keselamatan jiwa di jalan, kesehatan akal dan tubuh akibat paparan bahan kimia, juga risiko hilangnya harta publik jika sedekah jatuh ke model eksploitasi.

Dari sini, prioritas kebijakan dan sikap publik menjadi lebih terang. Menjaga keselamatan dan martabat didahulukan dibanding membiarkan kebiasaan memberi yang dampaknya merugikan. Prinsip maslahat menuntun agar cara cara berbagi yang lebih aman dan membebaskan dikedepankan.

“Maqasid mengajari kita bahwa niat baik harus bertemu cara baik. Tujuan tak membenarkan jalan yang merusak.”

Peran Media dan Bahasa Narasi

Pemberitaan tentang manusia silver sering terjebak pada dua ekstrem: menggugah iba berlebihan atau memberi stigma. Keduanya sama sama tidak menuntun pada solusi. Media, komunitas, dan warga perlu menata narasi yang menolak eksploitasi, namun tetap memanusiakan manusia.

Alih alih meromantisasi atraksi di jalan, sorotan dapat diarahkan pada kisah keluar dari jalanan melalui pelatihan kerja, dukungan modal mikro, atau program magang. Semakin banyak narasi pemulihan dan pemberdayaan, semakin kuat dorongan publik untuk menyalurkan sedekah ke saluran yang benar.

“Cerita yang kita pilih untuk diangkat akan menjadi peta moral bagi khalayak. Mari memilih cerita yang menuntun keluar, bukan terjebak.”

Edukasi Keluarga: Anak Anak Bukan Alat

Salah satu kekhawatiran terbesar dari praktik manusia silver adalah keterlibatan anak. Di beberapa sudut lampu merah terlihat anak anak ikut serta, entah sebagai pengiring atau penarik simpati. Sikap keagamaan dan aturan negara sama sama menolak eksploitasi anak dalam bentuk apa pun.

Orang tua, guru, dan pemuka agama memegang peran strategis. Edukasi tentang bahaya kesehatan, risiko hukum, dan nilai kerja terhormat harus disampaikan berulang. Program beasiswa, kelas keterampilan gratis, dan dukungan psikososial bagi keluarga marginal akan menutup celah yang kerap mendorong anak turun ke jalan.

“Di pundak anak tidak boleh kita titipkan beban kemiskinan. Di mata mereka hanya perlu kita titipkan harapan.”

Ekonomi Alternatif: Dari Jalan ke Keterampilan

Larangan memberi uang di jalan harus diiringi tawaran jalan keluar ekonomi. Pemerintah daerah bersama komunitas dapat merancang paket transisi: asesmen kemampuan, pelatihan singkat, penempatan kerja entry level, hingga akses permodalan mikro untuk usaha kecil.

Model model padat karya berbasis lingkungan, seperti bank sampah, urban farming, atau unit jasa kebersihan lingkungan, bisa menjadi pintu awal. Bagi mereka yang terbiasa tampil, peluang di ranah seni pertunjukan formal atau event komunitas bisa difasilitasi agar ekspresi diarahkan ke tempat yang aman dan bernilai ekonomi legal.

“Mengalihkan tangan dari meminta menjadi berkarya adalah inti dari pemberdayaan. Di sanalah harga diri kembali tumbuh.”

Etika Jalan Raya dan Tertib Kota

Selain sisi sosial dan keagamaan, praktik meminta di lampu merah mengganggu ketertiban lalu lintas. Pengendara yang berhenti mendadak untuk memberi uang menambah risiko kecelakaan. Pedoman sederhana tertib kota adalah memisahkan ruang publik berdasarkan fungsi. Trotoar untuk pejalan, badan jalan untuk kendaraan, dan ruang ekspresi dialokasikan pada tempat aman.

Ketika semua kembali ke tempatnya, rasa aman tumbuh. Dan ketika rasa aman tumbuh, kualitas interaksi sosial meningkat. MUI Sulsel menempatkan tertib kota sebagai bagian dari tanggung jawab moral kolektif, bukan teknis belaka.

“Kota yang tertib adalah kota yang memuliakan hidup. Ketertiban bukan dingin, ia hangat karena melindungi.”

Praktik Baik yang Bisa Ditiru

Sejumlah komunitas di berbagai kota menunjukkan cara sederhana namun efektif. Mereka membentuk tim sigap di jam jam ramai untuk mendekati manusia silver dengan pendekatan persuasif, menawarkan makan, informasi pelatihan, serta pendampingan untuk mengurus identitas. Donatur yang biasanya memberi di jalan diajak menyumbang ke dapur umum, beasiswa anak, dan dana transisi kerja.

Di masjid masjid, kotak amal digital dan konvensional diberi label program jelas, semisal santunan lansia, paket gizi anak, dan bantuan sewa rumah. Laporan berkala ditempel di papan pengumuman agar jamaah percaya bahwa sedekah mereka betul betul sampai. Praktik seperti ini merapikan ekosistem kedermawanan.

“Ketika kebaikan diorganisir, ia bertambah daya dan jangkauan. Kebaikan yang rapi mengalahkan belas kasihan yang terburu buru.”

Menata Ulang Kebiasaan, Menjaga Inti Kepedulian

Pada akhirnya, seruan MUI Sulsel agar tidak memberi uang kepada manusia silver bukan upaya mematikan kebaikan. Ini undangan untuk menata ulang kebiasaan memberi. Kita diminta mengganti respon spontan yang berisiko dengan mekanisme yang aman, bermartabat, dan berkelanjutan.

Kepedulian tetap menjadi inti. Hanya caranya yang kita perbaiki. Kita tidak menutup mata terhadap kesulitan, tetapi membuka jalan agar kesulitan itu diurai bersama. Di jalan raya, kita menahan diri. Di rumah ibadah, di lembaga sosial, di komunitas, kita melepas sedekah dengan rencana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *