Warga dan Mahasiswa Tolak Pembangunan Rachita Indah 2 di Galesong Di pesisir Galesong, Takalar, geliat pembangunan kembali memantik gelombang penolakan. Warga bersama mahasiswa dari berbagai kampus lokal turun ke jalan menentang rencana proyek perumahan Rachita Indah 2. Spanduk terbentang, argumentasi saling silang, dan ruang publik berubah menjadi forum terbuka tentang masa depan lingkungan pantai, hajat hidup nelayan, hingga hak masyarakat atas proses perizinan yang transparan. Bagi mereka yang berdiri di garis depan, ini bukan sekadar urusan pagar proyek dan alat berat. Ini tentang arah tata ruang, daya dukung pesisir, dan kepastian hidup generasi yang tumbuh di tepi laut yang sama.
“Sebuah proyek tidak bisa sekadar berdiri. Ia harus berpijak pada tanah yang diridai warga dan logika lingkungan yang masuk akal.”
Gelombang Aksi yang Tumbuh dari Kampung ke Kampus
Aksi penolakan berangkat dari cerita yang sederhana. Nelayan yang pulang melaut kian sering mendengar kabar lahan kosong di dekat tambatan perahu telah dibebaskan. Ibu ibu yang menjemur ikan mengeluh jalan setapak mulai ramai kendaraan proyek. Mahasiswa yang tengah mengerjakan penelitian pesisir melihat potensi gangguan jalur air dan vegetasi pantai. Percakapan kampung bertemu diskusi kelas, lalu bergulir menjadi rapat akbar di balai warga. Dari situ, lahir ikrar bersama untuk meminta penjelasan lengkap perihal dokumen lingkungan, dampak sosial, dan pola drainase yang akan dipakai.
Kehadiran mahasiswa memperkuat advokasi. Mereka membantu merapikan data, memetakan area rawan banjir, serta menyalin aturan yang relevan agar mudah dipahami warga. Di sisi lain, tokoh masyarakat menjadi jembatan yang memastikan suara protes tetap tertib dan fokus pada substansi. Sinergi ini membuat aksi tidak keburu meledak menjadi amarah. Ia tumbuh sebagai serangkaian tuntutan yang dirumuskan dengan kalimat yang dapat diverifikasi.
Di Mana Titik Sensitifnya Menurut Warga
Ada tiga titik sensitif yang paling sering disebut di forum warga. Pertama, kedekatan lokasi proyek dengan garis pantai yang rawan abrasi musiman. Mereka khawatir hilangnya vegetasi penahan angin dan gelombang akan mempercepat kemunduran garis pantai. Kedua, jalur air alami yang mengalir dari permukiman dan kebun ke laut dikhawatirkan tersumbat oleh perubahan elevasi tanah dan dinding pagar proyek. Ketiga, akses tradisional ke pantai untuk menambat perahu, memperbaiki jaring, dan melintas membawa hasil tangkapan.
Warga meminta agar tiga hal itu ditangani sebagai prasyarat, bukan janji setelah alat berat masuk. Mereka tidak ingin solusi tambal sulam yang hadir ketika kerusakan sudah terjadi. Logika yang diajukan sederhana. Lebih murah mencegah daripada memperbaiki.
“Yang warga minta bukan hal mewah. Mereka hanya ingin garis pantai tetap bernapas dan jalur hidup tidak dipasangi pagar tanpa musyawarah.”
Suara Mahasiswa: Data dan Etika Lingkungan
Mahasiswa menempatkan diri sebagai penyaji data dan pengingat etika. Mereka menyodorkan peta tutupan lahan sederhana, foto satelit gratis yang menunjukkan perubahan kontur, serta cuplikan curah hujan bulanan yang menjelaskan mengapa drainase tepi pantai tidak boleh sepele. Di forum terbuka, mereka menjelaskan konsep daya dukung, resiliensi iklim, hingga kewajiban partisipasi bermakna dalam penyusunan dokumen lingkungan.
Peran mahasiswa penting karena mengubah emosi warga menjadi bahasa yang bisa masuk rapat resmi. Mereka juga mengingatkan bahwa penolakan bukan permusuhan. Ini adalah usaha agar kalkulasi ekonomi proyek juga memasukkan ongkos sosial dan ekologis yang selama ini sering tidak dihitung.
Respons Pengembang yang Ditunggu Tunggu
Di sisi pengembang, publik menanti jawaban yang tidak kabur. Pertanyaan mendasar terus diajukan. Apakah seluruh perizinan dasar telah terbit dan sah. Bagaimana hasil kajian risiko banjir rob, termasuk proyeksi 10 hingga 20 tahun ke depan. Di mana jalur evakuasi jika terjadi cuaca ekstrem. Bagaimana mekanisme kompensasi atau penataan ulang akses tradisional warga ke pantai. Adakah rencana ruang terbuka hijau yang tidak sekadar formalitas angka.
Warga berharap pengembang hadir bukan hanya lewat siaran pers atau maket cantik. Mereka ingin sesi tanya jawab di lapangan, tinjauan rute air secara bersama sama, dan kesediaan mengubah desain bila terbukti ada risiko yang luput. Ini cara membangun kepercayaan di pesisir, sebuah kawasan yang ingatannya panjang atas proyek yang datang dan pergi.
“Kepercayaan warga tidak bisa diunduh seperti brosur. Ia harus ditanam, disirami bukti, dan dipanen perlahan.”
Perizinan dan Partisipasi: Bukan Sekadar Tanda Tangan
Proses perizinan sering dianggap urusan administratif yang kering, padahal di situlah publik menaruh harap agar suara mereka tercatat. Warga Galesong menegaskan partisipasi bukan daftar hadir sosialisasi, melainkan proses tanya jawab yang berulang sampai jelas. Mereka ingin melihat risalah rapat, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan yang dapat dipantau bersama. Warga juga menginginkan titik kontak yang responsif, bukan nomor yang sibuk atau grup pesan yang sunyi setelah seremoni.
Pada praktiknya, partisipasi bermakna berarti ada ruang untuk mengatakan tidak pada desain tertentu dan mendapatkan revisi yang nyata. Ketika warga melihat gagasan mereka memengaruhi bentuk proyek, resistensi turun dengan sendirinya. Sebaliknya, jika partisipasi hanya menjadi stempel formal, protes menjadi pilihan yang rasional.
Nelayan dan Rantai Ekonomi Pesisir
Di Galesong, ekonomi pesisir berputar dalam lingkar yang rapat. Nelayan kecil, penjual es batu, bengkel perahu, hingga pedagang ikan kering saling bergantung. Setiap perubahan akses ke pantai berdampak pada jam kerja dan biaya logistik. Jika jalur tambatan berpindah lebih jauh, nelayan harus membeli bahan bakar lebih banyak hanya untuk keluar masuk. Jika tepian pantai dipadati bangunan tanpa setback yang memadai, ruang memperbaiki perahu lenyap.
Warga meminta proyek memberi ruang untuk semua ini. Setback dari garis pantai, koridor pejalan kaki yang jelas, area tambatan yang aman, dan tempat pengeringan hasil tangkap yang terlindung dari polusi debu konstruksi. Fasilitas semacam ini bukan bonus, melainkan bentuk penghormatan pada ekonomi lokal yang sudah ada lebih dulu.
“Pembangunan yang melompat di atas ekonomi rakyat akan selalu tersandung di ujung jalan.”
Risiko Banjir, Rob, dan Drainase yang Sering Diremehkan
Satu konsensus yang jarang diperdebatkan adalah bahwa pesisir butuh drainase yang cerdas. Kontur landai, saluran kecil menuju laut, dan hujan yang turun deras dalam waktu singkat menciptakan genangan yang cepat. Jika permukaan tanah proyek ditinggikan tanpa perhitungan, air akan mencari tempat lain, biasanya halaman rumah warga. Karena itu, warga dan mahasiswa mendorong audit hidrologi mikro. Di mana arah alir, berapa kapasitas saluran, apa rencana kolam retensi, dan bagaimana pemeliharaan rutin yang realistis.
Hujan besar adalah ujian. Sistem yang baik tidak hanya bekerja di hari presentasi, tetapi tetap konsisten pada malam ketika petugas tertidur dan warga sibuk menyelamatkan perabot dari air yang masuk.
Ruang Terbuka Hijau dan Sabuk Pantai
Vegetasi pantai adalah sabuk keselamatan yang seharusnya tidak ditawar. Cemara laut, bakau di muara, dan semak pantai menyerap hembusan angin, memecah gelombang, dan menahan pasir. Warga mengusulkan agar sabuk hijau tidak sekadar angka persentase. Mereka meminta penanaman spesies lokal dengan lebar yang cukup, perawatan minimal dua musim, dan larangan keras menutup jalur air kecil yang selama ini menjadi pintu keluar limpasan. Sabuk hijau yang hidup juga menjadi ruang bermain anak dan lokasi belajar yang sederhana namun bermakna.
Dalam banyak kasus, ruang hijau yang dirawat bersama menjadi jembatan emosional antara proyek dan warga. Di sanalah rasa memiliki lahir, dan konflik menemukan ruang dingin untuk beristirahat.
Transparansi Dampak Konstruksi: Debu, Kebisingan, dan Jam Kerja
Fase konstruksi sering kali paling menyita emosi. Debu berterbangan, truk melintas, bunyi palu dan mesin tanpa jeda. Warga Galesong menuntut pengaturan jam kerja yang manusiawi, penyiraman rutin jalan yang dilalui armada, dan rute yang menghindari sekolah serta area padat pejalan kaki. Mereka juga meminta hotline keluhan yang dijaga petugas yang berwenang mengambil keputusan lapangan, bukan sekadar operator yang mencatat.
Standar sederhana seperti menutup bak truk dengan terpal, membatasi kecepatan, dan memastikan alat tidak parkir menutup akses rumah adalah bentuk penghormatan pada warga yang tiap hari hidup berdampingan dengan proyek.
“Ukuran kematangan sebuah proyek terlihat dari cara ia mengganggu sesedikit mungkin.”
Opsi Mediasi dan Desain Alternatif yang Mungkin
Penolakan tidak selalu berakhir pada penghentian permanen. Warga membuka kemungkinan dialog untuk desain ulang. Misalnya, memindahkan klaster tertentu menjauh dari jalur air, menambah kolam retensi, memperlebar setback pantai, atau menyiapkan plaza publik di tepi laut yang dapat digunakan bersama. Desain yang adaptif terhadap masukan lokal sering kali lebih tahan lama, karena lahir dari pengetahuan tempat yang tidak tertulis di dokumen.
Jika pengembang bersedia mengubah layout demi keselamatan dan kenyamanan bersama, warga cenderung memberi ruang. Prinsipnya, proyek boleh berjalan selama ia mengakui dan mengakomodasi realitas pesisir yang tidak bisa ditawar.
Peran Pemerintah Daerah sebagai Wasit yang Tegas
Masyarakat menunggu kehadiran pemerintah daerah sebagai wasit yang adil. Tegas pada aturan, terbuka pada data, dan cepat merespons. Pemerintah memegang kunci dalam verifikasi dokumen, pengawasan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan, serta penegakan sanksi jika ada pelanggaran. Lebih dari itu, pemerintah dapat memfasilitasi klinik tata ruang di desa dan kelurahan agar warga paham garis sempadan, izin ketinggian bangunan, dan hak akses publik.
Ketika pemerintah hadir dengan kapasitas, polemik tidak mudah dibajak oleh kepentingan yang tidak bicara pada substansi. Warga merasa dilindungi, pengembang merasa didampingi, dan tujuan ruang hidup yang sehat menjadi mungkin dinegosiasikan.
“Keberpihakan pemerintah yang paling nyata adalah memastikan aturan berdiri lebih tinggi dari payung acara seremoni.”
Ekologi Sosial: Mengukur Apa yang Selama Ini Tak Tercatat
Di luar angka, ada ekologi sosial yang sering luput. Kekerabatan di kampung pesisir, kebiasaan menambat perahu di titik tertentu karena aman dari arus, ritme pasar pagi yang menyesuaikan waktu nelayan mendarat, hingga budaya gotong royong ketika cuaca buruk memaksa semua orang bertahan di rumah. Proyek yang baik memetakan ini sebagai aset yang harus dijaga, bukan hambatan.
Warga Galesong ingin proyek datang sebagai tetangga baru yang paham adat. Mereka tidak meminta pengembang menjadi dermawan. Mereka berharap menjadi mitra yang mengerti bahwa harmoni kampung adalah modal sosial yang nilainya melebihi surat izin apa pun.
Mengapa Penolakan Ini Penting untuk Didengar
Aksi warga dan mahasiswa di Galesong adalah cermin bagi banyak pesisir lain di Indonesia. Di dalamnya ada pelajaran tentang cara kota dan desa bertemu dengan laut. Ada tanya tentang siapa yang berhak memutuskan bentuk ruang, dan bagaimana keputusan itu memengaruhi mereka yang paling dekat dengan risiko. Penolakan ini bukan kemarin sore. Ia buah dari akumulasi pengalaman melihat pesisir berubah tanpa mereka diajak bicara.
Mendengarkan bukan berarti mengiyakan semua. Mendengarkan adalah langkah pertama agar kebijakan tidak menabrak realitas. Ketika suara dari pantai masuk ke ruang rapat, kualitas keputusan akan meningkat. Pada akhirnya, yang diperjuangkan bukan sekadar pembatalan atau kelanjutan proyek, melainkan hak warga menjadi subjek utuh dalam perubahan yang menyentuh hidup mereka.
“Pesisir selalu mengajari kita satu hal. Batas darat dan laut itu dinamis. Karena itu, keputusan di sana harus lebih rendah hati daripada di mana pun.”
Jalan Tengah yang Membutuhkan Keberanian
Setiap konflik ruang memerlukan keberanian ganda. Keberanian warga untuk menyuarakan dengan tertib, dan keberanian pengembang untuk menyesuaikan rencana. Keberanian pemerintah untuk berkata cukup ketika aturan dilanggar, sekaligus membantu mencari solusi yang tidak mematikan inisiatif. Di Galesong, peluang itu masih terbuka. Aksi penolakan telah merapikan daftar masalah, tinggal bagaimana para pihak bergerak di atas daftar yang sama.
Jika jalan tengah tercapai, Galesong akan mendapat dua keuntungan. Ruang hidup yang lebih aman dan contoh kolaborasi yang bisa ditiru kawasan lain. Jika tidak, konflik akan menjadi luka yang lama sembuhnya, dan setiap hujan besar akan mengingatkan semua pihak bahwa perdebatan dulu diabaikan.
Pengetahuan Lokal sebagai Kompas
Warga dan mahasiswa telah menunjukkan bahwa pengetahuan lokal adalah kompas yang akurat. Mereka tahu arah angin ketika bulan tertentu, titik rawan putusnya jalan saat musim pasang, dan tempat yang aman untuk menurunkan perahu ketika arus tiba tiba berubah. Kompas seperti ini semestinya diletakkan di meja perancang sejak awal, berdampingan dengan peta topografi dan gambar arsitektur.
Membaca kompas lokal bukan kembali ke masa lalu. Itu justru cara paling modern untuk meminimalkan risiko. Proyek yang diilhami pengetahuan setempat akan lebih efisien, lebih diterima, dan lebih mudah dirawat.
“Di pesisir, yang tertua tidak selalu yang paling kuat, tapi sering kali yang paling tahu.”
Menjaga Pesisir Tetap Menjadi Ruang Bersama
Pada akhirnya, inti dari perdebatan Rachita Indah 2 di Galesong adalah pertanyaan tentang siapa yang berhak atas garis pantai. Warga dan mahasiswa mengingatkan bahwa pesisir adalah ruang bersama. Ia milik nelayan yang melaut, ibu yang menjemur ikan, anak yang berlari di pasir, serta pendatang yang belajar mencintai laut dari tepi. Pembangunan bisa hadir, namun harus mengenakan etika ruang bersama. Tidak menutup akses, tidak memindahkan risiko ke halaman tetangga, tidak menggadaikan daya dukung demi kecepatan.
Jika etika ini dijunjung, pesisir tidak akan kehilangan jiwanya. Ia akan menjadi tempat di mana rumah baru bisa berdiri tanpa meruntuhkan kampung yang sudah ada. Dan dari pantai seperti itulah, kota pesisir akan punya masa depan yang selaras dengan ombaknya sendiri.






