Wali Kota Makassar Gaungkan Nilai Siri, Tabe, dan Kita di Forum WCSMF Vienna Di panggung internasional yang mempertemukan para pemimpin kota dunia, Makassar tampil dengan narasi yang tidak biasa. Alih alih datang dengan daftar proyek beton dan angka investasi semata, Wali Kota Makassar membawa tiga kata kunci yang lahir dari tanah sendiri: siri, tabe, dan kita. Tiga nilai ini dipresentasikan sebagai kompas kebijakan yang menuntun cara Makassar tumbuh, melayani, dan berkolaborasi. Di aula yang penuh delegasi dari berbagai benua, kota tepian Selat Makassar itu memilih bercerita tentang etika, martabat, dan gotong royong sebagai fondasi inovasi.
“Ketika kota mengingat asal usulnya, teknologi menjadi alat, bukan tujuan; kebijakan menjadi laku hidup, bukan sekadar dokumen.”
Mengapa Panggung Vienna Penting bagi Makassar
Forum wali kota dunia bukan sekadar ajang pidato. Di sana, jejaring terbangun, standar dibahas, dan peluang kemitraan disemai. Bagi Makassar, Vienna adalah persimpangan untuk mempertemukan identitas lokal dengan agenda global seperti ketahanan iklim, kota layak huni, ekonomi kreatif, dan transformasi layanan publik. Dalam percakapan koridor maupun sesi resmi, delegasi Makassar menautkan tiga nilai kunci dengan program konkret yang bisa diuji, dipantau, dan direplikasi. Pendekatan ini membuat kota tidak hadir sebagai penonton, melainkan sebagai pengusul solusi.
Panggung semacam ini juga menguji konsistensi. Di hadapan kota kota yang telah lama mapan, Makassar mengajukan argumen bahwa keunggulan daya saing bukan hanya berasal dari modal finansial, tetapi dari kejelasan karakter. Siri, tabe, dan kita adalah karakter itu.
Siri sebagai Martabat Layanan dan Akuntabilitas
Siri secara harfiah kerap dipahami sebagai harga diri. Dalam tata kelola, ia diterjemahkan sebagai akuntabilitas yang bertanggung gugat. Artinya, janji layanan publik tidak berhenti di spanduk, melainkan turun menjadi standar operasional dengan target waktu dan mekanisme pelaporan yang bisa ditagih warga. Siri memaksa pemerintah kota berhitung realistis: jangan obral janji di atas kapasitas, tetapi pastikan setiap janji yang diucapkan punya jalur eksekusi yang rapi.
Implementasinya terlihat di hal hal yang menyentuh keseharian, dari waktu penerbitan dokumen kependudukan, respons aduan lingkungan, hingga tata kinerja unit layanan keliling. Ketika “martabat” dijadikan ukuran, kegagalan bukan untuk ditutup tutupi, melainkan untuk diperbaiki di depan warga.
“Martabat layanan adalah ketika pemerintah berani mengukur dirinya dengan angka yang dapat ditagih publik.”
Tabe sebagai Desain Layanan yang Ramah Manusia
Tabe adalah kesantunan yang merawat ruang sosial. Di meja kebijakan, tabe berarti memasang empati sebagai spesifikasi layanan. Ia hadir dalam jalur prioritas bagi lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas; juga dalam literasi digital pendamping bagi warga yang belum familiar dengan kanal online. Tabe mengingatkan bahwa transformasi digital yang baik tidak menciptakan dinding baru antara yang punya kuota dan yang tidak, antara yang punya gawai baru dan yang tidak.
Tabe menata detail detail yang sering dilupakan: tinggi meja loket untuk kursi roda, ruang laktasi yang layak, jam layanan keliling yang mengikuti ritme lorong, sampai bahasa yang dipakai petugas saat mengarahkan warga. Santun bukan basa basi; ia adalah desain.
Kita sebagai Mesin Kolaborasi Lintas Batas
Kita, sesederhana namanya, adalah mesin. Dalam praktik, ia menautkan pemerintah, kampus, pelaku usaha, komunitas lorong, dan diaspora. Kita menyulap lorong menjadi laboratorium kebijakan: bank sampah berbasis warga, kebun pangan mikro, kelas keterampilan, pos layanan dasar yang menyatu dengan kegiatan sosial. Pendekatan lintas aktor ini mendorong setiap program memiliki “penjaga bersama” sehingga tidak bergantung pada satu dinas atau satu periode saja.
Kita juga menata peran: siapa melakukan apa, kapan, dengan sumber daya dari mana. Kolaborasi tanpa pembagian jelas mudah berubah menjadi foto bersama. Kolaborasi dengan kisi peran menjadi mesin yang berputar lama.
“Kolaborasi yang berhasil tidak diukur dari jumlah tanda tangan, tetapi dari jumlah masalah yang hilang di lapangan.”
Menjahit Nilai Lokal ke Agenda Global
Siri, tabe, dan kita tidak berdiri sendirian. Mereka dijahit ke dalam agenda Dunia: kota rendah karbon, ekonomi sirkular, pelindungan kelompok rentan, dan kota tahan krisis. Siri diterjemahkan menjadi integritas pengadaan, keterbukaan data emisi, dan target kinerja yang tidak elastis. Tabe dirangkai menjadi protokol layanan saat banjir, gelombang panas, atau wabah, dengan prioritas perlindungan bagi warga paling rentan. Kita menjadi kerangka kerja untuk proyek transisi energi berbasis komunitas, pengelolaan sampah terpadu, dan ruang belajar publik yang dibiayai bersama.
Kekuatan dari penjahitan ini adalah relevansi ganda: nilai lokal membuat program mudah diterima warga, sedangkan bingkai global membuat program mudah diperbandingkan dan didanai.
Diplomasi Kota yang Berakar dan Terbuka
Di sela sela forum, diplomasi kota terjadi di luar panggung: kunjungan lapangan, meja bundar tematik, hingga percakapan singkat di koridor. Makassar membingkai percakapan dengan identitas yang jelas. Ketika berbicara perumahan terjangkau, kota mengangkat praktik penataan lorong dan opsi kemitraan mikro untuk renovasi layak huni. Ketika berbicara mobilitas, kota menyandingkan opsi manajemen parkir, koridor pejalan kaki, dan layanan angkutan yang menyentuh titik titik aktivitas warga. Ketika berbicara ekonomi kreatif, kota menunjukkan bagaimana ruang komunal di lorong bisa menjadi incubator kecil bagi UMKM.
Diplomasi yang berakar dan terbuka membuat calon mitra tidak merasa berhadapan dengan kanvas kosong, melainkan dengan desain yang siap diuji coba.
Metrik yang Menjaga Agar Nilai Tidak Menguap
Nilai mudah menguap jika tidak diikat metrik. Karena itu, selepas forum, langkah lanjut yang masuk akal adalah menetapkan indikator yang menempel pada setiap nilai. Untuk siri: persentase layanan tepat waktu, rata rata lama penanganan aduan, dan frekuensi publikasi progres. Untuk tabe: indeks kepuasan kelompok rentan, proporsi layanan hibrida daring luring, serta audit aksesibilitas ruang layanan. Untuk kita: jumlah kolaborasi lintas aktor yang aktif, nilai sumber daya bersama yang dihimpun, dan replikasi program oleh komunitas lain.
Indikator tidak dimaksudkan untuk membebani, melainkan untuk menjaga disiplin belajar. Kota yang belajar adalah kota yang berani melihat cermin.
“Yang membuat nilai bertahan bukan poster, melainkan angka yang memaksa kita terus berubah.”
Mengelola Ekspektasi Publik dan Euforia Media
Sorotan media pasca forum adalah berkah sekaligus tantangan. Euforia mudah membuat pesan utama kabur. Cara merawatnya adalah menautkan setiap pemberitaan dengan halaman progres kerja: kalender konsultasi publik, pembaruan proyek lorong, atau laporan cepat program komunal. Dengan begitu, atensi publik diarahkan ke proses, bukan semata seremoni. Pendekatan ini juga menumbuhkan kebiasaan baru: warga ikut memantau, mengkritisi, dan mengajukan usulan perbaikan berbasis data.
Di ranah digital, bahasa yang dipilih tetap sederhana. Nilai besar diterjemahkan menjadi cerita kecil dari lorong, keluarga, dan pelaku usaha mikro. Kedekatan itulah yang menjaga energi publik tidak cepat lelah.
Pelajaran dari Vienna yang Siap Dipraktikkan
Kunjungan lapangan di Vienna membuka banyak detail praktis yang bisa dibawa pulang. Soal ruang hijau, misalnya, bukan hanya jumlah taman, tetapi keterhubungan jalur pejalan kaki yang teduh. Soal perumahan, bukan sekadar unit, tetapi akses harian ke pekerjaan, transportasi, dan fasilitas pendidikan. Soal mobilitas, bukan hanya ketertiban lalu lintas, tetapi manajemen parkir yang adil dan prioritas keselamatan pejalan kaki.
Makassar bisa memulai dari tiga hal: menebalkan jalur pejalan kaki di kawasan sekolah dan pasar; menata koridor teduh di ruas yang menjadi rute jalan kaki warga; serta memperluas uji coba manajemen parkir berbasis data untuk menurunkan friksi di jalan. Kecil, terukur, dan segera terasa.
Prototipe Kebijakan: Cepat Mencoba, Cepat Belajar
Alih alih menunggu proyek besar yang memakan waktu, prototipe kebijakan memberi jalur cepat untuk belajar. Kampus lokal, komunitas, dan startup urban tech dapat diajak membangun living lab di sejumlah lorong. Misalnya, memasang sensor kualitas udara sederhana, papan informasi suhu, atau sistem aduan yang terintegrasi ke dasbor kelurahan. Setiap uji coba diberi tenggat evaluasi singkat: apa yang bekerja, apa yang tidak, dan apa yang perlu diubah sebelum diperluas.
Siri memastikan evaluasi jujur; tabe memastikan warga dilibatkan dari awal; kita memastikan sumber daya dibagi dan hasilnya bisa direplikasi.
“Kota yang gesit bukan yang sempurna sejak awal, melainkan yang cepat memperbaiki kesalahan kecil sebelum menjadi masalah besar.”
Menjaga Bahasa Nilai dari Romantisasi
Romantisasi adalah jebakan umum. Nilai terasa indah, tetapi tak menyentuh realitas. Untuk menghindarinya, tiga pagar dipasang. Pertama, bukti lapangan yang terus diperbarui. Kedua, jalur kritik yang jelas dan aman agar warga berani bicara saat ada celah. Ketiga, dokumentasi perubahan yang rapi sehingga pergantian kepemimpinan atau personel tidak membuat program kembali ke nol.
Dengan pagar ini, nilai tetap membumi. Ia hidup dalam cara petugas menyapa, cara data dibuka, dan cara warga memegang peran, bukan hanya dalam potongan pidato.
Diaspora, Talenta Muda, dan Arus Balik Pengetahuan
Gaung internasional membuka peluang mengajak diaspora dan talenta muda pulang—jika tidak secara fisik, setidaknya secara pengetahuan. Skema magang jarak jauh, residensi singkat, atau kuliah tamu lintas zona waktu dapat memperkaya program kota. Di titik ini, narasi siri, tabe, dan kita menjadi perekat identitas: talenta merasa membawa pulang sesuatu yang akrab sekaligus baru.
Kota yang memberi ruang bereksperimen bagi anak muda—dari studio kreatif di lorong hingga proyek sains warga—akan memanen gagasan yang segar dan energi yang panjang.
Menyatukan Pemerintah, Komunitas, dan Pelaku Usaha dalam Kontrak Sosial Baru
Kontrak sosial adalah kesepahaman: pemerintah menyiapkan panggung, komunitas menghidupkan pertunjukan, pelaku usaha membantu lampu dan suara. Dalam bahasa lain, pemerintah fokus pada aturan main, data, dan standar; komunitas fokus pada penjagaan ruang; pelaku usaha fokus pada skala dan keberlanjutan. Siri memberi disiplin; tabe memberi bahasa; kita memberi struktur kolaborasi.
Kontrak ini diuji bukan di ruang sidang, melainkan di jalan yang lebih rapi, di lorong yang lebih teduh, di layanan yang lebih cepat, dan di warga yang merasa dihormati.
“Di kota yang sehat, semua pihak bekerja pada nada yang sama meski memainkan instrumen berbeda.”
Agenda 100 Hari Pasca Forum
Agar energi dari Vienna tidak menguap, agenda 100 hari dapat dirumuskan. Tiga langkah awal yang tajam: meluncurkan dasbor publik indikator layanan yang ditautkan pada siri, menambah dua koridor “tabe route” yang ramah pejalan kaki dan kelompok rentan di kawasan padat, serta menerbitkan peta peran kolaborasi “kita” untuk tiga proyek prioritas—pengelolaan sampah berbasis lorong, penguatan ruang belajar warga, dan pilot transisi energi komunal.
Dengan agenda ringkas, warga tahu apa yang harus dipantau; mitra tahu di mana bisa menambatkan dukungan; dan perangkat kota punya target yang jelas untuk dikejar.
Menutup Jarak antara Panggung Global dan Halaman Rumah
Akhirnya, inti dari kehadiran di forum dunia adalah kemampuan menutup jarak antara panggung global dan halaman rumah. Siri menjaga agar kota berani menagih dirinya sendiri. Tabe memastikan perubahan tidak melukai. Kita menggerakkan banyak tangan untuk mengangkat bersama. Dari Vienna ke lorong lorong Makassar, tiga kata ini berjalan sebagai laku, bukan label.






