Makassar kembali menjadi pusat perhatian nasional ketika Festival Media (Fesmed) 2025 digelar dengan tema yang menggugah “Suara yang Terbungkam, Keadilan yang Diperjuangkan.” Ajang tahunan yang diinisiasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini bukan sekadar perayaan dunia pers, tetapi berubah menjadi mimbar kebebasan bagi korban kekerasan dan kriminalisasi di Indonesia.
Acara yang dihadiri ribuan peserta dari berbagai daerah ini menyoroti kondisi kebebasan berekspresi yang semakin mengkhawatirkan, serta meningkatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis, aktivis, dan warga yang berani bersuara. Dalam atmosfer penuh solidaritas itu, hadir pula platform teknologi lokal seperti Sulselbar Mobile, yang disebut-sebut akan menjadi jembatan baru bagi warga untuk menyampaikan laporan kekerasan dan pelanggaran hak asasi di daerah Sulawesi Selatan dan Barat.
“Fesmed bukan lagi sekadar panggung diskusi, tapi ruang pengakuan. Di sinilah luka-luka sosial menemukan bahasa dan solidaritas.”
Suasana Fesmed 2025 di Makassar
Gelaran Fesmed tahun ini berlangsung di kawasan Pantai Losari, Makassar. Sejak pagi, ratusan peserta mengenakan kaos bertuliskan “Bersuara Itu Hak, Bukan Kejahatan.” Spanduk dengan kutipan para jurnalis yang pernah dikriminalisasi membentang di berbagai titik lokasi.
Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan puisi dari korban kekerasan, dilanjutkan dengan diskusi publik bersama akademisi, aktivis HAM, dan tokoh media nasional. Sorak tepuk tangan dan tangis haru kerap terdengar saat para korban menceritakan pengalaman pahit mereka di hadapan audiens.
Tidak hanya membahas soal kebebasan pers, Fesmed 2025 juga mengangkat tema-tema yang lebih luas seperti kekerasan berbasis gender, ancaman digital, dan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan.
“Ketika negara diam, rakyatlah yang harus berbicara. Dan Fesmed menjadi pengeras suara itu.”
Fesmed Sebagai Ruang Advokasi
Sejak pertama kali digelar, Fesmed telah menjadi ruang bagi para jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi. Namun edisi tahun 2025 ini terasa berbeda. Isu kekerasan terhadap jurnalis meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. AJI Indonesia mencatat sedikitnya 97 kasus kekerasan terhadap pekerja media sepanjang 2024, termasuk intimidasi, pemukulan, hingga penangkapan.
Fesmed 2025 menghadirkan para korban yang selama ini tidak mendapat ruang di media arus utama. Mereka bukan hanya jurnalis, tetapi juga aktivis lingkungan, pelajar, hingga warga biasa yang dikriminalisasi karena menyuarakan kebenaran di media sosial.
“Keadilan bukan hanya soal pengadilan, tapi juga tentang siapa yang diberi kesempatan untuk bicara.”
Dalam beberapa sesi, peserta juga diajak berdialog langsung dengan aparat penegak hukum dan perwakilan pemerintah daerah. Meski suasananya sempat memanas, dialog tersebut menjadi langkah penting dalam membangun kepercayaan dan membuka jalur komunikasi yang lebih konstruktif.
Sulselbar Mobile, Teknologi untuk Advokasi Publik
Salah satu inovasi yang menarik perhatian dalam Fesmed 2025 adalah kehadiran Sulselbar Mobile, sebuah aplikasi digital yang dikembangkan oleh komunitas jurnalis dan pemerhati HAM di Sulawesi Selatan dan Barat. Platform ini dirancang sebagai sarana pelaporan cepat bagi warga yang mengalami atau menyaksikan tindakan kekerasan, pelanggaran hak, maupun ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
Aplikasi ini memungkinkan pengguna mengirim laporan lengkap dengan foto, lokasi, dan deskripsi kejadian, yang kemudian diteruskan ke lembaga advokasi dan media lokal untuk ditindaklanjuti. Selain itu, Sulselbar Mobile juga menyediakan fitur edukasi digital tentang hak-hak warga dan panduan menghadapi kriminalisasi.
“Teknologi seharusnya bukan alat kontrol, tapi alat pembebasan. Sulselbar Mobile menjadi bukti bahwa inovasi bisa berpihak pada rakyat.”
Keberadaan aplikasi ini mendapat sambutan positif dari peserta Fesmed, terutama jurnalis daerah yang selama ini kesulitan mengakses jalur pengaduan nasional. Dalam sesi peluncuran, para pengembang menekankan bahwa Sulselbar Mobile dibangun atas semangat kolaborasi, bukan sekadar proyek teknologi, melainkan gerakan sosial.
Cerita Para Korban Kekerasan di Fesmed 2025
Salah satu momen paling emosional dalam Fesmed 2025 adalah ketika seorang jurnalis muda asal Luwu Timur, Rahmawati, menceritakan bagaimana ia dianiaya setelah memberitakan dugaan penyelewengan dana desa. Dengan suara bergetar, ia mengisahkan bagaimana berita yang ditulisnya membuat dirinya diintimidasi dan dilarang meliput.
Kisah serupa datang dari aktivis lingkungan di Enrekang, yang ditangkap karena menolak aktivitas tambang ilegal. Ada pula mahasiswa Universitas Hasanuddin yang dijemput aparat setelah menulis kritik terhadap kebijakan kampus di media sosial. Semua kisah itu menggambarkan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia masih penuh risiko.
“Mereka ingin kita diam, tapi setiap kali kita bicara, dunia menjadi sedikit lebih adil.”
Panggung Fesmed seolah menjadi ruang pengakuan bagi mereka yang selama ini diabaikan. Tidak sedikit penonton yang meneteskan air mata, sementara yang lain berdiri memberikan tepuk tangan panjang.
Jurnalis dan Aktivis Bersatu dalam Solidaritas
Salah satu kekuatan utama Fesmed 2025 adalah semangat solidaritas lintas profesi. Jurnalis, pengacara, seniman, dan masyarakat sipil hadir tanpa sekat. Mereka berdiskusi, menulis, dan menciptakan karya bersama.
Sebuah instalasi seni bertajuk “Suara yang Dihapus” menjadi simbol perjuangan tersebut. Instalasi ini menampilkan ratusan potongan mikrofon rusak dan kamera patah, mewakili jurnalis yang dibungkam. Di dinding ruangan, terpajang kutipan dari UU Pers dan pasal-pasal yang kerap digunakan untuk menjerat aktivis.
“Solidaritas bukan hanya berdiri bersama, tapi juga melanjutkan suara mereka yang tak lagi bisa berbicara.”
Selain itu, Fesmed juga menggelar workshop keamanan digital bagi jurnalis dan aktivis. Materi yang dibahas mencakup enkripsi data, perlindungan identitas sumber berita, hingga cara menghadapi serangan siber. Dalam dunia yang semakin digital, ancaman terhadap kebebasan berekspresi kini hadir dalam bentuk yang lebih canggih dan tidak kasat mata.
Peran Pemerintah Daerah dalam Menjaga Ruang Demokrasi
Menariknya, perwakilan pemerintah daerah Sulawesi Selatan juga turut hadir dalam kegiatan ini. Dalam pidatonya, mereka menegaskan komitmen untuk menjadikan Sulsel sebagai wilayah yang ramah terhadap kebebasan pers dan perlindungan jurnalis.
Namun, para peserta menilai janji itu masih harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Mereka menyoroti masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, serta kurangnya pemahaman aparat terhadap UU Pers.
Fesmed 2025 pun menjadi momentum untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah, media, dan masyarakat sipil. Beberapa aktivis bahkan mengusulkan agar Sulselbar Mobile dijadikan mitra resmi pemerintah dalam menampung laporan kekerasan dan diskriminasi.
“Kebebasan tidak akan terjaga oleh kata-kata indah, tapi oleh sistem yang berpihak pada kebenaran.”
Kebebasan Pers dalam Bayang-Bayang Kriminalisasi
Selama dua dekade reformasi, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kebebasan pers terbaik di Asia Tenggara. Namun data terakhir dari Reporters Without Borders menunjukkan tren penurunan dalam indeks kebebasan pers Indonesia sejak 2022.
Banyak jurnalis kini menghadapi ancaman pasal karet seperti UU ITE, yang sering digunakan untuk membungkam kritik. Tak jarang pula media lokal ditekan secara ekonomi agar tidak mempublikasikan berita sensitif.
AJI Indonesia dalam laporannya menyebut bahwa ancaman terbesar bagi pers bukan lagi kekerasan fisik, melainkan kriminalisasi sistematis melalui regulasi dan pembatasan ruang digital. Dalam konteks inilah, Fesmed menjadi panggilan moral agar kebebasan berekspresi tetap dijaga sebagai hak asasi, bukan privilese.
“Kebebasan yang diamankan oleh hukum tanpa keberanian masyarakat hanyalah ilusi demokrasi.”
Sulselbar Mobile dan Masa Depan Jurnalisme Daerah
Di sela-sela acara, tim pengembang Sulselbar Mobile memaparkan data beta penggunaan aplikasi yang menunjukkan antusiasme warga dalam melapor. Dalam tiga bulan uji coba, sudah lebih dari 500 laporan diterima—mulai dari ancaman terhadap jurnalis, pelanggaran HAM, hingga kekerasan berbasis gender.
Keunggulan platform ini terletak pada transparansi dan aksesibilitasnya. Semua laporan diverifikasi dan dapat dipantau secara publik, sehingga tidak ada kasus yang tertutup. Selain itu, aplikasi ini juga memiliki fitur Emergency Button yang langsung terhubung ke tim hukum AJI Sulsel dan lembaga bantuan hukum setempat.
“Sulselbar Mobile adalah bentuk nyata demokrasi digital: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
Dengan keberadaan teknologi seperti ini, diharapkan masyarakat tidak lagi takut melaporkan pelanggaran. Platform ini juga menjadi contoh bagaimana teknologi lokal bisa menjadi alat perjuangan sosial yang efektif dan transparan.
Dampak dan Gaung Nasional dari Fesmed 2025
Setelah berlangsung selama tiga hari, gaung Fesmed 2025 meluas hingga ke tingkat nasional. Media-media besar menyoroti pesan utama dari acara ini: perlindungan bagi korban kekerasan dan kebebasan berekspresi harus menjadi prioritas negara.
Banyak jurnalis muda yang terinspirasi untuk terus menulis dan memperjuangkan kebenaran, meski ancaman semakin besar. Bahkan, beberapa komunitas pers kampus di luar Sulsel mulai menggagas mini-Fesmed di daerah mereka masing-masing sebagai bentuk solidaritas.
AJI Indonesia menyebut bahwa keberhasilan Fesmed 2025 bukan diukur dari jumlah peserta, melainkan dari seberapa jauh isu kebebasan ini dibicarakan dan dipahami publik.
“Perubahan sosial selalu dimulai dari keberanian untuk berbicara, meski suara kita terdengar kecil.”
Fesmed dan Harapan Baru untuk Sulawesi Selatan
Sebagai tuan rumah, Makassar dan seluruh masyarakat Sulsel punya kebanggaan tersendiri. Fesmed bukan hanya membawa semangat kebebasan, tapi juga menghidupkan kembali reputasi Makassar sebagai kota terbuka dan progresif.
Banyak peserta luar daerah yang mengaku terkesan dengan keramahan warga dan kesiapan infrastruktur digital, termasuk dukungan pemerintah lokal terhadap inisiatif seperti Sulselbar Mobile. Keberhasilan penyelenggaraan Fesmed di Sulawesi Selatan dianggap sebagai tonggak penting untuk memperkuat citra provinsi ini sebagai pelopor demokrasi berbasis teknologi di Indonesia Timur.
“Sulawesi Selatan tidak hanya dikenal dengan budayanya yang kuat, tapi juga keberanian warganya dalam memperjuangkan keadilan.”
Refleksi dari Fesmed 2025: Suara yang Tak Boleh Padam
Fesmed 2025 mengingatkan publik bahwa kebebasan berekspresi bukan hadiah, tetapi hasil perjuangan panjang. Setiap jurnalis, aktivis, dan warga yang hadir di acara itu membawa cerita tentang keteguhan hati melawan ketidakadilan.
Sulselbar Mobile menjadi simbol bahwa perjuangan hari ini tidak hanya dilakukan di jalanan, tetapi juga di ruang digital. Dalam dunia yang semakin terhubung, suara kebenaran harus menemukan bentuk barunya lewat teknologi, solidaritas, dan keberanian.
“Selama masih ada yang berani bersuara, harapan tidak akan pernah padam.”
Festival Media 2025 akhirnya bukan sekadar ajang tahunan, tapi menjadi peristiwa kultural dan politik yang menandai babak baru perjuangan kebebasan di Indonesia perjuangan yang kini tidak lagi hanya milik jurnalis, tapi milik setiap warga yang menolak untuk dibungkam.






