Maraknya Manusia Silver di Makassar, Sosiolog Sebut Fenomena Keterbatasan Lapangan Kerja Fenomena manusia silver kembali mencuri perhatian warga Kota Makassar. Sosok-sosok dengan tubuh dilumuri cat perak itu semakin sering terlihat di perempatan lampu merah, area padat lalu lintas, bahkan di depan pusat perbelanjaan. Mereka berdiri, menunduk, atau menari kecil, menunggu lembaran uang dari para pengendara yang melintas. Meski sekilas tampak sebagai bentuk kreativitas jalanan, di balik itu tersimpan persoalan sosial yang jauh lebih kompleks.
Fenomena ini bukan hal baru, namun di Makassar kemunculannya kini semakin sering terlihat, terutama menjelang sore hingga malam hari. Keberadaan manusia silver bukan hanya menggugah rasa iba, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan masalah kesehatan, keselamatan, dan nilai sosial masyarakat perkotaan.
“Manusia silver adalah potret wajah kota yang terus tumbuh tanpa sepenuhnya mampu menampung warganya dalam sistem ekonomi yang adil.”
Dari Kreativitas Jalanan ke Tanda Sosial
Awalnya, manusia silver muncul sebagai bentuk seni jalanan di beberapa kota besar Indonesia. Dengan cat warna perak di seluruh tubuhnya, mereka meniru gaya patung hidup — berdiri diam dalam waktu lama, lalu memberi salam atau senyum saat diberikan uang. Namun, seiring waktu, kegiatan ini bergeser dari ekspresi seni menjadi strategi bertahan hidup.
Di Makassar, sebagian besar pelaku manusia silver bukanlah seniman. Mereka berasal dari kalangan menengah bawah yang kesulitan memperoleh pekerjaan tetap. Bagi mereka, menjadi manusia silver adalah pilihan terakhir ketika lapangan kerja formal tak lagi bisa dijangkau.
Dalam beberapa wawancara di lapangan, beberapa pelaku mengaku memulai aktivitas ini karena dorongan ekonomi. Mereka berharap bisa memperoleh penghasilan harian, meski kecil.
“Saya tidak malu, yang penting halal. Dari sini saya bisa beli makan dan bantu keluarga di kampung,” ujar salah satu manusia silver yang ditemui di perempatan Jalan Urip Sumoharjo.
Sosiolog: Cermin Ketimpangan dan Keterbatasan Lapangan Kerja
Fenomena ini mendapat perhatian dari kalangan akademisi. Sosiolog Universitas Hasanuddin menilai bahwa meningkatnya jumlah manusia silver di Makassar menunjukkan adanya tekanan sosial dan ekonomi yang belum tertangani dengan baik.
Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar masalah estetika kota atau gangguan ketertiban umum, tetapi lebih dalam lagi: tanda ketimpangan sosial dan keterbatasan akses terhadap pekerjaan.
Dalam analisisnya, banyak dari para manusia silver adalah korban dari sistem ekonomi yang tidak inklusif. Mereka berada di posisi rentan, tanpa keterampilan yang cukup, pendidikan rendah, dan minim dukungan sosial.
“Ketika lapangan kerja formal semakin sempit, masyarakat dengan kemampuan terbatas mencari celah di sektor informal, termasuk kegiatan yang bersifat performatif seperti ini,” ujar sang sosiolog.
Ia juga menambahkan bahwa pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu memperparah kondisi tersebut. Banyak sektor informal kehilangan penghasilan, dan sebagian orang kemudian memilih turun ke jalan demi bertahan hidup.
Antara Harapan dan Risiko
Menjadi manusia silver bukan tanpa risiko. Mereka harus berdiri berjam-jam di bawah terik matahari atau di antara kepulan asap kendaraan. Tubuh yang dilapisi cat perak — yang kebanyakan berbahan kimia — dapat menimbulkan gangguan kulit, sesak napas, bahkan keracunan logam berat.
Namun bagi banyak pelaku, risiko tersebut tak sebanding dengan kebutuhan harian yang harus dipenuhi. Sebagian dari mereka bahkan melibatkan anak-anak dalam aktivitas ini, meskipun hal tersebut jelas melanggar aturan perlindungan anak.
Beberapa LSM di Makassar telah berulang kali memperingatkan bahaya penggunaan cat logam pada kulit manusia. Meski demikian, edukasi tersebut sering kali tidak cukup efektif karena persoalan ekonomi jauh lebih mendesak.
“Mereka tahu risikonya, tapi rasa lapar sering kali lebih kuat dari rasa takut.”
Respons Pemerintah Kota Makassar
Pemerintah Kota Makassar sebenarnya telah melakukan beberapa upaya untuk menertibkan aktivitas manusia silver. Melalui Satpol PP dan Dinas Sosial, pemerintah berusaha melakukan penertiban sekaligus pembinaan terhadap pelaku.
Namun dalam praktiknya, penertiban tersebut sering kali hanya bersifat sementara. Setelah dibina dan dipulangkan, para manusia silver kerap kembali ke jalan dengan alasan tidak memiliki alternatif pekerjaan.
Pejabat Dinas Sosial Makassar mengakui bahwa fenomena ini tidak mudah diselesaikan hanya dengan pendekatan penegakan hukum. Dibutuhkan solusi yang lebih komprehensif, termasuk pelatihan kerja dan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.
Program seperti pelatihan keterampilan dasar, bantuan usaha mikro, hingga penguatan komunitas dianggap sebagai langkah yang perlu diperluas agar mereka tidak lagi bergantung pada penghasilan dari jalanan.
“Penertiban tanpa solusi ekonomi hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.”
Dimensi Sosial: Antara Empati dan Ketegangan Kota
Reaksi masyarakat terhadap manusia silver juga beragam. Sebagian merasa iba dan memberikan uang sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Namun, sebagian lainnya menilai keberadaan mereka mengganggu ketertiban lalu lintas dan citra kota.
Di media sosial, banyak warga Makassar yang memperdebatkan fenomena ini. Ada yang menganggap manusia silver sebagai korban kebijakan ekonomi yang timpang, sementara ada pula yang menilai mereka sebagai bagian dari budaya meminta-minta yang tidak produktif.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa keberadaan manusia silver tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga mengguncang nilai sosial masyarakat urban. Kota yang identik dengan kemajuan dan modernitas ternyata masih menyisakan ruang bagi mereka yang terpinggirkan.
“Kota bukan hanya gedung tinggi dan lampu terang, tapi juga tentang manusia-manusia yang berjuang di bawahnya untuk sekadar bertahan.”
Upaya Lembaga Sosial dan Komunitas Relawan
Beberapa lembaga sosial di Makassar mulai turun tangan memberikan pendampingan. Mereka tidak hanya fokus pada pemberian bantuan makanan, tetapi juga membuka dialog untuk mencari akar masalah.
Komunitas relawan “Makassar Peduli Jalanan” misalnya, telah melakukan survei kecil untuk mengetahui profil manusia silver. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku berasal dari luar Makassar, dengan latar belakang keluarga petani atau buruh harian.
Mereka datang ke kota dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan, namun kenyataannya persaingan begitu ketat. Akhirnya, jalanan menjadi tempat terakhir untuk mencari nafkah.
Beberapa relawan bahkan menginisiasi program “rehabilitasi sosial ringan”, yaitu membantu para pelaku kembali ke kampung halaman dan memberikan pelatihan kerja sederhana. Meski hasilnya belum signifikan, langkah ini dianggap sebagai bentuk kemanusiaan yang nyata.
“Kita tidak bisa memaksa mereka berhenti tanpa memberi alternatif yang layak untuk hidup.”
Fenomena Urban dan Tantangan Modernitas
Makassar sebagai kota metropolitan menghadapi tantangan urbanisasi yang kompleks. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu sejalan dengan pemerataan kesejahteraan. Di satu sisi, kawasan bisnis dan pusat perbelanjaan tumbuh pesat, namun di sisi lain, ketimpangan sosial semakin terlihat di jalanan.
Fenomena manusia silver menjadi simbol dari kesenjangan tersebut. Di tengah kemajuan kota, masih banyak warga yang tertinggal dan tidak memiliki akses terhadap pendidikan maupun lapangan kerja yang layak.
Sosiolog melihat hal ini sebagai konsekuensi logis dari pembangunan yang terlalu fokus pada sektor industri dan jasa formal, sementara sektor informal yang menyerap tenaga kerja terbatas masih belum mendapat dukungan penuh.
“Ketika kota berlari terlalu cepat, selalu ada orang-orang yang tertinggal di belakang, berjuang dengan cara yang mungkin tidak kita pahami.”
Aspek Psikologis: Antara Harapan dan Rasa Malu
Selain faktor ekonomi, ada dimensi psikologis yang tak kalah menarik untuk diperhatikan. Banyak manusia silver yang awalnya merasa malu melakukan pekerjaan ini. Namun, seiring waktu, rasa malu itu berubah menjadi kebiasaan karena kebutuhan hidup yang mendesak.
Bagi sebagian dari mereka, berdiri di jalanan dengan tubuh bercat perak bukan lagi beban, melainkan rutinitas. Ada rasa kebanggaan kecil ketika berhasil mendapatkan cukup uang untuk bertahan satu hari lagi.
Fenomena ini menunjukkan betapa fleksibelnya manusia dalam menyesuaikan diri dengan tekanan hidup. Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi cermin bahwa sistem sosial kita belum cukup mampu memberikan rasa aman dan harga diri kepada setiap warga.
“Kadang yang mereka butuhkan bukan uang semata, tapi pengakuan bahwa mereka masih bagian dari masyarakat yang sama.”
Menakar Solusi yang Lebih Manusiawi
Fenomena manusia silver di Makassar bukan masalah yang bisa disapu bersih dengan operasi penertiban. Ia membutuhkan pendekatan multidimensional: ekonomi, sosial, dan psikologis. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu duduk bersama merumuskan solusi jangka panjang.
Salah satu langkah yang mulai digagas adalah mengintegrasikan data manusia silver ke dalam sistem pendataan sosial terpadu. Dengan begitu, mereka bisa diikutkan dalam program pelatihan, bantuan sosial, atau pekerjaan padat karya.
Di sisi lain, edukasi masyarakat juga penting agar empati tidak hanya berhenti pada pemberian uang, tetapi berlanjut pada dukungan yang lebih konstruktif seperti pelibatan komunitas dan program pemberdayaan.
“Empati yang benar bukan memberi mereka uang di jalan, tapi memberi mereka kesempatan untuk tidak lagi harus berdiri di jalan.”
Makassar dan Cerminan Kota yang Berjuang
Fenomena manusia silver adalah potret kecil dari perjuangan besar sebuah kota dalam menghadapi ketimpangan sosial. Di balik wajah-wajah bercat perak itu, tersimpan cerita tentang harapan, kehilangan, dan keteguhan untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan perkotaan.
Mereka mungkin tampak diam, tapi tubuh yang berdiri di pinggir jalan itu berbicara banyak tentang bagaimana sebuah kota berkembang tanpa benar-benar memeluk semua warganya. Dari situ, kita belajar bahwa pembangunan bukan hanya tentang infrastruktur, melainkan tentang manusia yang menghuninya.






