Sidang Korupsi KONI Makassar, Patiware Sebut NPHD Tak Ada Kaitan dengan Tersangka HH dari Event Organizer Ruang sidang pada siang itu terasa padat oleh tatapan yang menunggu keterangan penting. Nama Andi Patiware, mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Makassar, dipanggil sebagai saksi. Ia berdiri di hadapan majelis, menegaskan satu hal yang langsung menyita perhatian: Naskah Perjanjian Hibah Daerah atau NPHD adalah perikatan hukum antara pemerintah daerah dan KONI sebagai penerima hibah, bukan dengan pihak event organizer. Sidang Korupsi Dalam kalimat yang jernih, Patiware menyebut tidak ada kaitan langsung NPHD dengan tersangka berinisial HH dari pihak penyelenggara acara. Di bangku pengunjung, decak kecil terdengar. Penegasan itu bukan sekadar detail, melainkan arah panah yang bisa mengubah strategi pembuktian perkara.
“Di persidangan, kebenaran tidak selalu datang dengan suara tinggi, melainkan dengan kalimat yang tepat menaruh peristiwa pada tempatnya.”
Yang Dipersoalkan di Ruang Sidang
Perkara hibah olahraga ini berbicara tentang aliran dana, struktur pertanggungjawaban, serta batas peran masing masing pihak. Jaksa menelisik bagaimana uang hibah mengalir, siapa yang memutuskan penggunaan, dan apakah pekerjaan yang diklaim telah benar terjadi. Penasihat hukum bertanya dengan pola yang rapat, mencoba mengaitkan NPHD sebagai pintu gerbang tanggung jawab yang menjangkiti semua pihak yang terlibat, termasuk event organizer. Di titik inilah Patiware memberi garis tebal: NPHD mengikat pemerintah kota dan KONI. Titik.
Penjelasan itu membuat ruang sidang memantul ke satu kesimpulan sementara. Jika event organizer tidak menjadi subjek NPHD, maka kaitannya dengan dana hibah harus ditelusuri lewat perjanjian turunan. Artinya, kontrak pekerjaan, berita acara serah terima, bukti transfer, dan notula keputusan internal penerima hibah menjadi panggung utama. Bagi pengamat hukum, ini bukan soal semantik. Ini soal rute pembuktian.
Apa Itu NPHD dan Mengapa Ia Menjadi Kunci
NPHD adalah dokumen formal yang memayungi pencairan hibah dari kas daerah kepada entitas penerima. Di dalamnya termuat tujuan penggunaan, rambu rambu larangan, mekanisme pencairan, tata cara pelaporan, hingga kewajiban mengembalikan sisa anggaran. Secara fungsi, NPHD adalah pagar dan peta. Pagar agar uang tidak diseret keluar jalur, peta agar setiap rupiah tahu hendak ke mana dan bagaimana kembali bila tidak terpakai.
Dalam praktik, ketika penggunaan hibah dipersoalkan, NPHD kerap diajukan agar majelis melihat apakah penerima taat pada pagar dan peta itu. Ia bukan kertas biasa, melainkan tonggak akuntabilitas. Namun NPHD tidak sekaligus menjadi tiket untuk mengikat pihak lain di luar perjanjian. Di situlah letak bobot keterangan Patiware. Jika hubungan hukum event organizer dengan penerima hibah lahir dari kontrak terpisah, maka pembuktian harus diurai di jalur itu.
“Dokumen negara tidak boleh dipegang seperti jaring serbaguna. Ia harus digunakan seturut fungsi, agar keadilan tidak robek di tepinya.”
Posisi Event Organizer di Rantai Tanggung Jawab
Peranan event organizer biasanya hadir di hilir, yakni mengonversi anggaran menjadi kegiatan nyata. Di sini logika hukumnya sederhana. EO mengikatkan diri lewat kontrak jasa kepada penerima hibah. Output, jadwal, harga, dan standar mutu tertulis di situ. Kalau pun ada perbuatan melawan hukum, pembuktiannya mencari celah pada kualitas pekerjaan, kewajaran harga, kemungkinan mark up, atau serah terima yang fiktif. Bukan pada NPHD sebagai perjanjian hibah.
Keterangan saksi bahwa NPHD tidak mengaitkan HH sebagai pihak adalah kompas bagi majelis untuk meminta bukti yang lebih presisi di tingkat kontraktual. Jaksa dituntut menyajikan rangkaian dokumen dan saksi yang memperlihatkan apakah pekerjaan terjadi seturut janji, atau justru menyisakan bolong yang merugikan keuangan negara. Penasihat hukum akan menegaskan bahwa kliennya sekadar pelaksana jasa sesuai permintaan. Duel argumen ini menandai babak yang lebih teknis, tetapi esensial.
Lintasan Peristiwa: Dari Perencanaan hingga Seremoni
Di luar retakan hukum, perkara hibah olahraga hampir selalu menyisakan kisah seremonial. Malam penghargaan, pembukaan dan penutupan multi event, tata cahaya, panggung, konten audio visual. Semua itu memakan biaya. Siapa memutuskan vendor, bagaimana proses pemilihan, kapan pekerjaan dinyatakan selesai, dan bagaimana bukti pelaksanaannya direkam. Pertanyaan pertanyaan ini berkelindan dengan bukti yang dibawa ke ruang sidang. Satu kuitansi rapuh bisa mengganggu bangunan argumentasi, sementara satu video dokumentasi yang lengkap bisa menutup ruang sanggah.
Di sinilah sisi non teknis menjadi teknis. Banyak perkara hibah guncang bukan karena niat jahat yang eksplisit, melainkan karena administrasi yang longgar. Kegiatan berjalan, tetapi kertas tertinggal. Pekerjaan terjadi, tetapi dokumentasi lemah. Dalam bahasa hukum, ini menyulitkan pertanggungjawaban. Dalam bahasa publik, ini menumbuhkan curiga.
Sisa Anggaran, Setoran Balik, dan Sorotan Akhir Tahun
Satu tema lain yang muncul di banyak perkara hibah adalah soal sisa anggaran. Prinsipnya jelas. Dana yang tidak terpakai harus disetor kembali ke kas daerah seturut jadwal dan mekanisme yang berlaku. Namun praktik di lapangan kerap membuatnya tidak sesederhana itu. Ada kegiatan yang baru ditagih mendekati tutup buku, ada pembayaran yang tercecer, ada juga interpretasi “carry over” yang keliru. Ketika persidangan menyinggung saldo sisa dan pengembaliannya, publik melihat ada simpul yang memang rawan. Pengembalian bukan sekadar transfer balik. Ia cermin tertib atau tidaknya manajemen anggaran.
Jika di pengadilan ditemukan jeda panjang antara akhir kegiatan dan setoran balik, ini menjadi catatan. Setiap jeda membuka peluang selisih. Dalam tata kelola, selisih yang dibiarkan adalah celah yang menunggu masalah lebih besar.
“Uang publik tidak memiliki tempat untuk berlama lama di ruang abu abu. Ia harus cepat mendapat nama, alamat, dan tanggal pulang.”
Dinamika Tanya-Jawab dan Strategi Pihak Pihak
Ruang sidang bukan hanya tempat fakta dibeberkan, melainkan panggung strategi. Penasihat hukum mendorong narasi bahwa kliennya tidak terikat NPHD guna memisahkan perikatan hibah dari kontrak jasa. Jaksa, untuk menambatkan pertanggungjawaban, akan menelusuri aliran dana dan hubungan faktual yang melampaui teks kontrak. Majelis menimbang tidak hanya isi jawaban, tetapi juga konsistensi antara dokumen, keterangan saksi, dan logika peristiwa.
Dalam sesi sesi seperti ini, pertanyaan “siapa menandatangani apa” menjadi batu pijakan. Tanda tangan di NPHD, tanda tangan di kontrak, paraf di berita acara, persetujuan pembayaran, dan otorisasi transfer. Rantai tanda tangan memberi gambaran peran, sekaligus potensi tanggung jawab pidana atau administratif. Ketika saksi Patiware membatasi cakupan NPHD, ia pada dasarnya mengajak majelis melihat ring satu perikatan sekaligus mengarahkan sorot ke ring berikutnya tempat kontrak kontrak turunan bersembunyi.
Imbas pada Persepsi Publik dan Atlet
Hibah olahraga menyentuh lapisan emosi yang berbeda. Di satu sisi ada panggung megah dan lampu terang. Di sisi lain ada atlet yang berlatih di fasilitas serba terbatas. Perkara di pengadilan selalu beririsan dengan rasa adil atlet dan pelatih. Ketika publik mendengar angka besar untuk seremoni sementara perlengkapan latihan disebut seadanya, kekecewaan mudah tumbuh. Karena itu, perkara seperti ini bukan semata soal menghukum atau membebaskan, tetapi juga tentang menata ulang prioritas penggunaan hibah agar dampak ke pembinaan terasa nyata.
Ini menjadi pembelajaran kebijakan. Seremoni perlu, tetapi pembinaan tidak boleh sekadar catatan kaki. Setiap rupiah yang terbelanja harus meninggalkan jejak manfaat yang dapat diraba. Jika tidak, ruang sidang akan terus jadi panggung akhir dari proses yang seharusnya dibenahi dari hulu.
Konstruksi Hukum: Dari Delik Administratif ke Pidana
Banyak perkara hibah bergerak dari yang awalnya tampak administratif menuju dugaan pidana ketika ditemukan niat atau perbuatan yang melawan hukum. Ketika laporan pertanggungjawaban tidak memadai, auditor mencatat temuan. Ketika temuan bertemu bukti niat memperkaya diri atau orang lain, jalur pidana terbuka. Di sini kejelasan peran menjadi penentu. Siapa mengambil keputusan, siapa memerintahkan pembayaran, siapa menikmati hasil, siapa membiarkan pelanggaran terjadi.
Keterangan bahwa NPHD tidak mengikat EO tidak otomatis memutihkan pihak tersebut. Ia hanya menegaskan rute. Jika ada rekayasa dokumen, pekerjaan fiktif, atau penggelembungan harga yang disetujui di luar prosedur, pembuktian akan bergerak lewat kontrak jasa, bukti teknis pekerjaan, serta korespondensi antar pihak. Sementara untuk penerima hibah, kepatuhan terhadap NPHD menjadi barometer utama. Dua jalur ini berpotongan di meja majelis.
“Hukum pidana bekerja seperti peta kontur. Ia mencari titik terendah di mana bukti berkumpul, bukan sekadar mengikuti garis tebal di atas kertas.”
Peran Pemerintah Daerah dan Pembinaan Aparatur
Keterangan saksi dari unsur pemerintah daerah sering menjadi “penentu koordinat”. Ia menjelaskan norma, prosedur, dan batas kewenangan. Dari sana majelis menilai apakah pejabat terkait telah menjalankan pengawasan memadai. Jika pengawasan lemah, ruang keliru melebar. Karena itu, perkara hibah juga menjadi cermin kapasitas aparatur. Pembinaan, pelatihan pelaporan keuangan, dan disiplin administrasi bukan formalitas. Ia fondasi agar uang publik tidak tersesat.
Di masa mendatang, pemerintah daerah dapat memperkuat prasyarat penyaluran hibah. Misalnya, kewajiban penerima menyiapkan unit akuntansi sederhana, penggunaan dashboard pelaporan daring, serta audit internal berkala yang hasilnya dipublikasikan dalam bahasa yang dimengerti warga. Transparansi bukan hanya soal mengunggah berkas, melainkan menjadikan data dapat dipahami dan diawasi.
Mengurai Bukti: Dokumen, Rekening, dan Saksi Ahli
Sidang korupsi umumnya menautkan tiga jenis bukti. Pertama, dokumen administratif seperti NPHD, kontrak jasa, kuitansi, surat pesanan, dan berita acara. Kedua, bukti rekening yang memperlihatkan arus uang: dari siapa, ke mana, untuk apa. Ketiga, keterangan saksi ahli yang menerangkan standar akuntansi, kewajaran harga, atau prosedur pengadaan. Majelis akan menguji apakah ketiganya bercerita hal yang sama atau saling bantah.
Di tahap ini, keterangan Patiware menempatkan NPHD pada proporsi yang benar. Ia bukan bukti yang menyapu bersih, melainkan bukti untuk ring pertama. Untuk menembus ring berikutnya yang melibatkan event organizer, dibutuhkan dokumen tingkat kegiatan dan bukti pekerjaan. Ketika semua dirangkai, barulah gambaran kerugian negara atau tidaknya bisa didekap dengan pasti.
Etika Seremonial dan Logika Manfaat
Salah satu kritik publik kepada belanja hibah olahraga adalah kecenderungan memanjakan seremoni. Panggung besar, artis tamu, pencahayaan, dan piroteknik memakan biaya signifikan sementara usia manfaatnya pendek. Majelis mungkin tidak menilai estetika, tetapi logika manfaat ikut menyelinap dalam penilaian kewajaran. Apakah biaya sesuai dengan keluaran, apakah keluaran sesuai kebutuhan, apakah kebutuhan sesuai tujuan hibah. Jika jawabannya kabur, wajar bila jaksa mengendus ada sesuatu yang salah kelola.
Di titik ini, event organizer juga dituntut profesional. Kontrak harus terang, spesifikasi terukur, serah terima terdokumentasi. Vendor yang rapi akan memudahkan pembuktian bahwa pekerjaan benar terjadi sesuai janji, sekaligus melindungi diri dari tuduhan yang lahir dari administrasi penerima hibah yang lemah.
“Kemewahan yang tidak meninggalkan jejak manfaat adalah beban yang akan ditagih di ruang sidang.”
Suhu Sidang dan Harapan Warga Kota
Setiap kali perkara ini disidangkan, percakapan di kafe kafe Makassar menggulirkan dua nada. Nada cemas tentang nasib atlet dan pembinaan, serta nada berharap agar persidangan menuntaskan simpul simpul gelap yang selama ini hanya jadi desas desus. Warga ingin kepastian, bukan sekadar kabar. Kepastian siapa yang salah dan bagaimana memperbaiki sistem agar dana publik tepat sasaran.
Keterangan saksi seperti Patiware memberi warga pegangan baru. Ia menunjukkan bahwa perkara tidak boleh disederhanakan. Ada struktur hukum yang harus dihormati, ada alur bukti yang harus diikuti. Di luar ruang sidang, praktik tata kelola harus diperkuat supaya peristiwa serupa tidak mengulang.
Pelajaran untuk Penerima Hibah dan Rekanan
Dari sidang yang berjalan, dua pelajaran besar mencuat. Penerima hibah wajib memperlakukan NPHD sebagai kitab kerja, bukan sekadar syarat pencairan. Perencanaan matang, dokumentasi rapi, dan kedisiplinan setoran balik adalah triadik yang tidak boleh dinegosiasi. Di sisi rekanan, profesionalitas berarti taat kontrak, jujur pada spesifikasi, dan teliti pada pelaporan. Keduanya bertemu dalam satu kata yang sering terasa klise tetapi tetap mutlak: akuntabilitas.
Jika akuntabilitas melekat dalam keseharian, ruang sidang tidak perlu menjadi kamar darurat untuk menyembuhkan penyakit lama. Namun selama kebiasaan abai bertahan, pengadilan akan terus menjadi tempat terakhir menata ulang hal hal yang seharusnya beres sejak awal.
“Kepercayaan publik lahir setiap hari dari hal kecil yang benar, bukan dari pidato panjang usai perkara terlanjur meledak.”
Menunggu Babak Lanjutan
Sidang belum usai. Masih ada saksi yang akan dipanggil, dokumen yang akan dibentangkan, serta perdebatan yang akan ditimbang. Tetapi satu garis sudah ditarik tegas di pengantar bab ini: NPHD mengikat negara dan penerima hibah, bukan pihak rekanan. Bagi tuntutan, ini sinyal untuk merapikan titik autopsi bukti. Bagi pembelaan, ini peluang menegaskan batas peran. Bagi publik, ini kesempatan memahami bahwa perkara hibah bukan labirin tanpa peta, melainkan serangkaian lorong yang bisa dilalui jika lampu dinyalakan satu per satu.
Di luar gedung, langit Makassar tampak cerah. Jalanan kembali ramai, dan orang orang melanjutkan urusan. Di dalam, berkas dilipat, mikrofon dimatikan, tetapi gema satu kalimat saksi masih menggantung: perikatan hibah tidak serta merta menyeret pihak yang tidak menandatanganinya. Dari sana perkara bergerak ke wilayah yang lebih tajam, tempat kontrak, bukti kerja, dan aliran uang bicara tanpa kerumunan kata yang berlebihan.






