Sosok Appi Dinilai Layak Pimpin Golkar Sulsel Pagi yang cerah di Makassar selalu memantulkan ritme kota pelabuhan yang tak pernah benar benar tidur. Lalu lintas yang padat, percakapan di warkop, hingga bisik kader di kantor partai menggambar suasana yang sama. Di tengah itu, nama Munafri Arifuddin atau yang akrab disapa Appi kembali ramai dibicarakan. Bagi sebagian kader, ia bukan sekadar figur populer di kota besar, melainkan kandidat yang dinilai mampu memberi arah baru bagi mesin Golkar Sulawesi Selatan. Di ruang rapat, di teras rumah warga, bahkan di tribun sepak bola, satu pertanyaan mengemuka: apa yang membuat Appi dianggap layak memimpin partai beringin di Bumi Anging Mammiri.
“Partai yang menang bukan yang paling ramai di spanduk, melainkan yang paling tertib dalam kerja harian dan paling jujur menepati janji kecil.”
Rekam Jejak dari Stadion ke Ruang Konsolidasi
Jejak pertama yang kerap disebut adalah kedisiplinannya membangun organisasi. Pengalaman Appi di jagat sepak bola mengajarkan ritme yang khas. Tim yang baik tidak muncul dalam sehari. Ia lahir dari latihan terukur, standar yang jelas, dan keberanian mengevaluasi diri tanpa baper. Cara pandang semacam ini terbawa saat ia masuk ke gelanggang politik. Rapat bukan hanya forum bicara, melainkan tempat menyusun target. Pengurus bukan sekadar daftar nama, tetapi susunan peran yang saling menutup celah.
Di Makassar, pola kerja itu terlihat dari kebiasaan membuat rencana yang bisa diaudit. Jadwal turun wilayah, kalender kegiatan sosial, sampai daftar siapa bertanggung jawab di tiap kelurahan. Bukan glamor, tetapi fungsional. Kebiasaan inilah yang menular pada kader muda yang haus format kerja yang rapi.
Gaya Memimpin yang Tegas Tanpa Berjarak
Kepemimpinan di Sulawesi Selatan menuntut rasa, bukan hanya angka. Siri dan pacce menjadi kompas budaya yang halus namun kuat. Appi memainkan nada ini dengan proporsional. Ketika memimpin, ia tegas dalam memberi arah, tetapi tidak menciptakan jarak yang membuat kader sungkan menyampaikan kritik. Ia memilih meja bundar ketimbang podium tinggi, obrolan hangat ketimbang perintah satu arah.
Gaya semacam ini penting dalam organisasi besar yang dihuni berbagai faksi. Ketua yang terlalu keras membuat orang lelah. Ketua yang terlalu longgar membuat orang bingung. Di tengah dua tebing itulah sikap tenang namun cekatan menjadi penentu.
“Pemimpin yang kuat bukan yang paling sering menunjuk, melainkan yang paling konsisten mencontohkan.”
Elektabilitas Perkotaan dan Magnet Anak Muda
Sulawesi Selatan memiliki lanskap elektoral berlapis. Kota besar seperti Makassar membutuhkan sentuhan berbeda dibanding daerah agraris. Figur dengan wajah urban cenderung lebih mudah menembus segmen pekerja, pelaku UMKM, dan komunitas kreatif. Appi membawa modal itu. Kegemarannya pada olahraga dan kedekatannya dengan kultur warkop memberi jembatan emosional ke anak muda. Transparansi gaya komunikasi digital menambah poin. Ia tidak alergi kamera ponsel, tetapi juga tidak memaksakan diri menjadi selebritas.
Magnet ini akan percuma bila tidak diterjemahkan menjadi program yang membumi. Di titik ini, pendekatan pasar murah, klinik kesehatan keliling, hingga pelatihan singkat kewirausahaan menjadi relevan. Anak muda tidak cukup diajak berteriak, mereka perlu ruang berkarya. Jika mesin partai sanggup mengonversi antusiasme menjadi wadah kerja, loyalitas publik tumbuh lebih wajar.
Menjembatani Pusat dan Daerah
Partai besar memiliki dua sisi mata uang. Ada garis kebijakan dari pusat yang harus dijaga, namun ada otonomi daerah yang tidak boleh dimatikan. Ketua wilayah yang baik adalah jembatan yang lentur. Appi terbiasa bernegosiasi lintas kepentingan. Bahasa yang dipakai ketika bicara dengan elite di Jakarta tentu berbeda dengan saat bercakap di pos ronda. Kepekaan itulah yang mencegah salah paham menjadi konflik.
Kemampuan menjaga ritme komunikasi ke pusat juga membantu merapikan agenda wilayah. Koordinasi program, sinkronisasi tema, hingga konsolidasi saat momentum politik menuntut keputusan cepat lebih mudah dilakukan bila kanal komunikasi terbuka dan saling percaya.
Mesin DPD II sebagai Etalase Kinerja
Kota Makassar sering disebut barometer Sulsel. Siapa pun yang mampu menata mesin kota biasanya punya modal besar menata provinsi. Di tingkat kota, etalase kinerja tercermin pada tiga hal: kehadiran kader di titik layanan warga, kelancaran logistik kegiatan partai, dan disiplin pelaporan. Ketika tiga hal ini bekerja serentak, barisan di kabupaten lain ikut terseret dalam ritme yang sama.
Etalase bukan soal kosmetik. Ia adalah bukti bahwa prinsip manajemen tidak berhenti di pidato. Pengurus kelurahan memahami peran, kader ranting tahu harus kemana melapor, dan warga paham jadwal kegiatan yang bisa mereka manfaatkan. Pola ini membuat partai tidak terasa jauh dan rumit.
“Organisasi yang sehat adalah yang bisa menjelaskan jadwal minggu ini tanpa harus mencari berkas dulu.”
Narasi Kerja yang Menyentuh Dapur Warga
Kader boleh bicara tentang makroekonomi dan industrialisasi, tetapi dapur warga bertanya hal yang lebih sederhana. Berapa harga kebutuhan pokok hari ini. Bagaimana caranya mendapat modal kecil tanpa bunga mencekik. Siapa yang bisa diajak membereskan drainase yang mampet. Appi mengarahkan narasi kerja partai agar merapat ke persoalan riil tanpa kehilangan visi panjang.
Strategi itu tidak berarti meninggalkan gagasan besar. Ia justru melengkapinya. Ketika pelatihan UMKM menghasilkan laporan penjualan lebih baik, ketika posko layanan kesehatan meringankan biaya warga, ketika kerja bakti terjadwal menurunkan durasi genangan, kepercayaan masyarakat naik dan dialog kebijakan menjadi lebih mungkin.
Data Pemilih dan Disiplin Pesan
Era politik hari ini menuntut penggunaan data yang cerdas. Basis dukungan bukan lagi tebak tebak. Ia dipetakan hingga tingkat RT, dikelola dalam dashboard yang mudah dibaca, dan diperbarui cepat agar keputusan lapangan tidak usang. Appi nyaman dengan pendekatan berbasis data. Ia terlatih membaca grafik, menghitung rasio, dan menagih tindak lanjut berdasarkan angka, bukan asumsi.
Di saat bersamaan, disiplin pesan harus terjaga. Kader memerlukan buku saku narasi agar tidak saling bertabrakan saat menjawab isu. Kalimat yang ringkas, santun, dan tegas lebih mudah mengendap di ingatan publik. Bahasa yang merendahkan lawan akan memuaskan pendukung sesaat, tetapi merusak reputasi jangka panjang.
Jaringan yang Dibawa, Akuntabilitas yang Dijaga
Tidak dapat dipungkiri, Appi memiliki jaringan bisnis dan sosial yang luas. Dalam politik, jaringan dapat menjadi mesin akselerasi. Akses sponsor kegiatan, kemitraan program sosial, atau dukungan logistik bisa diorganisir lebih cepat. Namun jaringan juga membawa ekspektasi. Di sinilah akuntabilitas diuji. Setiap dukungan perlu dikelola transparan, setiap kerja sama didokumentasi baik, dan setiap keputusan strategis dijelaskan secara terang agar tidak memicu prasangka.
Kepemimpinan yang dewasa menempatkan jaringan sebagai alat, bukan tuan. Ketika alat itu dipakai untuk memperbesar manfaat publik, apresiasi datang. Ketika alat itu menyempit menjadi kepentingan segelintir, kepercayaan runtuh.
“Kedekatan adalah berkah bila dipakai melayani, menjadi beban bila dipakai menguasai.”
Kaderisasi: Menyemai Bakat, Bukan Sekadar Mengundang Massa
Organisasi bertahan panjang jika ia menumbuhkan pemimpin baru. Kaderisasi tidak bisa lagi berbentuk ceramah maraton. Ia harus diubah menjadi sekolah keterampilan praktis. Cara mengelola acara, mengolah data, merancang kampanye sosial, menulis rilis, menggalang dana yang patuh hukum, hingga teknik berbicara di depan publik. Anak muda ingin belajar hal konkret yang berguna juga di dunia kerja.
Appi mendorong desain pelatihan yang modular dan berjenjang. Kader yang lulus tahapan tertentu diberi kesempatan memimpin proyek kecil. Dari sinilah rasa percaya diri tumbuh. Dalam jangka panjang, ini memotong ketergantungan pada figur tunggal dan menjaga organisasi tetap segar.
Menjaga Etika Publik dan Sensitivitas Budaya
Sulsel memiliki keunikan kultur yang kaya. Menghormati adat, menghargai ulama, dan tidak memandang remeh suara kelompok minor. Ketua partai mesti sanggup berjalan di ruas yang sempit antara keyakinan dan keterbukaan. Etika publik yang baik menjauhkan organisasi dari krisis yang tidak perlu. Transparansi harta, netralitas pada pelayanan, dan sikap rendah hati ketika ditegur adalah penyangga reputasi.
Sensitivitas budaya diwujudkan dalam hal hal kecil. Cara menyapa yang sopan, pilihan kata saat menanggapi kritik, dan kesediaan hadir di acara warga tanpa menjadikannya panggung politik. Di wilayah yang menjunjung siri, hal kecil ini besar artinya.
Kerja Lintas Dinas dan Kolaborasi Komunitas
Partai politik modern tidak bisa bekerja sendirian. Di banyak isu, solusi lahir dari kolaborasi. Golkar Sulsel perlu rajin memetakan komunitas hobi, kelompok profesi, dan jaringan relawan yang punya kepedulian spesifik. Appi berulang kali menekankan bahwa strategi yang baik adalah yang membuat orang di luar partai merasa diundang ikut bekerja, bukan sekadar diminta hadir sebagai penonton.
Di topik kebersihan lingkungan misalnya, komunitas pesepeda bisa dilibatkan dalam kampanye bebas sampah. Pada isu keselamatan jalan, komunitas otomotif bisa didorong memberi edukasi berkendara. Ketika partai menjadi perantara yang memudahkan kerja kolaboratif, label politik mencair menjadi kerja sosial.
“Legitimasi paling kuat datang dari warga yang merasakan manfaat, bukan dari sorak internal yang saling menyemangati.”
Strategi Komunikasi Krisis
Setiap organisasi akan menghadapi masa sulit. Tuduhan yang tidak enak didengar, isu yang berkembang liar, atau kesalahpahaman internal. Pengelolaan krisis menjadi pembeda. Appi cenderung memilih jalur yang tenang. Langkah pertama adalah mendengar lengkap, bukan membalas cepat. Langkah kedua menyiapkan pernyataan yang ringkas, faktual, dan bertanggung jawab. Langkah ketiga memperbaiki jika memang ada kekeliruan, tanpa sibuk menggeser kesalahan.
Dalam politik, maaf yang tulus dan perbaikan yang nyata justru menaikkan respek. Publik memahami manusia bisa salah. Yang mereka tidak tahan adalah kesalahan yang dibungkus retorika.
Infrastruktur Organisasi: Dari Keuangan hingga Dokumentasi
Kekuatan partai terletak pada tulang punggung yang jarang difoto. Administrasi keanggotaan yang rapi, keuangan yang diaudit, dan dokumentasi kegiatan yang tertib. Appi menekankan standar minimum di setiap level. Kuitansi tidak boleh misterius, laporan tidak boleh menguap, dan foto bukan satu satunya bukti kerja. Standar ini mungkin terasa merepotkan di awal, tetapi ia menyelamatkan organisasi dari masalah besar di kemudian hari.
Kebiasaan menulis notulen dan membagikan hasil rapat secara terbuka di internal menjauhkan gosip dan memastikan semua orang memahami keputusan yang diambil. Dari tradisi rapi itulah kepercayaan internal dibangun.
Peta Jalan Tiga Belas Bulan
Kelayakan memimpin sering diuji dengan rencana yang bisa dites. Peta jalan tiga belas bulan memberi gambaran konkret. Di bulan pertama sampai ketiga, konsolidasi struktur dan audit data. Di bulan keempat sampai keenam, peluncuran program sosial berulang di semua kabupaten kota disertai metrik dampak. Di bulan ketujuh sampai kesembilan, penguatan sekolah kader dan pelatihan juru bicara di grassroots. Di bulan kesepuluh sampai kedua belas, pemantapan kanal penggalangan dana yang legal dan transparan. Bulan ke tiga belas menjadi momentum evaluasi besar dan perbaikan rencana.
Rencana seperti ini mengikat semua pihak pada tenggat dan hasil. Ia memudahkan kader menilai apakah haluan benar dan memberi ruang koreksi tanpa drama.
“Janji yang baik adalah janji yang dilengkapi kalender, bukan hanya dihias kata kata.”
Menakar Dukungan dan Menjaga Harmoni
Dalam kompetisi internal, dukungan DPD II menjadi penentu. Safari organisasi ke kabupaten kota bukan parade, melainkan forum mendengar kebutuhan spesifik wilayah. Di pantai, isu nelayan dan infrastruktur tambatan perahu. Di pegunungan, akses jalan tani dan pupuk. Di kota, hilirisasi UMKM dan ketenagakerjaan. Ketua yang baik memetakan isu dan menugaskan tim tematik agar materi kerja tidak generik.
Di sisi lain, harmoni pasca kontestasi harus disiapkan sejak awal. Pintu koalisi terbuka untuk rival yang sehat. Tidak semua jabatan harus diisi satu kubu. Mengajak kompetitor bergabung dalam struktur adalah cara meredam residu. Politik yang matang mengutamakan kerja panjang daripada kemenangan pendek yang mahal ongkosnya.
Mengapa Banyak Kader Menilai Appi Layak
Jika diringkas, ada empat alasan yang sering diulang kader ketika menyebut kelayakan Appi. Pertama, manajemen organisasi yang rapi dan terbukti di beberapa medan. Kedua, kemampuan komunikasi publik yang luwes di kota dan cukup adaptif di daerah. Ketiga, jaringan yang dapat dipakai mempercepat program, dengan catatan akuntabilitas dijaga ketat. Keempat, kesediaan membumikan narasi partai ke layanan konkret yang menyentuh dapur warga.
Empat alasan itu bukan sertifikat. Ia tiket masuk untuk diuji di panggung yang lebih besar. Dan panggung itu menunggu kerja yang tidak putus, disiplin yang tidak kendor, serta kerendahan hati untuk menerima kritik.






