Teater Keliling Pentaskan Calon Arang, Cerita Rakyat Bali dalam Bentuk Musikal di 5 Kota

Nasional33 Views

Teater Keliling Pentaskan Calon Arang, Cerita Rakyat Bali dalam Bentuk Musikal di 5 Kota Lampu panggung meredup, bunyi kendang menyelinap dari celah orkestra, dan suara tembang pembuka melantun seperti mantera yang membelah ruang. Di tengah kabut tipis, sosok bertopeng dengan jubah berumbai muncul perlahan, menandai prolog kisah yang telah ratusan tahun beredar dari mulut ke mulut masyarakat Bali. Teater Keliling, kelompok teater yang akrab menempuh jalan panjang ke berbagai daerah, resmi meluncurkan tur musikal Calon Arang ke lima kota. Bukan sekadar pementasan, ini adalah eksperimen lintas genre yang menjahit mitologi, musik kontemporer, dan disiplin tari menjadi satu tubuh pertunjukan yang padat.

“Kisah tua bisa terasa baru ketika panggung memberinya bahasa yang berani dan mata yang penuh rasa ingin tahu.”

Mengapa Calon Arang, Mengapa Musikal

Keputusan mengangkat Calon Arang lahir dari percakapan panjang antara sutradara, dramaturg, dan para penari yang telah mengolah sumber cerita dari naskah babad hingga tafsir modern. Calon Arang selama ini kerap digambarkan hitam putih, seolah hanya kisah jahat vs baik. Tim kreatif mencoba mendekatinya sebagai tragedi manusia dengan lapisan kelangkaan, kesalahpahaman, dan kuasa yang menimbulkan luka. Format musikal dipilih agar emosi bisa bergerak cepat, memanfaatkan kekuatan paduan suara, leitmotif musik, dan lirik yang memadatkan konflik.

Musikal memungkinkan tokoh berbicara lewat bunyi, bukan hanya dialog. Dalam satu nomor, kalimat pendek bisa diangkat menjadi klimaks emosional, sementara gerak tari memberi kita konteks batin tokoh tanpa perlu kata. Itulah sebabnya adegan pertarungan batin Calon Arang dan muridnya, Ratna Manggali, terasa menohok. Musik berdenyut seperti napas yang tersengal, kemudian meledak dengan harmoni gamelan yang dipelintir menjadi progresi minor ala teater modern.

Lima Kota, Lima Karakter Penonton

Tur ini melintasi Denpasar, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Jakarta. Pemilihan kota tidak acak. Denpasar adalah rumah, tempat tim menguji energi awal dan menyapa akar cerita. Yogyakarta dipilih karena komunitas seni panggungnya yang kritis. Surabaya menjadi simpul penonton urban yang gemar pertunjukan besar di gedung megah. Makassar menawarkan penonton yang hangat sekaligus blak blakan, sementara Jakarta memberi panggung media dan keberagaman penonton paling majemuk.

Setiap kota disiapkan dengan penyesuaian strategi. Di Denpasar, digelar sesi pra-pertunjukan tentang etika menonton tari sakral agar publik memahami batas eksploitasi estetika. Di Yogyakarta, diadakan lokakarya dramaturgi mini. Surabaya fokus pada diskusi teknis panggung karena gedungnya memungkinkan tata cahaya yang kompleks. Makassar menghadirkan forum lintas budaya membandingkan Calon Arang dengan mitos lokal. Jakarta menyiapkan panel produksi untuk mahasiswa seni.

Bahasa Panggung: Topeng, Gerak, dan Lirik

Visual menjadi taruhan besar. Desainer kostum memadukan pola endek dan songket dengan siluet modern. Topeng barong dan rangda tampil sebagai metafora, bukan replika ritual. Rias wajah menahan diri dari hiperrealisme, memilih garis tegas yang mempertebal ekspresi jarak dekat. Koreografi menenun unsur kebyar dan kontemporer. Pada adegan ritual, langkah agresif ditahan separuh, memberi ruang untuk hening yang menakutkan.

Lirik lagu disusun dalam dua lapis bahasa. Bahasa Indonesia menjadi tulang, sementara sisipan Kawi dan Bali halus muncul sebagai mantra atau seruan penting. Proyeksi teks disediakan di sisi panggung untuk memastikan penonton dari berbagai latar dapat menangkap cerita. Keputusan ini membuat musikal terasa inklusif tanpa mengurangi aura lokal.

Musik: Gamelan Bertemu Orkes dan Elektronik

Komposer memetakan musik ke tiga lanskap. Pertama, dunia desa dengan palet gamelan yang hangat. Kedua, dunia istana dengan warna orkes gesek dan tiup. Ketiga, dunia gaib dengan sintesis elektronik, gong resonan, dan bebunyian lapangan. Transisi di antaranya ditandai motif empat nada yang diulang dalam tempo berbeda. Ketika konflik memuncak, motif itu diperas menjadi dua nada, memicu rasa genting.

Kolaborasi penabuh gamelan dan band orkes kecil tidak mudah. Latihan panjang melahirkan kompromi tempo dan teknik. Gamelan cenderung mengayun, orkes cenderung patuh partitur. Komposer menyelesaikannya dengan click track halus untuk konduktor, sementara di beberapa nomor dibiarkan sedikit longgar agar tubuh para pemain bisa bernapas bersama.

Menjaga Sensitivitas Budaya

Calon Arang bukan sekadar kisah; ia menyentuh wilayah kepercayaan yang hidup. Tim produksi berkonsultasi dengan pemangku dan seniman Bali untuk membedakan mana yang sakral dan mana yang boleh ditafsir. Adegan yang meniru ritual disusun sebagai “gambaran teater”, bukan tiruan ritual sesungguhnya. Musik mantra tidak diambil utuh, melainkan diolah menjadi motif yang menghormati sumber. Properti yang menyerupai sesajen dibuat versi panggung dan tidak digunakan di area yang dianggap suci.

Pendekatan ini bukan formalitas. Ia menjauhkan pertunjukan dari sensasi murahan dan mengundang penonton untuk mengapresiasi nilai tanpa melintasi batas. Ketika seni panggung berjumpa tradisi hidup, kehati hatian adalah bentuk cinta.

Dramaturgi: Menggoyang Hitam Putih

Skrip menolak menggambar Calon Arang semata antagonis. Ia dipahami sebagai ibu yang marah, perempuan cerdas yang dipinggirkan, dan pemimpin yang menemukan kuasa di jalan yang kelam. Konflik dengan Mpu Bharadah didorong bukan hanya oleh ilmu, tetapi juga oleh strategi. Keputusan politik, rasa takut kehilangan pengaruh, dan gosip istana menjadi katalis. Dengan cara ini, pertarungan tampak sebagai benturan nilai dan kepentingan, bukan sekadar duel sihir.

Ratna Manggali diberi ruang agen yang utuh. Ia bukan obyek yang ditukar nasibnya, melainkan subjek yang memilih. Nomor solo “Antara Darah dan Dara” menandai momen ketika ia menawar takdir. Nada minor merambat, lalu terangkat pada modulasi mayor yang getir. Penonton terhenyak, menyadari bahwa pusat emosi tidak selalu berada pada tokoh paling keras.

Tata Panggung: Kabut, Bayang, dan Ruang yang Bergerak

Desain panggung menolak dekor yang berat. Alih alih, tim menggunakan panel kain tinggi yang dapat disusun ulang menjadi hutan, istana, atau lorong gaib lewat proyeksi tekstur. Cahaya menjadi aktor utama. Dua belas unit moving head memahat ruang, sementara garis laser tipis menggambar batas sakral. Kabut rendah di lantai memantulkan cahaya, mencipta ilusi tanah yang hidup. Properti utama hanya tiga: payung hitam, keris, dan kipas merah. Mereka muncul berulang, masing masing memikul makna yang berkembang.

Ruang orkes disembunyikan sebagian untuk memancing rasa ingin tahu. Kadang konduktor muncul di ujung panggung, mengantar adegan seperti dalang yang menyingkap tabir. Permainan jarak ini menjaga energi pertunjukan tetap tegang, tidak membiarkan mata penonton beristirahat terlalu lama.

Distribusi Peran dan Proses Latihan

Pementasan ini mempekerjakan 28 pemain, 12 musisi, dan tim teknis 20 orang. Lead untuk Calon Arang dan Ratna Manggali dipilih melalui audisi terbuka di Bali dan Jakarta, menarik talenta tari dan teater musikal. Sutradara menerapkan metode latihan berlapis. Minggu pertama eksplorasi tubuh dan sumber cerita. Minggu kedua pengolahan vokal dan ritme. Minggu ketiga blocking dan tata cahaya kasar. Setelah itu, run-through intensif dengan mikrofon dan click track.

Kesulitan terbesar justru pada stamina. Nomor tarian berlapis kostum berat menuntut napas panjang. Pelatih fisik menjaga pola latihan: kardio ringan pagi hari, pendinginan panjang setelah latihan malam. Perhatian khusus juga pada diksion Kawi dan Bali, agar pengucapan tidak membuat otot rahang tegang.

Program Edukasi: Dari Kelas Publik hingga Tur Backstage

Tur ini dirancang bukan hanya untuk menjual tiket. Setiap kota menyertakan program edukasi. Kelas publik tentang dramaturgi dan koreografi dibuka gratis bagi pelajar seni. Sesi “tur backstage” mengajak 20 peserta melihat dari dekat cara kerja tata cahaya, manajemen properti, dan disiplin panggung. Panduan program dibagikan sebagai e-book berisi sinopsis, glosarium istilah, dan catatan sensitif budaya.

Para guru seni dari sekolah menengah datang berombongan. Banyak yang mengaku akhirnya mendapat materi segar untuk kelas mereka. Pelaku komunitas teater kampus pun mencatat bagaimana standar keselamatan kerja panggung diolah dalam ruang terbatas. Energi pengetahuan ini mengalir melampaui durasi pertunjukan.

Tiket, Aksesibilitas, dan Penonton Inklusif

Harga tiket dibagi berlapis, termasuk kuota pelajar dan nonton bareng komunitas. Pihak penyelenggara menyiapkan sistem “pay-it-forward”, di mana penonton dapat membelikan kursi untuk siswa seni yang tidak mampu. Untuk aksesibilitas, tersedia perangkat audio description terbatas untuk penonton tunanetra pada dua jadwal khusus. Surtitel Bahasa Indonesia dan Inggris berjalan di sayap panggung, dan satu pertunjukan di Jakarta menghadirkan juru bahasa isyarat untuk nomor nomor dialog penting.

Langkah langkah ini mungkin terlihat kecil, tetapi mereka mengubah siapa saja yang bisa masuk dan merasa disambut. Ketika seni panggung membuka pintu lebih lebar, ia sekaligus memperluas imajinasi tentang siapa penonton teater di Indonesia hari ini.

Respons Penonton dan Kritikus

Di Denpasar, penonton berdiri memberi tepuk tangan panjang pada adegan penutup ketika motif musik empat nada kembali, kali ini lirih seperti doa. Di Yogyakarta, diskusi pasca-pertunjukan menghangat pada pertanyaan seputar batas tafsir dan ritual. Seorang kritikus mencatat keberanian produksi membiarkan hening cukup lama, menolak godaan mengisi setiap detik dengan bunyi. Di Surabaya, kekaguman mengarah ke tata cahaya yang presisi dan penggunaan proyeksi yang tidak mengganggu pandangan.

Makassar terkenal jujur. Di sana, ada yang menginginkan jeda humor lebih banyak untuk menyeimbangkan intensitas. Tim kreatif menanggapi dengan menata ulang tempo di segmen awal. Jakarta menyambutnya sebagai penanda kematangan teater musikal lokal yang berani menyentuh mitologi Nusantara tanpa kehilangan daya hibur.

“Yang paling menggetarkan bukan efek panggungnya, melainkan keberanian pertunjukan mengajak kita memandang Calon Arang sebagai manusia yang retak.”

Ekonomi Kreatif dan Rantai Dampak

Pementasan skala tur menggerakkan banyak mata rantai. Penjahit lokal mengerjakan kostum, pengrajin kayu membuat properti, vendor tata suara menyediakan paket sewa, dan hotel kecil dekat gedung pertunjukan merasakan lonjakan hunian. Di sejumlah kota, UMKM kuliner diajak membuka stan kurasi di lobi teater. Penonton pulang bukan hanya membawa kenangan, tetapi juga daftar kontak seniman yang bisa diajak kolaborasi.

Model bisnisnya menggabungkan dukungan sponsor, penjualan tiket, dan penawaran tur edukasi berbayar. Transparansi anggaran menjadi komitmen. Tim menjanjikan rilis ringkas seusai tur, agar komunitas belajar menakar biaya dan manfaat produksi semacam ini. Pendidikan tentang ekonomi pertunjukan sering terlupakan, padahal ia kunci keberlanjutan.

Tantangan Teknis: Set Hidup di Gedung yang Berbeda

Lima kota berarti lima panggung berbeda. Ada yang memiliki fly system canggih, ada yang minim rigging. Tim teknis menyiasatinya dengan desain modular. Panel kain dan rangka aluminium ringan bisa dipasang cepat. Proyektor cadangan disiapkan jika throw distance tidak ideal. Sebagian perangkat cahaya dibawa sendiri agar konsistensi suasana tetap terjaga, sementara sisanya disewa lokal.

Sound check menjadi ritual paling krusial, terutama untuk menyatukan gamelan dan orkes. Di beberapa gedung, akustik keras membuat nada tinggi menyilaukan. Di tempat lain, penyerapan berlebih menelan detail. Insinyur suara mengandalkan pengukuran cepat dan preset EQ untuk setiap kota, membuat pertunjukan terdengar nyaris seragam di telinga penonton.

Keamanan Panggung dan Kesehatan Pemain

Asap panggung dan kabut rendah terlihat aman, tetapi tetap diawasi dosisnya agar tidak mengganggu napas. Lantai diberi coating anti-slip, mengingat banyak gerak berputar dengan kostum panjang. Kipas merah yang menjadi simbol amarah Calon Arang dibuat dari bahan ringan dengan ujung tumpul. Keris panggung adalah replika yang tak berbahaya, namun tetap diperlakukan dengan tata hormat.

Kesehatan pemain diperhatikan lewat jadwal istirahat yang ketat dan hidrasi wajib. Setiap kota ada fisioterapis pendamping untuk menangani nyeri mendadak. Ini bukan kemewahan, melainkan syarat untuk menjaga kualitas pertunjukan yang menuntut stamina tinggi.

Makna Kontemporer dari Kisah Kuno

Apa yang membuat penonton merasa kisah ini relevan. Mungkin karena Calon Arang bicara tentang ketakutan kolektif terhadap perempuan berkuasa, tentang stigma yang membesar hingga menelan akal sehat, tentang kekuasaan yang kesepian. Musikal ini tidak memaksa penonton sepakat pada satu tafsir. Ia membuka lorong lorong, memberi cahaya secukupnya, lalu menyerahkan pilihan pada kita: apakah melihatnya sebagai legenda tentang kutukan, atau sebagai peringatan tentang bagaimana masyarakat menciptakan “raksasa” dari cermin yang retak.

Kekuatan teater adalah kemampuannya mengajukan pertanyaan tanpa menggurui. Ketika lampu padam dan tembang terakhir merayap di udara, yang tertinggal bukan jawaban, melainkan rasa yang meminta dirawat.

Rencana Pasca Tur: Album, Dokumenter, dan Paket Sekolah

Tim produksi menyiapkan album konser berisi pilihan nomor favorit, direkam live di dua kota terakhir. Dokumenter pendek juga diproses, menyorot perjalanan latihan, kegagalan kecil yang menggemaskan, dan momen ketika musik akhirnya “klik” dengan gerak. Untuk sekolah, disiapkan paket kurikulum mini berisi video potongan adegan, panduan diskusi, dan latihan sederhana koreografi yang bisa dilakukan di kelas.

Rencana ini memperpanjang napas pertunjukan. Seni panggung yang biasanya berumur pendek diberi tubuh baru dalam bentuk audio, video, dan modul belajar. Dengan begitu, Calon Arang bukan hanya peristiwa yang lewat, tetapi sumber daya yang terus mengalir ke ruang belajar dan komunitas.

Catatan Kecil untuk Penonton Mendatang

Bila Anda berencana menonton, datanglah sedikit lebih awal. Lobi disulap menjadi ruang pengantar dengan panel informasi, kostum replika, dan sudut dengar motif musik. Masuklah ke gedung dengan pikiran terbuka. Jangan mencari ritual asli, carilah pantulan manusia di balik mitos. Dengarkan bagaimana empat nada kecil bisa berubah menjadi badai. Perhatikan bagaimana kipas merah itu dibuka dan ditutup, seperti nafas yang naik turun di dada orang yang tersakiti.

Dan ketika tepuk tangan mengembang seperti ombak, biarkan diri Anda berdiri sejenak. Bukan untuk mengukuhkan puja, tetapi untuk mengembalikan rasa terima kasih pada kerja kolektif yang jarang terlihat: penabuh yang menjaga tempo, operator cahaya yang menahan detik, penata rias yang menyembunyikan keringat. Tanpa mereka, musik tidak menemukan tubuh, tubuh tidak menemukan cahaya, dan cahaya tidak menemukan mata kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *