Wali Kota Makassar Kembali Raih Penghargaan, BNN RI Lirik Program Inovasi Lorong Wisata Bersinar

Wali Kota Makassar Kembali Raih Penghargaan, BNN RI Lirik Program Inovasi Lorong Wisata Bersinar Makassar kembali menjadi sorotan nasional ketika program Lorong Wisata Bersinar yang digagas Wali Kota Moh Ramdhan Pomanto menuai apresiasi dan penghargaan. Inovasi yang merajut isu ketahanan sosial, pemberdayaan ekonomi, kebersihan lingkungan, dan edukasi bahaya narkoba ini dinilai mampu bekerja di level paling dekat dengan warga. Program Bukan sekadar pencitraan, konsep lorong sebagai unit pembangunan mikro telah menunjukkan bukti perubahan nyata di banyak sudut kota.

Di tengah riuh pertumbuhan kota, penghargaan ini dibaca sebagai pengakuan bahwa pencegahan narkoba tidak cukup mengandalkan penindakan. Ia perlu ditopang jejaring solidaritas warga, ruang ekonomi yang hidup, serta lingkungan yang bersih dan aman.

“Penghargaan hanyalah tanda jalan. Kompas utamanya tetap pada perubahan yang dirasakan warga di depan rumahnya sendiri.”

Lorong Sebagai Laboratorium Pembangunan Masyarakat

Gagasan Lorong Wisata Bersinar berangkat dari kesadaran sederhana bahwa denyut kota berawal dari gang sempit, dari interaksi harian antara tetangga, dan dari kerja kecil yang berulang. Pemerintah kota lalu menata lorong menjadi laboratorium hidup: menanam, berdagang, memamerkan budaya, sekaligus membangun literasi anti narkoba.

Satu lorong dipetakan, difasilitasi, dan disambungkan dengan jejaring kecamatan kelurahan hingga RT RW. Ruang publik kecil dibenahi, pencahayaan dipasang, mural diproduksi sebagai medium edukasi, posko warga diaktifkan, dan jadwal kegiatan bersama dirapikan. Di saat bersamaan, komunitas pemuda dan ibu ibu dilibatkan dalam pelatihan ekonomi kreatif agar lorong memiliki denyut usaha yang berkelanjutan.

“Pencegahan narkoba akan lebih kokoh bila lorong punya harapan ekonomi dan kebanggaan kultural untuk dijaga bersama.”

Mengikat Empat Pilar: Sosial, Ekonomi, Lingkungan, Edukasi

Kekuatan program ini terletak pada integrasi empat pilar. Pertama, pilar sosial dibangun lewat kerja rutin gotong royong, penguatan forum warga, serta mekanisme saling jaga. Kedua, pilar ekonomi menghadirkan stan kuliner rumahan, kebun lorong, kerajinan kecil, hingga lokakarya digital bagi pelaku UMKM.

Ketiga, pilar lingkungan menata lorong bersih, terang, dan ramah pejalan kaki. Pengelolaan sampah dipilah, taman kecil dirawat, dan jalur evakuasi disiapkan. Keempat, pilar edukasi mendorong literasi bahaya narkoba dengan pendekatan yang bersahabat. Duta lorong dilatih menjadi fasilitator ngobrol santai di posko, poster informatif dipasang, dan kegiatan olahraga rutin dijadikan kanal kampanye.

“Kota yang kuat tidak hanya punya jalan lebar, tetapi juga lorong yang rapi, aman, dan produktif.”

Dampak yang Terlihat di Lapangan

Perubahan paling cepat dirasakan pada rasa aman. Dengan penerangan yang memadai dan aktivitas warga yang terorganisir, lorong tak lagi sepi dan menakutkan saat malam. Kegiatan ekonomi kecil tumbuh dari teras ke teras. Barisan pot cabai, kangkung, atau herbal memberi tambahan penghasilan sekaligus menyejukkan pandangan.

Anak anak memiliki ruang bermain yang lebih tertata. Di beberapa lorong, jadwal belajar bersama dibuat oleh relawan mahasiswa. Sementara itu, duta anti narkoba lorong menjadi penghubung cepat jika ada gejala penyalahgunaan. Pendekatan dini seperti konseling ringan dengan tokoh setempat mencegah masalah membesar.

“Ketika warga punya kesibukan yang sehat, ruang untuk penyalahgunaan makin sempit.”

Kolaborasi Berlapis, Dari Balai Kota hingga Pojok Lorong

Implementasi program bertumpu pada kolaborasi berlapis. Pemerintah kota menyiapkan panduan, supervisi, dan alat kerja. Kecamatan dan kelurahan menjadi simpul penghubung dengan RT RW. Komunitas seniman lokal dilibatkan menata wajah lorong agar punya identitas. Perguruan tinggi mengirim mahasiswa untuk riset sekaligus pendampingan.

Di sisi lain, pelaku usaha membantu peralatan dasar UMKM atau akses pasar. Lembaga keagamaan mengisi ruang edukasi moral dan keluarga. Media lokal turut mengangkat kisah inspiratif agar semangat menyebar ke lorong lain. Pola kerja ini membentuk ekosistem yang lentur, cepat beradaptasi, dan tidak tergantung satu aktor saja.

“Kunci dari program yang panjang umurnya adalah membuat semua pihak merasa menjadi pemilik, bukan sekadar penonton.”

Strategi Komunikasi yang Membumi

Kampanye anti narkoba kerap gagal bila bahasanya menggurui. Di Makassar, pesan dikemas dalam format ringan dan dekat dengan keseharian. Pertandingan futsal antar lorong disisipi sesi ngobrol. Pasar kuliner akhir pekan menyelipkan panggung edukasi singkat. Mural bercerita dengan ikon lokal yang akrab. Pendekatan ini membuat warga tidak merasa dihakimi, melainkan diajak bertumbuh bersama.

Petugas lapangan dilatih komunikasi empatik. Alih alih menuduh, mereka membuka ruang dengar. Di tataran keluarga, posyandu remaja dan majelis taklim ibu ibu menjadi kanal membahas pola asuh, kesehatan mental, dan tanda tanda dini penyalahgunaan zat.

“Pesan yang sampai ke hati biasanya bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling dekat bahasanya.”

Indikator Keberhasilan yang Realistis

Keberhasilan program tingkat lorong tidak diukur dengan satu angka saja. Pemerintah kota menyusun gabungan indikator yang realistis. Ada indikator kebersihan dan kerapian lingkungan, ketercukupan penerangan, frekuensi kegiatan warga, pertumbuhan UMKM rumahan, serta jumlah kader aktif. Pada aspek pencegahan narkoba, indikator mencakup jumlah kegiatan edukasi, keterlibatan sekolah dan karang taruna, dan kanal pelaporan dini yang berfungsi.

Pendekatan ini menghindarkan program dari jebakan sekadar menggugurkan kewajiban. Yang dilihat adalah keterjagaan ritme aktivitas harian, bukan hanya keberhasilan seremoni.

“Yang paling sulit bukan memulai, melainkan menjaga agar api kecil itu tidak padam oleh rutinitas.”

Tantangan: Konsistensi, Regenerasi, dan Data

Tidak ada program tanpa tantangan. Konsistensi menjadi pekerjaan rumah setiap lorong. Pengurus berganti, semangat bisa naik turun. Karena itu, regenerasi kader dirancang sejak awal, melibatkan remaja sebagai wakil ketua atau sekretaris. Di sisi pembiayaan, program mendorong model swadaya terukur, sponsor kecil menengah, serta insentif kompetisi antar lorong untuk menjaga motivasi.

Aspek lain adalah data. Mengukur pencegahan narkoba perlu pendekatan yang etis dan melindungi privasi. Kota mendorong pencatatan yang fokus pada kegiatan, keterlibatan, dan kesiapan respon, ketimbang menstigma individu. Data kualitatif dari kisah warga menjadi pelengkap angka.

“Program yang baik menghormati martabat warga, bahkan ketika mengukur kemajuannya sendiri.”

Menyambungkan Lorong ke Ekosistem Kota

Lorong yang sehat dan kreatif perlu disambungkan ke ekosistem kota agar tidak berjalan sendiri. Pemerintah mengintegrasikan lorong dengan kalender wisata, rute sepeda, hingga peta kuliner. Perbankan mikro dilibatkan untuk akses permodalan UMKM. Platform digital kota memuat profil produk lorong. Sekolah dan puskesmas setempat menjadi mitra program hidup bersih dan sehat.

Dengan cara ini, keberhasilan lorong memantul ke level kota, dan sebaliknya kebijakan kota memberi punggung pada kerja lorong. Sirkulasi ini penting agar energi warga terjaga oleh dukungan struktural.

“Lorong adalah serambi rumah kota. Bila serambi ramah, tamu ingin berlama lama dan penghuni betah merawatnya.”

Peran Keluarga dan Sekolah Sebagai Benteng Awal

Pencegahan narkoba bermula dari obrolan di meja makan, dari teladan orang tua, dan dari sekolah yang hangat. Program mengajak keluarga menata ulang kebiasaan kecil: jadwal makan bersama, pembatasan gawai, dan ruang curhat remaja. Sekolah dilatih membangun budaya peduli, konseling yang tidak menghakimi, serta kegiatan ekstrakurikuler yang menyalurkan energi siswa.

Keaktifan guru BK, pembinaan rohis, dan klub olahraga menjadi kanal yang menjaga anak anak sibuk dengan hal baik. Di lorong, tutor sebaya dilatih agar remaja saling menjaga. Pola ini menjahit benteng bertingkat antara rumah sekolah dan lingkungan.

“Anak butuh tiga hal untuk tumbuh kokoh: telinga yang mendengar, mata yang memperhatikan, dan pelukan yang menerimanya.”

Ekonomi Kreatif sebagai Penyejuk Suasana

Salah satu temuan penting program adalah dampak ekonomi kreatif terhadap suasana lorong. Saat ibu ibu sibuk memproduksi kue kering atau abon rumahan, saat pemuda fokus pada sablon kaos komunitas, suasana menjadi hangat dan produktif. Kegiatan jual beli kecil menumbuhkan optimisme. Pasar lorong setiap akhir pekan mengundang pengunjung, memunculkan kebanggaan baru.

Pemerintah kota menambah dukungan berupa pelatihan standar kemasan, foto produk, dan pemasaran digital. UMKM disambungkan ke layanan perizinan mudah dan platform belanja lokal. Pendekatan ini membuat program tidak berhenti di kampanye, tetapi menggenggam aspek rezeki warga.

“Perut yang tenang biasanya membuat kepala dingin, dan kepala dingin lebih kuat menolak ajakan sesat.”

Perawatan Ruang dan Seni sebagai Bahasa Universal

Tidak semua pesan harus berupa teks dan ceramah. Seni dan penataan ruang sering berbicara lebih pelan tapi meninggalkan jejak. Mural bertema keluarga, musik akustik di pojok pasar lorong, lomba foto taman kecil, atau kelas membatik di teras balai warga, menghadirkan rasa memiliki. Orang cenderung menjaga apa yang mereka sukai.

Kota memfasilitasi perupa muda untuk mengadopsi satu lorong selama periode tertentu. Karya mereka bukan hanya indah, tetapi juga reflektif. Seni menjadi jembatan antar generasi dan antar latar belakang.

“Kota tanpa seni mudah lelah. Seni memberi jeda, lalu menguatkan kembali langkah.”

Penghargaan Bukan Titik Akhir

Apresiasi yang diterima wali kota menjadi penguat kepercayaan diri, baik bagi birokrasi maupun warga. Namun dari awal ditegaskan, penghargaan bukan tujuan, melainkan pengingat agar standar pelaksanaan tetap tinggi. Karena itu, setelah seremoni, agenda besar justru dimulai lagi dari lorong. Daftar cek diperbarui, evaluasi lapangan dilanjutkan, dan kisah baik disebarkan untuk ditiru secara kontekstual.

Kota menyiapkan siklus tahunan penilaian mandiri agar tiap lorong belajar dari diri sendiri, bukan sekadar dari panitia. Targetnya sederhana namun penting: kegiatan tidak putus, kader tidak habis, dan warga tetap merasa dilibatkan.

“Yang membuat program hidup panjang bukan piagam, tetapi rutinitas kecil yang membuat orang merasa dihargai.”

Replikasi yang Cerdas, Bukan Menyalin Mentah

Banyak daerah ingin meniru. Pesan dari Makassar jelas, tirulah prinsip dan mekanismenya, bukan sekadar cat warna dan spanduk. Setiap daerah punya bahasa, ikon, dan masalah yang berbeda. Replikasi cerdas berarti memindahkan esensi: partisipasi warga, integrasi pilar, komunikasi ramah, dan penopang ekonomi. Sisanya disesuaikan kultur setempat.

Makassar membuka diri berbagi panduan kerja, templat evaluasi, dan daftar alat bantu murah. Pertukaran kader antardaerah pun disambut baik agar terjadi belajar dua arah. Dengan begitu, jejaring kota kota peduli lorong terbentuk secara alami.

“Meniru itu mudah, memahami ruhnya yang sulit. Namun jika ruhnya dipahami, bentuk bisa lahir sendiri.”

Jalan Panjang Kota Inklusif

Penghargaan terbaru menyematkan optimisme bahwa kota dapat tumbuh tanpa meninggalkan lorong. Nilai utamanya sederhana namun dalam. Pemerintahan yang baik adalah yang hadir setinggi kebijakan dan serendah gang rumah. Di situlah legitimasi lahir, di situlah kepercayaan tumbuh.

Makassar menulis bab baru tentang pencegahan narkoba yang membahagiakan. Bukan karena berhasil menakut nakuti, melainkan karena berhasil menumbuhkan. Ruang yang rapi, kegiatan yang hangat, ekonomi yang hidup, dan percakapan yang jujur menciptakan pagar yang tidak terlihat tapi kuat.