Menjelang masa kampanye pemilu, isu kelangkaan bahan pangan mulai mencuat di berbagai daerah di Indonesia. Dari pasar tradisional hingga jaringan ritel modern, sejumlah komoditas strategis seperti beras, minyak goreng, dan gula mulai menunjukkan tren kenaikan harga. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan potensi gejolak ekonomi yang bisa berdampak pada kestabilan sosial menjelang periode politik yang sensitif.
“Harga naik menjelang kampanye bukan hal baru, tapi ketika stok mulai menipis di beberapa wilayah, itu tanda bahaya yang tidak bisa diabaikan.”
Harga Naik, Stok Menipis di Pasar Tradisional
Pantauan di sejumlah daerah menunjukkan pola yang seragam. Di Pasar Induk Beras Cipinang, stok beras medium menurun drastis dalam dua pekan terakhir. Pedagang mengaku kesulitan memperoleh pasokan dari distributor besar, sementara harga di tingkat petani juga mulai meningkat. Kondisi serupa terjadi pada komoditas gula pasir dan minyak goreng curah.
Di beberapa provinsi, terutama di wilayah Indonesia Timur, situasinya bahan pangan bahkan lebih serius. Distribusi logistik yang terganggu oleh cuaca ekstrem memperparah keterlambatan pengiriman bahan pangan. Pemerintah daerah mulai mengambil langkah antisipatif dengan menggelar operasi pasar, namun dampaknya belum terasa signifikan di tingkat masyarakat.
“Masalah klasik seperti distribusi dan stok tidak bisa terus dijadikan alasan. Masyarakat butuh kepastian harga dan ketersediaan bahan pokok di tengah situasi politik yang memanas.”
Faktor Politik dan Spekulasi Pasar
Para pengamat ekonomi menilai bahwa dinamika politik menjelang masa kampanye seringkali dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk menaikkan harga secara spekulatif. Dalam beberapa kasus, praktik penimbunan oleh distributor nakal tidak bisa dihindari. Ketika permintaan meningkat dan pasokan menurun, harga pun melambung tanpa kendali.
Selain itu, faktor psikologis publik juga memainkan peran besar. Kecemasan terhadap situasi politik membuat sebagian masyarakat melakukan pembelian berlebih, sehingga mempercepat proses kelangkaan di lapangan. Pemerintah diingatkan untuk memperketat pengawasan agar tidak ada pihak yang menunggangi momentum politik demi keuntungan pribadi.
“Spekulasi ekonomi yang berakar dari kepentingan politik adalah racun bagi stabilitas nasional. Negara harus hadir untuk mencegahnya.”
Dampak Langsung bagi Masyarakat Kecil

Masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok paling rentan terhadap situasi kelangkaan bahan pangan ini. Kenaikan harga bahan pokok seperti beras, telur, dan minyak goreng langsung menggerus daya beli mereka. Bagi sebagian keluarga, kebutuhan harian yang sebelumnya bisa terpenuhi kini harus dikurangi.
Sejumlah pedagang kecil di Makassar, Surabaya, dan Medan mengaku omzet mereka turun drastis karena pembeli mulai berhemat. Kondisi kelangkaan bahan pangan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial. Ketika kebutuhan pokok sulit dijangkau, tingkat ketegangan di masyarakat berpotensi meningkat.
“Rakyat tidak peduli siapa yang berkuasa, yang mereka butuh hanyalah beras di meja makan dan harga yang stabil di pasar.”
Upaya Pemerintah Menjaga Stok dan Harga
Kementerian Perdagangan bersama Badan Pangan Nasional telah melakukan sejumlah langkah mitigasi. Operasi pasar digelar serentak di berbagai kota besar. Selain itu, pemerintah juga menginstruksikan kepada Bulog untuk memperkuat distribusi beras dan menambah stok cadangan pangan pemerintah (CPP) di gudang daerah.
Namun, beberapa kalangan menilai upaya ini masih bersifat jangka pendek. Diperlukan koordinasi lintas sektor antara pemerintah pusat dan daerah, serta kolaborasi dengan sektor swasta untuk memastikan ketersediaan bahan pangan selama masa kampanye berlangsung.
“Operasi pasar penting, tapi tanpa sistem distribusi yang efisien, upaya itu hanya seperti memadamkan api dengan air setetes.”
Potensi Manipulasi Logistik Pangan di Masa Politik
Salah satu kekhawatiran besar yang muncul adalah kemungkinan adanya manipulasi logistik pangan oleh oknum tertentu untuk tujuan politik. Sejarah mencatat, kelangkaan bahan pokok kerap dimanfaatkan untuk membentuk persepsi publik terhadap kinerja pemerintah yang sedang berkuasa.
Jika isu kelangkaan tidak segera diantisipasi, bukan tidak mungkin akan muncul narasi politik yang menuding pemerintah gagal menjaga stabilitas ekonomi bahan pangan. Hal ini tentu berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat dan memengaruhi dinamika elektoral di daerah-daerah strategis.
“Krisis pangan bisa menjadi senjata politik yang paling berbahaya, karena ia langsung menyentuh dapur rakyat.”
Distribusi dan Rantai Pasok yang Rapuh
Selain faktor politik, sistem rantai pasok bahan pangan di Indonesia memang masih menyimpan banyak kelemahan. Ketergantungan pada jalur distribusi panjang bahan pangan, minimnya infrastruktur penyimpanan modern, serta ketidakteraturan pasokan antarprovinsi menjadi penyebab klasik.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu memperkuat sistem logistik nasional agar tidak mudah terguncang oleh perubahan cuaca, dinamika politik, atau spekulasi pasar. Digitalisasi data stok pangan juga penting untuk memastikan pengawasan yang lebih transparan.
“Selama rantai pasok masih manual dan panjang, maka kelangkaan akan terus menjadi masalah yang berulang setiap menjelang momentum politik.”
Peran Bulog dan Pemerintah Daerah
Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi ujung tombak dalam mengendalikan stabilitas pangan nasional. Melalui program penyerapan hasil panen petani lokal dan distribusi beras SPHP, Bulog berupaya menjaga keseimbangan pasar. Namun, peran pemerintah daerah juga tidak kalah penting.
Di tingkat lokal, dinas perdagangan dan ketahanan pangan diminta lebih aktif memantau pasar dan melaporkan potensi kelangkaan sejak dini. Beberapa daerah bahkan mulai menggelar rapat koordinasi darurat untuk memastikan rantai distribusi berjalan lancar.
“Ketahanan pangan bukan hanya soal beras dan gula, tapi soal kemampuan negara hadir di setiap pasar tradisional rakyat.”
Seruan untuk Transparansi dan Kolaborasi
Banyak kalangan menilai bahwa transparansi data dan kerja sama lintas sektor menjadi kunci utama menghadapi ancaman kelangkaan bahan pangan menjelang kampanye. Pemerintah perlu melibatkan akademisi, lembaga riset, dan asosiasi pedagang dalam perumusan kebijakan.
Selain itu, peran media juga penting dalam memberikan informasi yang akurat agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu kelangkaan yang tidak berdasar. Berita palsu tentang stok kosong atau harga naik tajam bisa menimbulkan panic buying yang justru memperburuk situasi.
“Informasi yang jujur lebih kuat daripada seribu kebijakan tanpa transparansi.”
Menjaga Stabilitas Ekonomi di Tengah Politik
Ekonomi dan politik adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dalam situasi menjelang pemilu, kestabilan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga kepercayaan publik. Jika rakyat merasa tenang karena harga bahan pokok stabil, maka situasi politik juga akan lebih kondusif.
Sebaliknya, jika kelangkaan bahan pangan dibiarkan meluas, maka keresahan sosial bisa menjadi bom waktu. Hal ini bukan hanya berdampak pada citra pemerintah, tetapi juga pada legitimasi proses politik itu sendiri.
“Pemilu seharusnya jadi pesta demokrasi, bukan ajang menakar kesabaran rakyat di tengah kelangkaan pangan.”
Seruan Tindakan Cepat
Waktu terjadinya kelangkaan bahan pangan, masa kampanye tinggal hitungan minggu. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dan terukur untuk memastikan tidak ada gangguan pada rantai pasok pangan nasional. Koordinasi dengan pemerintah daerah, pengawasan terhadap distributor, serta pelibatan aparat penegak hukum menjadi keharusan.
Selain itu, kebijakan jangka panjang seperti penguatan cadangan pangan nasional, peningkatan produktivitas petani, dan efisiensi distribusi logistik harus segera diprioritaskan agar ancaman serupa tidak terulang di masa depan.
“Kedaulatan pangan adalah fondasi demokrasi. Tanpa beras di meja rakyat, tidak ada legitimasi di bilik suara.”
Dengan kondisi yang semakin kompleks menjelang masa kampanye, semua pihak pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu bersinergi menjaga kestabilan pangan. Krisis ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang kepercayaan rakyat terhadap sistem politik yang seharusnya berpihak kepada mereka.






