Status PJLP Rampung, Ratusan Satgas PU Makassar Kembali Bekerja Pagi baru menyeruak di Makassar ketika rompi oranye mulai tampak kembali di ruas jalan setapak, di tepi kanal, dan di persimpangan yang biasa macet. Suara alat potong rumput menyatu dengan derit pintu bak truk kecil yang dibuka tutup. Setelah berbulan menunggu kejelasan, status Penyedia Jasa Lainnya Perorangan dinyatakan rampung, dan ratusan satuan tugas pekerjaan umum kembali bekerja. Wajah lelah yang kemarin penuh tanya kini berubah menjadi tatapan mantap. Kota seperti bernapas lebih lega, karena para penjaga denyut infrastruktur akhirnya kembali ke pos masing masing.
“Pelayanan dasar itu tidak pernah tidur. Ketika satgas kembali ke lapangan, kota seperti menemukan nadinya lagi.”
Mengapa Status PJLP Menjadi Kunci
Di balik sapu jalan dan sekop yang tampak sederhana, ada payung administrasi yang menentukan apakah petugas bisa bekerja dengan tenang. Status PJLP menjadi kunci karena menyangkut legalitas hubungan kerja, pola upah, perlindungan jaminan sosial, hingga pelindung keselamatan kerja. Ketika status ini tidak jelas, pekerjaan yang terlihat rutin berubah menjadi beban psikologis. Orang bisa saja datang bekerja, tetapi tanpa kepastian hak dasar, sulit mengharapkan kinerja yang konsisten.
Pemerintah kota akhirnya merapikan dokumen, memeriksa ulang daftar satgas, menyesuaikan kebutuhan formasi di lapangan, dan memastikan skema anggaran tersedia. Proses ini melibatkan koordinasi lintas dinas, mulai dari administrasi, keuangan, hingga perencanaan teknis. Hasilnya adalah kepastian. Satu kata yang sederhana, tetapi dampaknya terasa sampai selokan paling ujung.
Hari Pertama Kembali Bertugas
Di hari pertama setelah pengumuman, suasana di pos komando pekerjaan umum terasa seperti temu kangen yang canggung. Koordinator wilayah memanggil nama, membagikan jadwal, dan mengingatkan protokol keselamatan. Satu per satu tim bergerak ke lokasi prioritas. Ada yang membersihkan sedimen di inlet drainase, ada yang menambal lubang di badan jalan, ada yang merapikan bahu jalan yang longsor kecil akibat hujan malam.
Kembalinya satgas di lapangan langsung terasa pada kecepatan respon. Aduan warga yang sempat menumpuk di saluran pengaduan publik perlahan diurai. Ada tim yang menindaklanjuti keluhan genangan lima belas menit setelah hujan reda, ada yang memperbaiki tutup got yang bergeser sebelum menimbulkan celaka. Ritme kerja yang kemarin menurun kini kembali ke tempo yang dikenal warga.
Titik Prioritas yang Disasar Sejak Pagi
Bersamaan dengan rampungnya status administrasi, pemerintah kota menata ulang peta prioritas. Analisis genangan, titik rawan macet, dan ruas jalan yang mencatat tingkat kerusakan ringan sedang disatukan dalam satu peta kerja. Langkah pertama diarahkan pada perawatan preventif. Saluran yang sedimennya menebal didahulukan, sambil tetap menyisakan tim kecil untuk keadaan darurat.
Pendekatan ini penting karena pekerjaan umum tidak bisa selamanya memadamkan kebakaran. Perawatan preventif menurunkan risiko kejadian, membuat jam kerja petugas lebih efektif, dan pada akhirnya menghemat biaya perbaikan yang biasanya membengkak bila kerusakan dibiarkan.
Dampak Langsung ke Layanan Publik
Kota merasakan dampak cepat. Di beberapa koridor, waktu tempuh pagi hari membaik karena lobang minor ditutup dan bahu jalan yang amblas diperbaiki. Kawasan pasar tradisional yang sebelumnya dikeluhkan becek kini lebih bersih karena saluran samping dibuka dan sampah yang menyumbat diangkut. Di kawasan perumahan, warga mengaku lebih tenang melepas anak sekolah di trotoar yang tidak lagi licin tertutup lumut.
Di balik perbaikan kecil itu ada kerja yang teliti. Satgas memotret kondisi sebelum sesudah, mengunggah laporan singkat ke grup koordinasi, dan menerima umpan balik lokasi baru dalam hitungan jam. Sirkulasi informasi yang cepat mengubah perkara sederhana menjadi hasil yang dirasakan banyak orang.
Anggaran, Perlengkapan, dan Tata Kelola
Kembalinya satgas diikuti oleh kepastian anggaran operasional. Bahan bakar untuk armada, peremajaan alat tangan, dan pengadaan perlengkapan keselamatan menjadi tiga pos yang dikebut. Pemerintah kota juga menata ulang sistem distribusi barang agar tiap kecamatan tidak kekurangan sekop saat banyak sedimen terangkat atau tidak kehabisan karung saat proses pengangkatan lumpur.
Tata kelola anggaran yang rapi adalah fondasi kepercayaan petugas. Mereka datang dengan tenang karena alat tidak lagi dipinjam lintas wilayah tanpa catatan. Di sisi lain, warga melihat wujud pajak daerah yang kembali dalam bentuk layanan yang kasat mata.
Keselamatan Kerja Menjadi Norma, Bukan Formalitas
Satu hal yang ditekankan koordinator lapangan dalam apel pagi adalah keselamatan kerja. Helm, sepatu bot, sarung tangan, dan rompi reflektif bukan aksesori. Mereka kewajiban. Tim yang bekerja dekat lalu lintas dilengkapi cone dan tanda peringatan. Yang masuk ke saluran tertutup mengikuti prosedur yang mengutamakan sirkulasi udara dan pengawasan rekan. Di lokasi malam hari, pencahayaan tambahan wajib dinyalakan.
Dengan norma yang jelas, angka insiden kerja turun. Petugas pulang dalam keadaan sehat, keluarga tenang, dan jadwal kerja tidak kacau karena harus mengganti anggota yang cedera. Keselamatan yang baik bukan hanya melindungi manusia, tetapi juga menjaga efisiensi organisasi.
Warga sebagai Mitra, Bukan Penonton
Kehadiran kembali satgas memantik partisipasi warga. Kelurahan mendorong rukun tetangga untuk melaporkan titik rawan melalui kanal resmi dan menahan diri dari tindakan yang dapat merusak pekerjaan yang baru saja selesai. Pekerjaan umum juga membuka jadwal kerja pekanan yang dapat diakses publik, sehingga warga memahami kapan wilayah mereka akan disentuh dan tidak mudah tersulut isu tanpa dasar.
Di beberapa tempat, warga menyediakan air minum dan membantu mengangkat karung sedimen ke titik kumpul. Hal hal kecil yang memperpendek jarak antara seragam oranye dan pakaian rumah. Saat orang merasa ikut memiliki hasil, perilaku merawat datang dengan sendirinya.
Teknologi Sederhana untuk Koordinasi yang Rapi
Bukan semua persoalan butuh aplikasi canggih. Untuk kebutuhan harian, grup koordinasi yang disiplin sudah cukup menjaga alur. Setiap tim memiliki ponsel khusus yang memuat daftar kerja hari itu. Foto sebelum sesudah menjadi bukti, titik koordinat membantu dokumentasi, dan catatan waktu dipakai sebagai tolok ukur respons. Data harian dikompilasi setiap sore, kemudian ditarik menjadi peta mingguan untuk evaluasi.
Di kantor, monitor sederhana menampilkan status pekerjaan. Hijau berarti selesai, kuning berarti sedang berjalan, merah berarti tertunda karena kendala lapangan. Transparansi internal semacam ini membuat semua orang melihat gambaran besar dan menghindari duplikasi pekerjaan.
Metrik Kinerja yang Masuk Akal
Evaluasi kinerja satgas tidak lagi bergantung pada jumlah karung yang diangkut semata. Pemerintah kota memperkenalkan metrik yang lebih bermakna. Durasi respons terhadap aduan, penurunan tinggi genangan pada hujan berikutnya, dan kestabilan perbaikan tambal sulam selama beberapa minggu. Metrik seperti ini mendorong tim tidak mengejar angka di kertas, melainkan hasil di lapangan.
Dengan tolok ukur yang jelas, satgas merasakan kebanggaan yang pas. Mereka tahu target bukan sekadar menggerakkan alat, tetapi membuat warga merasakan perubahan. Bangga yang sehat seperti ini memperkuat motivasi internal tanpa harus bergantung pada dorongan dari luar.
Cerita Lapangan yang Membumi
Di sebuah kanal kecil yang melewati permukiman padat, tim menemukan tumpukan sandal dan plastik tebal yang menyumbat. Butuh dua jam untuk mengangkat semua, sementara dua anggota menahan arus dengan papan agar lumpur tidak kembali. Setelah selesai, air mengalir lebih cepat, dan aroma yang biasanya pekat hilang pelan. Warga bertepuk tangan spontan. Bagi petugas, momen seperti itu membayar lelah yang tidak tercatat di laporan.
Di ruas jalan lain, satu satgas menambal lubang yang selama ini menjadi biang kecelakaan kecil. Begitu aspal dingin mengeras, pengemudi sepeda motor melewati dengan melambat. Ia mengacungkan jempol. Gestur sederhana, tapi memberi cemilan semangat untuk sisa hari.
Menghadapi Musim Hujan dengan Rencana yang Jelas
Kota pesisir seperti Makassar hidup berdampingan dengan hujan dan pasang surut. Satgas pekerjaan umum mempersiapkan diri dengan pola kerja yang menyesuaikan musim. Seminggu sebelum periode hujan intens, mereka menggelar operasi bersih saluran besar. Pompa yang lama tidak beroperasi dicoba, kabel dan panel diperiksa, dan stok bahan bakar cadangan diisi.
Rencana ini bukan untuk membuat kota bebas genangan seratus persen, karena itu tidak realistis. Tujuannya menurunkan durasi dan tinggi genangan sehingga aktivitas warga tidak lumpuh. Saat air surut dalam waktu yang wajar, orang kembali bekerja, berdagang, dan sekolah tanpa trauma berkepanjangan.
Keterpaduan dengan Dinas Lain
Pekerjaan umum tidak berdiri sendiri. Komunikasi intens dengan dinas perhubungan membantu pengalihan arus saat perbaikan jalan. Kolaborasi dengan dinas kebersihan mempercepat pengangkutan sedimen agar tidak menumpuk di tepi saluran. Kerja sama dengan kelurahan mempermudah sosialisasi wilayah yang tidak boleh digunakan sebagai tempat pembuangan liar.
Keterpaduan ini mengurangi saling tunggu. Ketika pekerjaan umum selesai membersihkan, truk pengangkut sudah mengantre. Ketika perbaikan lampu jalan mendesak, jadwal disesuaikan tanpa mengganggu jadwal lainnya. Kota bergerak sebagai satu tubuh.
Etika Komunikasi kepada Publik
Di era pesan singkat dan video pendek, reputasi kerja di lapangan mudah terbawa arus emosi. Pemerintah kota mengarahkan tim komunikasi untuk merespons aduan dengan empati dan fakta. Kalimat sederhana yang menjelaskan lokasi, kendala, dan rencana tindak lanjut lebih efektif daripada balasan kaku. Dokumentasi lapangan dibagikan secukupnya untuk memberi informasi, bukan untuk pamer.
Etika ini penting agar percakapan publik tetap sehat. Warga memahami bahwa tidak semua masalah beres dalam sehari, tetapi mereka menuntut kejujuran tentang apa yang sedang dan akan dilakukan. Kejujuran yang konsisten adalah pupuk bagi kepercayaan.
Menjaga Moral Tim agar Tidak Cepat Lelah
Kembali ke lapangan setelah masa ketidakpastian bukan hal mudah. Koordinator memberi ruang jeda terencana. Rotasi wilayah mencegah kejemuan, dan pengakuan sederhana seperti ucapan terima kasih di apel atau pemasangan papan kecil di lokasi kerja menambah semangat. Di beberapa pos, dibuat papan skor yang menampilkan jumlah pekerjaan yang diselesaikan pekan ini, disandingkan dengan daftar aduan yang turun.
Dukungan psikologis ini menjaga agar tim tidak bekerja hanya karena kewajiban. Mereka merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Ketika moral baik, produktivitas mengikuti.
Pelajaran Administrasi untuk Tahun Berikutnya
Runutnya proses penyelesaian status PJLP memberi pelajaran. Pendataan tidak boleh menunggu akhir tahun. Perencanaan anggaran harus memasukkan skenario keterlambatan agar layanan dasar tidak terputus. Dokumen kontraktual disiapkan dengan daftar periksa yang jelas sehingga perpindahan antartahun berjalan mulus. Hal hal yang terlihat kaku di atas kertas inilah yang melindungi kelenturan kerja di lapangan.
Dengan pelajaran itu, pemerintah kota mematok target internal agar pengurusan status tahun berikutnya selesai lebih awal. Warga mungkin tidak tertarik membaca detailnya, tetapi mereka akan merasakan hasilnya ketika jalan lebih cepat diperbaiki dan saluran lebih cepat lancar.
Telinga Terbuka untuk Kritik yang Membangun
Tidak semua suara di ruang publik akan memuji. Ada kritik tentang penanganan yang lambat, ada masukan tentang kualitas tambal sulam yang belum rapi, ada saran soal jadwal yang bentrok dengan waktu sibuk warga. Telinga yang terbuka membuat organisasi tidak defensif. Kritik yang masuk dikelompokkan, dipilih yang dapat ditindaklanjuti cepat, dan diberi kabar balik kepada pengusulnya.
Budaya ini membangun rasa memiliki. Publik menjadi bagian dari solusi, bukan lawan yang harus dibungkam. Kota sehat tumbuh dari percakapan yang jujur antara petugas dan warganya.
Memaknai Kembali Profesi yang Sering Diabaikan
Kembalinya ratusan satgas pekerjaan umum mengingatkan kita pada profesi yang kerap luput dari sorotan. Mereka bukan sekadar tenaga kebersihan atau tukang gali saluran. Mereka pengelola risiko harian kota. Mereka memastikan roda infrastruktur mikro terus berputar agar agenda besar pemerintahan tidak tersandung masalah kecil yang menumpuk.
Di akhir hari, mereka pulang dengan bau lumpur yang kadang sulit hilang meski sudah disabun tiga kali. Namun bersama bau itu, ada rasa puas yang hanya dimengerti mereka yang melihat air hitam berubah jernih, lubang gelap kembali rata, dan pejalan kaki melintas tanpa was was. Kota bergerak lagi, dan mereka berdiri di garis paling dekat dengan denyutnya.






