Pemkot Makassar Cari Solusi untuk Tenaga Administrasi Non ASN Pemerintah Kota Makassar tengah dihadapkan pada tantangan besar dalam mengelola ribuan tenaga administrasi non ASN yang selama ini menjadi bagian penting dari jalannya roda birokrasi pemerintahan. Mereka bekerja di berbagai instansi, mulai dari dinas, kantor kelurahan, hingga sekolah, namun statusnya masih belum jelas karena belum termasuk dalam kategori Aparatur Sipil Negara (ASN) ataupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian bagi para tenaga non ASN, terutama setelah pemerintah pusat menetapkan aturan penghapusan status honorer pada tahun 2025. Pemkot Makassar pun bergerak cepat untuk mencari jalan keluar yang adil, manusiawi, dan sesuai dengan regulasi nasional tanpa mengorbankan hak dan kesejahteraan ribuan pekerja tersebut.
“Tidak semua yang bekerja dengan hati memiliki status ASN, tapi semua yang bekerja dengan tulus pantas mendapatkan kepastian.”
Ribuan Tenaga Non ASN di Makassar Masih Menggantung
Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Makassar, jumlah tenaga administrasi non ASN mencapai lebih dari 5.000 orang. Mereka tersebar di berbagai bidang, seperti tenaga administrasi sekolah, staf kelurahan, petugas kebersihan, hingga operator sistem data di berbagai dinas.
Kebanyakan dari mereka telah bekerja bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, namun masih berstatus tenaga kontrak daerah. Mereka menerima gaji yang bersumber dari anggaran pemerintah kota dengan nominal bervariasi tergantung posisi dan lama pengabdian.
Ketika pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan penghapusan tenaga honorer dan mengharuskan penataan pegawai non ASN paling lambat akhir 2025, para tenaga ini mulai cemas. Tidak sedikit yang khawatir akan kehilangan pekerjaan karena peluang menjadi ASN atau PPPK tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan daerah.
“Mereka bukan angka di tabel kepegawaian, tapi manusia yang telah mengisi ruang pelayanan publik selama bertahun-tahun.”
Sikap Pemkot Makassar: Tidak Akan Lepas Tangan
Wali Kota Makassar menegaskan bahwa pemerintah kota tidak akan tinggal diam terhadap nasib tenaga non ASN. Ia menyebut mereka sebagai tulang punggung pelayanan publik di tingkat paling dasar. Tanpa peran mereka, roda birokrasi bisa tersendat dan pelayanan masyarakat akan terganggu.
Pemkot telah membentuk tim khusus lintas dinas untuk mendata ulang seluruh tenaga non ASN, termasuk masa kerja, latar belakang pendidikan, serta beban tugas yang diemban. Data tersebut menjadi dasar dalam menyusun strategi solusi yang akan disampaikan ke pemerintah pusat.
Pemerintah Kota juga menjajaki opsi lain seperti penyesuaian status menjadi tenaga pendukung berbasis kontrak kerja jangka menengah yang diatur secara legal agar mereka tetap mendapatkan perlindungan sosial dan upah yang layak.
“Pemerintah yang adil adalah yang tidak membiarkan pengabdiannya diukur hanya dari status di kertas.”
Masalah Klasik: Kuota PPPK dan ASN yang Terbatas
Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan formasi ASN dan PPPK yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dari ribuan tenaga non ASN yang ada, hanya sebagian kecil yang memenuhi syarat administratif atau memiliki formasi jabatan sesuai kebutuhan nasional.
Sementara itu, tes seleksi PPPK yang diadakan setiap tahun juga tidak menjamin seluruh tenaga honorer dapat lolos karena persaingan yang ketat dan batas usia tertentu. Akibatnya, banyak tenaga administrasi yang sudah lama mengabdi justru tidak terakomodasi dalam formasi baru.
Pemkot Makassar berencana untuk mengajukan tambahan kuota ke Kementerian PANRB, dengan argumentasi bahwa tenaga administrasi non ASN memiliki kontribusi nyata dan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pelayanan publik.
“Sistem seleksi memang penting, tapi sistem yang terlalu sempit bisa menyingkirkan orang-orang yang sudah lama menopang pelayanan publik.”
Langkah Konkret: Verifikasi dan Penataan Ulang
Sebagai langkah awal, Pemkot Makassar melakukan pendataan ulang seluruh tenaga non ASN dengan verifikasi berbasis digital. Setiap pegawai diminta mengunggah dokumen pendukung seperti SK pengangkatan, daftar hadir, dan surat tugas. Tujuannya agar tidak terjadi data ganda dan agar pemerintah memiliki basis akurat untuk negosiasi dengan pemerintah pusat.
BKPSDM juga melakukan klasifikasi berdasarkan kualifikasi pendidikan, lama pengabdian, dan kebutuhan unit kerja. Langkah ini akan menentukan siapa saja yang layak diusulkan menjadi PPPK, siapa yang bisa tetap bekerja dengan kontrak baru, dan siapa yang akan dialihkan ke sektor swasta atau BUMD melalui program penempatan tenaga kerja.
“Penataan ulang bukan untuk menyingkirkan, tapi untuk menempatkan mereka di posisi yang tepat dengan perlakuan yang layak.”
Dampak Sosial dan Psikologis bagi Tenaga Non ASN
Bagi banyak tenaga non ASN, ketidakjelasan status bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi juga beban psikologis. Mereka merasa berada di zona abu-abu — bekerja penuh tanggung jawab, namun tanpa kepastian karier. Sebagian bahkan sudah berusia di atas 45 tahun, sehingga peluang mengikuti seleksi ASN semakin kecil.
Dampak sosialnya pun terasa di lingkungan keluarga. Ketika mendengar isu penghapusan tenaga honorer, banyak dari mereka yang cemas kehilangan penghasilan utama. Padahal sebagian besar dari mereka bekerja dengan gaji di bawah lima juta rupiah per bulan, tanpa tunjangan tetap.
Pemkot menyadari bahwa aspek kemanusiaan harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan program pendampingan sosial dan pelatihan keterampilan tambahan bagi tenaga yang tidak bisa diangkat menjadi ASN, agar mereka tetap memiliki peluang ekonomi di luar pemerintahan.
“Ketika status belum pasti, rasa cemas adalah hal yang manusiawi. Tapi pemerintah wajib memastikan harapan itu tetap hidup.”
Peran DPRD dan Dukungan Kebijakan Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar juga ikut turun tangan. Dalam beberapa rapat bersama Pemkot, DPRD meminta agar pemerintah tidak hanya fokus pada regulasi pusat, tetapi juga membuat kebijakan lokal yang memberi ruang kerja bagi tenaga non ASN yang tidak terakomodasi secara nasional.
Salah satu usulan yang mengemuka adalah pembentukan “Unit Pelayanan Pendukung” di tiap dinas, yang dikelola dengan anggaran khusus dari APBD. Unit ini nantinya bisa menampung tenaga administrasi dengan status kontrak yang lebih jelas dan mendapatkan fasilitas BPJS serta upah minimum yang sesuai standar.
Selain itu, DPRD mendorong agar pemerintah kota mengalokasikan anggaran pelatihan dan sertifikasi bagi tenaga administrasi non ASN, sehingga mereka memiliki kompetensi tambahan yang bisa diakui secara profesional.
“Peraturan bisa kaku, tapi hati kebijakan seharusnya tetap lentur untuk melindungi mereka yang telah lama mengabdi.”
Dukungan dari Organisasi Tenaga Honorer
Berbagai organisasi tenaga honorer di Makassar menyambut baik langkah pemerintah kota yang mulai menunjukkan perhatian serius terhadap nasib mereka. Mereka berharap agar kebijakan ini tidak berhenti di wacana, melainkan benar-benar menghasilkan keputusan yang berpihak kepada tenaga non ASN.
Beberapa perwakilan tenaga honorer juga telah melakukan audiensi langsung dengan BKPSDM dan wali kota, menyampaikan aspirasi agar pemerintah menunda pemutusan kontrak sebelum ada solusi konkret. Mereka menegaskan bahwa sebagian besar tenaga administrasi sudah lama bekerja tanpa fasilitas memadai, tetapi tetap menjalankan tugas dengan loyalitas tinggi.
“Yang kami butuhkan bukan belas kasihan, tapi pengakuan atas kerja keras yang sudah kami lakukan setiap hari.”
Inovasi dan Alternatif: Skema Kontrak Daerah
Salah satu ide yang kini tengah dikaji oleh Pemkot Makassar adalah penerapan skema kontrak daerah. Melalui sistem ini, tenaga non ASN bisa tetap bekerja di lingkungan pemerintahan dengan kontrak yang diatur oleh perda atau perwali, sehingga memiliki kepastian hukum.
Skema kontrak daerah memungkinkan pemerintah mengatur sendiri jangka waktu kerja, standar gaji, dan jaminan sosial tanpa harus melanggar ketentuan pusat. Model ini sudah mulai diterapkan di beberapa daerah lain dan mendapat hasil positif.
Dengan sistem ini, tenaga non ASN tidak akan kehilangan pekerjaan, dan pemerintah tetap dapat menjaga stabilitas pelayanan publik.
“Status boleh berubah, tapi pengabdian seharusnya tidak berakhir karena peraturan.”
Tantangan Regulasi dari Pemerintah Pusat
Meski Pemkot Makassar memiliki niat baik, pelaksanaannya tetap harus sesuai dengan regulasi nasional. Pemerintah pusat melalui Kementerian PANRB menegaskan bahwa mulai 2025 tidak ada lagi status tenaga honorer di instansi pemerintah. Semua pegawai harus berstatus ASN atau PPPK.
Namun kenyataannya, banyak daerah yang belum siap karena jumlah tenaga honorer jauh lebih besar daripada formasi yang tersedia. Oleh karena itu, banyak pemerintah daerah termasuk Makassar yang mendesak agar kebijakan ini direvisi atau diberi masa transisi tambahan.
Pemkot Makassar bersama Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) berencana mengusulkan agar tenaga non ASN yang memiliki masa kerja panjang bisa diakomodasi dalam skema khusus tanpa harus melalui seleksi yang berat.
“Kebijakan nasional yang baik adalah yang tidak hanya tertib di atas kertas, tetapi juga adil di lapangan.”
Harapan Tenaga Non ASN dan Masa Depan Mereka
Bagi ribuan tenaga administrasi non ASN di Makassar, harapan mereka sederhana: tetap bisa bekerja, tetap bisa menghidupi keluarga, dan mendapatkan kepastian status. Mereka berharap pemerintah tidak mengorbankan nasib para pekerja loyal hanya karena penyesuaian kebijakan pusat.
Sebagian dari mereka masih optimis bahwa perjuangan panjang ini akan membuahkan hasil. Mereka percaya, selama pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan dan memperjuangkan aspirasi mereka di tingkat nasional, peluang untuk mendapatkan solusi yang adil masih terbuka lebar.
Pemkot Makassar pun berjanji akan terus mengawal isu ini hingga ada kepastian hukum dari pemerintah pusat.






