Rektor Nobel Indonesia Resmikan Event HM TO Fest Suasana aula utama Universitas Nobel Indonesia berubah riuh sejak pagi. Panggung berornamen geometris, instalasi lampu yang ditata seperti kisi kisi kota modern, dan aneka stan mahasiswa yang sudah sibuk sejak subuh memberi sinyal bahwa kampus bersiap menggelar perayaan ide dan karya. Rektor Nobel Indonesia menabuh gong peresmian HM TO Fest, sebuah event tahunan mahasiswa yang dirancang sebagai panggung lintas disiplin untuk teknologi, wirausaha, seni pertunjukan, dan program pengabdian. Tepuk tangan meledak, kamera ponsel terangkat, dan barisan panitia berpelukan cepat sebelum kembali ke pos masing masing.
“Festival kampus yang baik bukan sekadar ramai. Ia harus membuat mahasiswa pulang dengan bekal keterampilan baru dan jaringan yang semakin luas.”
Panggung Kolaborasi yang Dibangun Sejak Pra Acara
Peresmian hari ini merupakan puncak dari kerja kolaboratif berbulan bulan. Panitia HM TO Fest merancang rangkaian pra acara agar ekosistemnya matang sebelum lampu panggung dinyalakan. Di ruang inkubasi, tim kewirausahaan menggelar klinik rencana bisnis mingguan. Di studio kreatif, mentor desain membantu peserta menyempurnakan identitas visual produk. Sementara itu, tim teknologi menguji sensor IoT dan aplikasi sederhana yang bakal dipamerkan, dari penghitung antrean otomatis sampai papan informasi interaktif untuk pergerakan pengunjung.
Pendekatan “pemanasan panjang, festival padat” ini membuat HM TO Fest terasa bukan kegiatan musiman. Ia lebih mirip siklus kerja yang menghasilkan pameran besar sebagai etalase, sementara proses belajar berlangsung kontinu dari satu bimbingan ke bimbingan lain. Ketika gong ditabuh, yang berdiri di panggung bukan sekadar panitia dan bintang tamu, melainkan ekosistem karya yang siap diuji oleh publik.
Rektor Membuka, Visi Disampaikan Tanpa Basa Basi
Dalam pidato pembukaan, rektor menautkan HM TO Fest dengan tiga fokus universitas setahun ke depan. Literasi digital yang humanis, kewirausahaan berbasis data, dan pengabdian masyarakat yang terukur dampaknya. Ia mengajak mahasiswa menempatkan festival sebagai laboratorium hidup tempat hipotesis diuji, bukan sekadar panggung konten. Seruan itu disambut yel yel organisasi kemahasiswaan yang memadati tribun. Pada saat yang sama, pimpinan fakultas mencatat poin demi poin untuk ditautkan ke kalender akademik dan program magang.
“Gong mudah ditabuh, ritme setelahnya yang menuntut stamina. Kualitas festival diukur dari apa yang berubah di kelas dan komunitas setelah lampu dimatikan.”
Apa Itu HM TO Fest dan Mengapa Ia Penting
Nama HM TO Fest lahir dari tradisi panjang himpunan mahasiswa yang berangkat dari semangat “hands on”. HM untuk himpunan mahasiswa sebagai motor penggerak, TO sebagai “tech and operation” yang menekankan praktik dan eksekusi. Formatnya hibrida, memadukan konferensi mini, bazar UMKM mahasiswa, pameran proyek teknologi, kompetisi ide, sesi konser dan teater, serta program klinik karier. Ini bukan sekadar pesta kampus. Dalam satu area, pengunjung bisa mencoba purwarupa alat, menghadiri lokakarya pitch deck, mencicipi minuman herbal rancangan mahasiswa gizi, lalu berakhir di sesi temu mentor industri yang membuka peluang magang.
Fungsi gandanya jelas. Bagi mahasiswa, ini medan uji yang aman namun menantang. Bagi mitra industri dan komunitas, HM TO Fest adalah jendela untuk memindai talenta dan solusi segar. Bagi publik, ia menjadi ruang bertemu ilmu, hiburan, dan produk lokal.
Denah Festival yang Berbasis Data Pengunjung
Panitia menyusun denah dengan pendekatan arus pengunjung satu arah yang lembut. Zona eksperimen teknologi ditempatkan di dekat pintu masuk agar pengunjung langsung tertarik dengan instalasi interaktif. Zona wirausaha kuliner dan craft bergeser ke tengah, sedangkan panggung pertunjukan ditaruh di sisi belakang untuk mencegah kepadatan di koridor. Pengunjung memindai QR saat masuk, menerima peta digital, dan mendapat rekomendasi rute berdasar kepadatan real time.
Ketika sore tiba dan arus meningkat, tim operasi memindahkan dua stan “pop up” ke area samping untuk meredakan antrean. Fleksibilitas ini hanya mungkin karena data pengunjung direkam rapi. Festival belajar dari dirinya sendiri selagi berjalan.
“Pengelolaan massa yang baik adalah seni menebak keinginan sebelum diminta. Data membantu kita berempati lebih cepat.”
Panggung Teknologi, Dari IoT Sederhana Sampai AI yang Membumi
Di koridor teknologi, mata pengunjung disambut sensor yang menyalakan maket lampu jalan saat simulasi gerimis. Di meja lain, tim mahasiswa memperagakan sistem antrian cerdas untuk klinik kampus yang memotong waktu tunggu dengan algoritma prioritas sederhana. Ada pula chatbot layanan akademik yang dirancang menjawab pertanyaan administratif dasar selama 24 jam, sehingga staf kemahasiswaan bisa fokus pada kasus yang butuh sentuhan manusia.
Meski menyebut kecerdasan buatan, panitia menekankan bahasa yang membumi. Mereka tidak mengejar istilah bombastis. Mereka menunjukkan manfaat langsung. Seorang orang tua mahasiswa mencoba chatbot dan tersenyum ketika sistem memberi panduan pengajuan keringanan UKT tanpa harus mengantre di loket. Momen kecil semacam inilah yang memperlihatkan arah festival, canggih yang terasa dekat.
UMKM Mahasiswa, Rasa Lokal dalam Kemasan Global
Zona UMKM mahasiswa memamerkan produk yang kurasinya ketat. Kopi dingin berbasis cold brew disandingkan dengan sirup rempah hasil riset kecil di laboratorium pangan. Keripik sayur diproduksi dengan teknik pengeringan yang memelihara nutrisi, bukan sekadar kerenyahan. Di sudut craft, aksesori dari kain perca tampil elegan karena desainnya disusun bareng mentor mode.
Transaksi tercatat lewat sistem kasir bersama, sehingga panitia bisa memberi laporan penjualan pasca event kepada tiap tenant. Model “kasir kolektif” ini memudahkan mahasiswa yang baru mencoba berjualan, sekaligus memudahkan festival mengukur kategori produk yang paling diminati untuk kurasi tahun depan.
“Ketika produk lokal dikemas dengan rapi, kita tidak lagi meminta orang membeli karena kasihan, tetapi karena memang pantas.”
Kompetisi Ide dan Ruang Presentasi yang Ramah
HM TO Fest menyajikan kompetisi ide dengan format tiga menit presentasi dan tujuh menit tanya jawab. Juri merangkai campuran dosen, pelaku industri, dan alumni yang pernah memulai bisnis. Kriteria bukan hanya keunikan gagasan, tetapi rencana eksekusi, model pendapatan, dan dampak sosial. Peserta yang gugup tidak dibiarkan sendiri. Panitia menyiapkan mentor “last mile” di ruang tunggu, membantu mengecek slide, melatih kalimat pembuka, dan menenangkan napas.
Penonton menikmati sesi ini karena juri memberi umpan balik yang spesifik. Tidak ada kritik yang mematahkan, yang ada adalah peta jalan perbaikan. Bagi peserta yang belum siap, panitia membuka jalur “inkubasi lanjutan” pasca festival, memastikan kompetisi bukan gerbang buntu.
Persilangan Seni dan Ilmu, Panggung Malam yang Tak Sekadar Konser
Menjelang malam, panggung HM TO Fest berubah menjadi ruang pertemuan seni, sains, dan humor. Teater mahasiswa menampilkan lakon pendek tentang etika digital yang disisipi pantomim dan tata cahaya sederhana namun efektif. Pertunjukan ini membuka jalan bagi musisi kampus yang berkolaborasi dengan paduan suara membawakan medley lagu daerah dan pop alternatif. Selipan narasi “cerdas berinternet” dibawakan dengan gaya stand up yang tidak menggurui.
Penonton bertahan hingga akhir karena alur pertunjukan disusun berlapis. Hiburan bukan jeda dari pembelajaran, melainkan cara lain untuk memantulkan gagasan.
“Pengetahuan menyerap lebih cepat ketika ia datang bersama musik dan tawa.”
Keamanan, Kesehatan, dan Aksesibilitas yang Diperhitungkan
Panitia menempatkan kesehatan dan keselamatan sebagai indikator utama. Tiga pos P3K berjaga di titik strategis, petugas keamanan brief setiap dua jam, dan jalur evakuasi diberi penanda menyala yang terlihat meski area gelap. Kursi roda disediakan di gerbang, sementara pemandu sukarela mendampingi pengunjung difabel dari awal hingga pulang. Kios makanan wajib mencantumkan bahan alergi umum, dan area merokok dipisahkan jelas agar keluarga dengan anak kecil merasa tenang.
Semua ini bukan hiasan protokol. Ia terbukti ketika seorang pengunjung tersenggol dan terkilir. Petugas datang kurang dari dua menit, memberikan kompres, dan mengantar ke ruang tenang. Festival tetap ramai, namun rasa aman tidak pernah dilepas.
Hijau Bukan Slogan, Tapi Praktik
HM TO Fest meneken komitmen “minim sampah” yang dipantau harian. Botol minum isi ulang bisa diisi gratis, tenant makanan wajib memakai kemasan yang mudah terurai, dan tim lingkungan hidup menimbang sampah di akhir hari untuk melihat kategori yang masih mendominasi. Data itu dipamerkan di layar dekat panggung sebagai cermin bersama. Ternyata, sisa tisu masih tinggi, sehingga panitia besoknya membagikan serbet kain ke beberapa meja makan.
Gerakan kecil ini membuat pengunjung merasa menjadi bagian dari perbaikan, bukan obyek sosialisasi. Ketika mereka melihat grafik sampah organik menurun di hari kedua, tepuk tangan spontan pecah, memindahkan gagasan “festival hijau” dari poster ke perilaku.
“Perubahan iklim mungkin terasa jauh, tetapi keputusan kita memilih kemasan hari ini ada di genggaman.”
Jejaring Alumni dan Industri, Dari Sesi Formal ke Obrolan Kopi
Salah satu magnet HM TO Fest adalah kehadiran alumni yang kini berkarya di berbagai sektor. Setelah sesi formal talkshow berakhir, mereka tidak langsung meninggalkan area. Meja kopi menjadi ruang diskusi yang lebih cair. Mahasiswa bisa bertanya soal jalur karier, cara membangun portofolio, atau tip melewati wawancara. Beberapa alumni dari perusahaan rintisan membuka registrasi magang singkat untuk proyek tertentu, membuktikan bahwa festival bisa menjadi pintu masuk karier yang nyata.
Mitra industri melihat talenta secara langsung, bukan dari CV yang kaku. Mereka menyaksikan bagaimana mahasiswa mempresentasikan produk, menanggapi kritik, dan memperbaiki di tempat. Interaksi ini sulit tergantikan oleh proses rekrutmen pada umumnya.
Program Pengabdian yang Lahir dari Festival
HM TO Fest tidak melupakan peran sosial kampus. Di salah satu tenda, tim pengabdian meluncurkan program literasi keuangan mikro untuk pedagang sekitar kampus. Modulnya sederhana, pembukuan satu halaman, strategi stok bahan, dan teknik promosi digital. Peserta datang berombongan, sebagian membawa anak kecil yang kemudian diarahkan panitia ke ruang bermain.
Di sesi lain, tim kesehatan menggulirkan pemeriksaan tekanan darah dan konsultasi gizi singkat. Pendekatan “bawa kampus ke lingkungan” ini menumbuhkan kedekatan. Warga bukan sekadar penonton, tetapi mitra yang ikut menikmati nilai tambah festival.
“Kampus yang baik mengundang tetangganya masuk, duduk, belajar, lalu pulang dengan sesuatu yang bisa langsung dipakai.”
Dokumentasi dan Data Pasca Event yang Serius
Kekuatan HM TO Fest ada pada dokumentasi yang rapi. Setiap stan memiliki kode, setiap transaksi dan interaksi penting dicatat ringkas. Tim riset kecil mengekstrak pelajaran harian. Produk apa yang paling diminati, sesi mana yang paling penuh, jam berapa pengunjung memuncak, dan keluhan apa yang berulang. Laporan ini akan menjadi harta karun untuk panitia tahun depan dan dasar perbaikan program studi yang relevan.
Rektor meminta agar ringkasan data dipublikasikan secara terbuka. Transparansi ini membuat festival menjadi contoh praktik baik akuntabilitas di lingkungan kampus. Ketika publik melihat angka, mereka mengerti skala kerja di balik gegap gempita.
Seratus Jam Pertama Setelah Gong
Begitu festival dibuka, panitia menandai “seratus jam pertama” sebagai fase krusial. Di periode ini, ritme kerja diuji. Rapat harian berlangsung singkat di pagi hari, hanya berisi tiga hal, apa yang berjalan baik, apa yang macet, dan siapa yang menyelesaikan apa. Sore hari, tim teknis melakukan inspeksi rute evakuasi dan kabel listrik, memastikan tak ada titik rawan. Malam, tim konten merilis rangkuman hari dengan sorotan karya agar peserta lain terdorong tampil lebih siap.
Ritme padat namun terukur itu menjaga stamina festival. Panitia tidak terseret euforia, pengisi acara tidak tersesat, pengunjung mendapat pengalaman yang konsisten dari hari ke hari.
“Event besar adalah maraton yang disusun dari sprint pendek. Kuncinya adalah bernapas dengan benar di setiap belokan.”
Wajah Wajah di Balik Panggung
Tidak adil jika hanya panggung yang disorot. Ada tim yang bekerja tanpa terlihat. Tim logistik yang mengatur pergerakan perlengkapan, tim kebersihan yang bergerak sebelum matahari terbit, tim keuangan yang menghitung pemasukan dan pengeluaran dengan mata elang, serta tim desain yang merapikan aset visual agar semua terlihat seragam dan profesional. Mereka adalah denyut yang menjaga festival berdiri tegak.
Di ruang kecil belakang panggung, papan tulis dipenuhi coretan. Jadwal pengisi acara, daftar kebutuhan listrik, dan catatan singkat “ingat minum” untuk mengingatkan kru agar tidak lupa merawat diri. Detail kecil yang manusiawi ini sering menentukan bagaimana sebuah event bertahan melewati puncak keramaian.
Narasi yang Melampaui Tembok Kampus
HM TO Fest sengaja membuka diri pada publik. Sekolah menengah, komunitas kreatif, dan warga sekitar diajak datang tanpa rasa canggung. Anak anak mencoret di dinding ekspresi, remaja bertanya tentang beasiswa, pedagang kecil mengintip teknik foto produk. Narasi festival melampaui tembok. Kampus bukan menara gading. Kampus adalah ruang bersama yang merayakan ilmu dan kebersamaan.
Di pintu keluar, relawan membagikan lembar umpan balik yang ringkas. Tiga pertanyaan sederhana, apa yang paling kamu suka, apa yang paling ingin diperbaiki, dan apa yang akan kamu ceritakan kepada teman tentang HM TO Fest. Jawaban jawaban itu berliku, jujur, dan kadang lucu. Tetapi di situlah festival menemukan cermin terbaiknya.
“Keberhasilan event terlihat dari cerita yang dibawa pulang, bukan dari kembang api di langit malam.”
Energi yang Menyebar ke Kelas dan Laboratorium
Usai peresmian, dampak HM TO Fest merambat ke kelas. Dosen mengubah tugas akhir menjadi proyek yang bisa dipamerkan di hari ketiga. Laboratorium membuka slot konsultasi tambahan. Pusat karier menambah jadwal simulasi wawancara. Bank mitra datang menawari kelas singkat literasi keuangan. Semua bergerak seirama seperti orkestra yang telah latihan lama menunggu konduktor mengangkat baton.
Mahasiswa yang awalnya datang sebagai penonton, besok mendaftar jadi relawan. Mereka melihat bahwa di balik poster dan lampu, ada ruang belajar yang nyata. HM TO Fest menjanjikan rasa bangga yang jarang hadir di kegiatan seremonial biasa, rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.






