Ribuan Warga Manggala Bangkit Melawan Mafia Tanah: “Merdeka atau Mati!”

Ribuan warga Perumahan Gubernur dan Perumahan Pemda di Kelurahan Manggala, Kota Makassar, menggelar aksi unjuk rasa di depan Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) Makassar, Minggu (18/5/2025).

Radarmakassar.co.id – Ribuan warga Perumahan Gubernur dan Perumahan Pemda di Kelurahan Manggala, Kota Makassar, menggelar aksi unjuk rasa di depan Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) Makassar, Minggu (18/5/2025).

Mereka menyuarakan penolakan hukum karena tempat tinggal yang selama ini mereka beli dan tempati secara sah terancam tergusur, hanya karena sebuah dokumen hukum warisan kolonial Belanda yang tiba-tiba “hidup kembali” di pengadilan.

Ketua Forum Warga, Sadaruddin mengatakan, persoalannya bermula dari munculnya gugatan sengketa tanah atas dasar Eigendom Verponding Nomor 12 Tahun 1838, yang diklaim sebagai bukti kepemilikan sah oleh pihak penggugat.

Padahal, tanah tersebut sebelumnya adalah tanah negara yang telah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan telah dibangun serta dijual sebagai rumah untuk Aparatur Sipil negara (ASN) oleh pemerintah.

Namun dalam perkembangan terbaru, kasus ini justru dimenangkan oleh pihak penggugat di tingkat banding Pengadilan Tinggi Makassar. Sebelumnya para penggugat kalah di Pengadilan Negeri. Kini, warga yang sebelumnya tidak digugat justru merasa menjadi korban utama dari keputusan hukum yang mereka anggap janggal dan tidak berpihak.

Merespons situasi ini, warga pun bersatu membentuk Forum Warga Bersatu Perumahan Gubernur & Pemda Manggala. Mereka mengeluarkan pernyataan sikap menolak praktik mafia tanah, intimidasi, dan proses hukum yang menyimpang.

“Kami menolak hukum penjajahan di negeri merdeka!” tegas Sadaruddin, saat membacakan sikap resmi forum.

Ia menyebut penggunaan Eigendom Verponding sebagai bentuk kemunduran hukum dan ancaman terhadap kedaulatan tanah rakyat Indonesia.

Dalam pernyataan sikap tersebut, warga menyampaikan delapan tuntutan yang menjadi poin utama. Yaitu, menolak hukum kolonial Belanda (Eigendom Verponding) yang sudah tidak relevan di era kemerdekaan, menolak peradilan sesat yang diduga dikendalikan oleh mafia tanah dan mafia hukum, mendesak Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk bertindak tegas membongkar jaringan mafia tanah dan menghukum berat pelakunya.

Kemudian, menuntut tanggung jawab Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar untuk menjaga aset negara yang kini dihuni oleh ASN dan masyarakat, menolak segala bentuk premanisme dan intimidasi yang mulai muncul di kawasan tersebut, mengajak seluruh warga untuk bersatu dan solid memperjuangkan hak-haknya, menuntut pembongkaran jaringan mafia hukum yang terlibat dalam sengketa ini, serta mendesak penindakan pemalsuan dokumen yang digunakan untuk menggugat tanah yang sudah lama dihuni warga.

“Perjuangan ini akan terus dikawal secara damai, konstitusional, namun dengan sikap tegas,” Sadaruddin menegaskan.

Sengketa lahan bermula dari gugatan yang diajukan oleh Samla Dg Simba dan Magdallena De Munnik terhadap berbagai lembaga negara, mulai dari Kementerian ATR/BPN, Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, hingga PDAM dan dua koperasi ASN.

Gugatan ini tercatat di Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor perkara 15/Pdt.G/2024/PN.MKS. Pada tingkat pertama, gugatan ini ditolak oleh majelis hakim. Namun Magdallena De Munnik mengajukan banding dan justru menang di Pengadilan Tinggi Makassar.

Namun, pemerintah pusat dan daerah pun tidak tinggal diam. Saat ini, upaya kasasi ke Mahkamah Agung sedang berjalan.

Tak ingin haknya dirampas begitu saja, ribuan warga melakukan unjuk rasa di lokasi sengketa. Mereka menolak putusan banding dan menduga adanya banyak kejanggalan dalam proses hukum.

“Warga memang tidak digugat langsung, tapi kami yang akan merasakan dampaknya kalau putusan itu diterapkan. Ini rumah kami, tempat tinggal keluarga kami,” kata seorang warga saat demo.

Setelah aksi di perumahan, warga juga berencana akan menggelar unjuk rasa di Kantor BPN Makassar, Pengadilan Tinggi Makassar, dan DPRD Sulawesi Selatan.

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Pasalnya, tidak hanya ribuan rumah warga yang akan terkena dampak tetapi juga sejumlah bangunan seperti Kampus STIBA, 5 bangunan masjid, 2 Pamsimas, jaringan pipa PDAM Makassar, 2 pesantren, 1 sekolah SMA, Posyandu, 2 Taman Pendidikan Anak (TPA), 1500 unit rumah warga hingga Gedung BKPRMI Sulsel.

Atas masalah ini, Forum Warga juga mendesak pemerintah untuk tidak berdiam diri. Mereka meminta Gubernur Sulsel dan Wali Kota Makassar turun tangan langsung serta memastikan perlindungan terhadap hak warga yang sah.

Mereka juga meminta penyidikan terhadap dugaan pemalsuan dokumen yang digunakan untuk mengklaim lahan. Serta audit terhadap proses penerbitan gugatan berdasarkan dokumen kolonial. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *