Ribuan Warga Manggala Bangkit Melawan Mafia Tanah, Merdeka atau Mati

Ribuan Warga Manggala Bangkit Melawan Mafia Tanah, Merdeka atau Mati Awan tipis menggantung rendah ketika arus manusia mengalir dari gang gang sempit menuju lapangan tanah di jantung Kecamatan Manggala. Spanduk berwarna putih dan kain kafan simbolis terbentang di ujung kerumunan. Anak anak duduk di pundak ayahnya, para ibu membawa botol air dan payung, sementara para sesepuh berdiri di barisan depan dengan mata tajam yang menolak mundur. Mereka datang membawa satu tuntutan yang disuarakan lantang sejak pengeras suara pertama menyala, hentikan perampasan tanah warga, kembalikan hak atas ruang hidup, merdeka atau mati.

“Di atas tanah ini kami lahir, menikah, menanam pohon, dan memakamkan orang tua. Jika tanah ini dihapus, di mana sejarah kami akan berdiri.”

Gelombang Perlawanan yang Tersusun, Bukan Sekadar Ledakan Emosi

Hari itu bukan sekadar unjuk rasa spontan. Di balik sorak dan nyanyian ada struktur yang disusun berbulan bulan. Forum warga lintas RT menautkan jaringan WhatsApp, posko informasi di mushala, hingga tim dokumentasi yang mengumpulkan salinan surat tanah, kuitansi lama, denah kavling, dan peta batas kebun. Koordinator lapangan menyebut ada lebih dari seribu warga yang hadir bergantian, sebagian menjaga rumah dan lansia, sebagian lain menjadi negosiator di garis depan. Aksi dibuat bergelombang agar roda ekonomi kecil tidak mati total, warung tetap buka, bengkel tetap menerima pelanggan, namun pesan sampai sekuat mungkin.

Di sisi panggung kecil, relawan hukum menyiapkan meja registrasi untuk menampung kronologi tiap keluarga. Mereka meminta warga menulis tahun kedatangan, bukti jual beli, saksi tua kampung, dan titik koordinat lahan. Data itu kelak menjadi amunisi di meja mediasi hingga ruang sidang. Strategi ini menandai bahwa perlawanan tidak akan berhenti di jalanan, melainkan disalurkan ke kanal legal yang tersedia.

Latar Belakang Sengketa, Saat Kertas Mengalahkan Jejak Hidup

Sengketa mencuat setelah warga menerima kabar bahwa sebagian lahan di Manggala masuk dalam klaim kepemilikan oleh pihak yang disebut sebut memiliki dokumen kuat. Klaim itu menyebut adanya sertifikat lama dan atau hak atas tanah skala besar yang mencakup wilayah tempat warga sudah tinggal puluhan tahun. Di lapangan, warga memegang girik, petok D, akta jual beli di bawah tangan yang dulu lazim di kampung kampung pinggiran, atau sporadik yang pernah diajukan namun tak kunjung bersertifikat. Ketika peta digital diperbarui, garis garis batas yang dulu cair tiba tiba berubah kaku, masuk ke layer yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Sebagian warga memang pendatang yang mengubah rawa menjadi kebun, lalu kebun menjadi kampung. Mereka membayar pajak bumi dan bangunan, memasang listrik legal, menyalurkan air, dan mengurus KTP dengan alamat yang sama bertahun tahun. Mereka bertanya, bagaimana mungkin semua tanda tanda hidup itu kalah oleh satu berkas yang datang terlambat dan tidak pernah dikonfirmasikan ke masyarakat yang menempati?

“Kami tidak anti pembangunan. Kami hanya menolak dipindahkan dari peta seperti noda yang dihapus penghapus.”

Hari Aksi, Rute Damai dan Tata Tertib Warga

Aksi dimulai dengan doa lintas iman. Usai itu, barisan bergerak menyusuri jalan utama menuju kantor kecamatan untuk menyerahkan mosi warga. Rute sengaja dipilih menghindari rumah sakit, sekolah, dan ruas yang rawan macet panjang. Tim keamanan warga membentuk pagar betis di sisi kiri kanan barisan, menjaga agar tidak ada provokasi. Pedagang kaki lima diberi ruang di luar koridor jalan, karena dari awal komite menekankan bahwa aksi tidak boleh memukul perut orang kecil lain yang juga mencari nafkah.

Di tengah jalan, orator menjelaskan tiga tuntutan inti. Pertama, hentikan segala bentuk intimidasi dan pemasangan patok di atas lahan yang masih dalam sengketa. Kedua, buka data pertanahan secara transparan kepada warga, termasuk peta bidang, riwayat keluasan, dan dasar hukumnya. Ketiga, moratorium pengalihan kepemilikan sampai selesai audit partisipatif yang melibatkan warga sebagai pihak yang berkepentingan.

Intimidasi Halus dan Kasus Kasus Kecil yang Membakar Emosi

Selama beberapa bulan, warga mencatat kejadian kecil yang menumpuk menjadi bara. Ada yang mendapati patok baru muncul di kebun belakang setelah subuh, ada yang didatangi orang tidak dikenal menanyakan kesediaan pindah dengan iming iming uang pengganti, bahkan ada yang diminta membuka pagar karena petugas akan mengukur tanpa surat resmi. Di sisi lain, isu isu menyeberang dari warung ke warung, menyebar cepat karena cemas. Pengurus RT yang kebingungan meminta pegangan, sementara sebagian aparat wilayah meminta warga bersabar menunggu jawaban dari instansi pertanahan.

Cerita cerita kecil itu akhirnya menjadi bahan pidato orator. Mereka mengingatkan bahwa ketenteraman warga adalah kewajiban negara. Pengukuran resmi harus tertera surat tugasnya, dialog harus tercatat, dan warga tidak boleh dihadapkan pada pilihan diam atau berurusan dengan orang orang yang identitasnya tidak jelas.

“Ketika aturan tidak hadir di pagar rumah warga, rumor akan mengambil alih. Dan rumor adalah bensin paling murah bagi amarah.”

Geliat Dukungan, Dari Kampus hingga Rumah Ibadah

Aksi tidak berdiri sendiri. Mahasiswa dari beberapa kampus datang membawa kajian cepat soal tipologi sengketa lahan perkotaan, dampak sosial penggusuran, dan mekanisme penyelesaian yang adil. Mereka meminjamkan pengeras suara cadangan, mengajarkan warga cara memotret patok dengan koordinat GPS ponsel, dan membantu membuat peta partisipatif yang menandai rumah, kebun, dan fasilitas umum.

Rumah ibadah membuka posko air minum dan makanan ringan, relawan kesehatan berada di titik titik yang disepakati, menyediakan perban, oralit, dan masker. Guru guru PAUD menenangkan anak anak yang ikut orang tua, menggelar permainan sederhana agar suasana tidak menegangkan. Lanskap ini memperlihatkan bahwa solidaritas bukan sekadar kata. Ia menjadi sistem sosial darurat yang bergerak ketika warga merasa rumahnya ditantang.

Serba Serbi Hukum, Hak Atas Tanah dan Kerumitan Administrasi

Di tenda pendampingan, relawan hukum menjelaskan jalur yang tersedia. Bila ada tumpang tindih klaim, Badan Pertanahan setempat dapat dimintai gelar perkara untuk memeriksa asal usul sertifikat, keabsahan penerbitan, dan kesesuaian peta bidang. Warga yang memegang bukti lama didorong mengajukan keberatan resmi disertai dokumen. Jika sengketa merembes ke ranah pidana, seperti dugaan pemalsuan dokumen atau penyerobotan, jalur pelaporan dibuka.

Pada saat yang sama, ada ruang non litigasi yang tidak kalah penting. Mediasi yang transparan, menghadirkan semua pihak setara, dapat mencegah kerusakan sosial yang panjang. Namun relawan mengingatkan, mediasi yang baik harus menempatkan batas batas tegas, tidak mengaburkan status lahan yang sudah ditempati puluhan tahun oleh warga yang membayar pajak dan diakui secara adminduk.

“Hukum yang adil tidak hanya bertanya siapa pegang kertas paling baru, melainkan siapa yang menanggung hidup paling lama di atas tanah itu.”

Sejarah Sunyi di Balik Peta, Dari Rawa ke Kampung

Sesepuh Manggala naik ke panggung membawa peta kertas yang ujungnya mulai rapuh. Ia bercerita bagaimana kawasan itu dulu berupa kebun campur dan rawa. Mereka datang membersihkan, membuat pematang, menanam pisang, singkong, dan pepaya. Jalan setapak yang kini jadi jalan lingkungan dulu hanya garis lumpur yang diperkeras gotong royong. Uang iuran warga membiayai lampu pertama di tikungan, donasi bersama membangun pos ronda.

Cerita ini bukan romantisasi kemiskinan. Ia reminder bahwa nilai tanah bukan angka murni dari rumus valuasi properti, melainkan hasil kerja komunal yang panjang. Menepikan sejarah itu sama saja menepikan akal sehat bahwa kota berdiri di atas kerja tak terlihat banyak orang.

Ekonomi Kecil yang Dipertaruhkan

Sengketa tidak hanya mengusik emosi, tetapi juga arus uang keluarga. Banyak rumah di Manggala yang merangkap tempat usaha, dari warung sembako sampai bengkel kecil. Sertidakpastian batas membuat rencana renovasi tertahan, pinjaman usaha sulit cair karena agunan bersengketa, bahkan beberapa pemasok menunda pengantaran karena khawatir usaha tutup mendadak bila terjadi pengosongan paksa. Di ujung lain, generasi muda yang sedang menabung untuk memperluas rumah memilih menahan diri.

Warga menyadari bahwa perlawanan panjang akan menguras tenaga. Maka posko logistik dikelola transparan. Daftar donasi ditempel saban sore, pengeluaran dicatat rinci, dan prioritas disepakati bersama, mulai dari makanan relawan hingga biaya fotokopi berkas. Disiplin kecil ini menjaga api tetap menyala tanpa membakar diri sendiri.

Perempuan di Garda Depan, Narasi yang Sering Terlupakan

Di tengah teriakan slogan, suara perempuan menembus mikrofon. Mereka menceritakan bagaimana ketakutan mulai sejak subuh ketika truk tak dikenal parkir di ujung gang, bagaimana anak anak bertanya apakah besok mereka masih bisa sekolah dari rumah yang sama, bagaimana kasur baru dibeli dari hasil arisan dan upah lembur kini terasa ringkih jika genteng diganti langit terbuka. Perempuan bukan pelengkap keramaian. Mereka penyusun logistik, penenang anak, dan pengingat agar perlawanan tetap berwajah manusia.

Komite perempuan mengajukan syarat yang harus ada di tiap pertemuan resmi, ruang ramah anak, akses toilet yang layak, dan prioritas informasi yang bisa dipahami ibu ibu tanpa istilah hukum berbelit. Ketika perlawanan diurus dengan lensa ini, ia menjadi lebih tahan lama dan inklusif.

“Kami bukan penonton. Kami yang akan membereskan rumah setelah Anda pulang dari rapat. Libatkan kami dari awal atau Anda akan kehilangan setengah kekuatan.”

Pemerintah Daerah di Persimpangan Jalan

Pejabat wilayah yang datang menyapa masa aksi disambut tepuk tangan sopan dan daftar pertanyaan yang panjang. Mereka berjanji menyampaikan aspirasi warga, membantu menjembatani dialog dengan instansi pertanahan, dan menjaga agar tidak terjadi tindakan di lapangan sebelum meja mediasi berjalan. Komite warga mengapresiasi, namun menegaskan ingin melihat jadwal, bukan sekadar niat. Mereka meminta waktu pasti gelar perkara, siapa pihak yang diundang, dan bagaimana warga bisa menempatkan saksi sejarah dalam forum resmi.

Di titik ini, pemerintah daerah diuji. Netralitas yang aktif diperlukan, bukan netralitas yang pasif. Artinya, tidak memihak pada klaim mana pun, tetapi memihak pada proses yang terang benderang, setara, dan akuntabel.

Teknologi Warga, Peta Partisipatif dan Bukti Digital

Di tenda sebelah panggung, layar ponsel memperlihatkan peta yang disusun warga. Jalan, parit, rumah, dan pohon besar ditandai oleh relawan yang berkeliling membawa GPS ponsel. Mereka memotret patok yang baru muncul, memberi label tanggal temuan, serta menyimpan koordinat dan foto ke penyimpanan awan bersama. Peta ini bukan pengganti peta resmi, namun menjadi catatan awal yang tajam ketika dipadankan dengan peta bidang pertanahan.

Dokumentasi juga menyasar dokumen hidup, kuitansi pembelian tanah di masa lalu, foto keluarga di depan rumah yang sama puluhan tahun lalu, dan surat keterangan domisili lama yang masih disimpan rapi. Narasi digital ini menjadi penyangga saat warga harus bercerita berulang ulang di forum resmi.

Mengelola Emosi Massa, Menolak Kekerasan sebagai Jalan Pintas

Ketika aksi membesar, risiko gesekan meningkat. Komite pengamanan warga menyiapkan kode isyarat sederhana untuk menenangkan barisan ketika dorongan terjadi. Satu tiupan peluit berarti barisan merapat, dua tiupan meminta semua duduk. Mereka menolak provokasi, karena kekerasan akan memindahkan fokus dari substansi tuntutan ke keributan yang mudah dipelintir. Dengan disiplin ini, aksi tetap menjadi panggung bermartabat yang mengajak orang berpikir, bukan arena adu gengsi.

“Keberanian bukan berkelahi di jalan. Keberanian adalah menahan diri agar akal sehat tetap memimpin langkah.”

Jalan Panjang Advokasi, Dari Meja Mediasi ke Ruang Sidang

Komite warga menyiapkan dua jalur paralel. Jalur pertama adalah mediasi resmi yang menuntut keterbukaan data pertanahan, pembekuan sementara aktivitas pematokan, dan audit dokumen. Jalur kedua adalah persiapan gugatan perdata apabila mediasi menemui jalan buntu, dilengkapi bukti tertulis, saksi, dan ahli. Mereka juga membuka kemungkinan pengaduan pidana jika ditemukan unsur pemalsuan dokumen atau penyalahgunaan kewenangan.

Kunci semua jalur ini ada pada stamina kolektif. Aksi besar hari ini harus diikuti kerja kecil yang tekun besok, lusa, dan pekan pekan berikutnya. Warga menata jadwal piket posko, pembagian tugas dokumentasi, dan sistem informasi satu pintu agar pesan tidak simpang siur.

Anak Muda dan Bahasa Kreatif yang Menggaungkan Pesan

Di sisi lapangan, mural spontan lahir di bentangan kain putih. Gambar peta kampung, sungai kecil yang membelah kebun, dan siluet keluarga di depan rumah. Musik akustik mengisi jeda orasi, puisi pendek dibacakan dalam dua bahasa, menautkan tradisi lokal dengan semangat modern. Anak anak muda merekam dengan kamera sederhana, mengedit cepat, dan menyebarkannya ke media sosial agar pesan tidak tenggelam oleh arus isu nasional.

Kreativitas ini bukan pemanis. Ia bahasa generasi yang akan mewarisi tanah itu atau kehilangan jejaknya. Dengan karya, mereka menjawab sinis yang menyebut anak muda apatis. Di panggung ini, suara mereka selaras dengan suara para tetua.

Menakar Harapan, Menjaga Nyala hingga Terasa Hasilnya

Ketika matahari condong, barisan perlahan bubar. Sampah dikumpulkan, spanduk digulung, dan ambulans relawan yang sedari pagi siaga kembali ke posko. Esoknya aktivitas harian menunggu, pasar pagi, sekolah, bengkel, dan kerja di gudang. Namun sesuatu telah berubah. Jaringan warga kini lebih rapat, data lebih siap, dan nyali lebih terarah. Mereka tahu bahwa jalan di depan panjang, berisi surat menyurat yang melelahkan dan rapat yang kadang tak menyenangkan. Namun mereka juga tahu bahwa diam bukan pilihan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *