Temu Kader Gerindra Sulsel, Muzani dan AIA Gaungkan Prabowo Dua Periode

Nasional35 Views

Temu Kader Gerindra Sulsel, Muzani dan AIA Gaungkan Prabowo Dua Periode Ruang pertemuan di pusat kota Makassar sore itu penuh sesak oleh jaket partai, bendera kecil, dan wajah wajah yang bersemangat. Di atas panggung, lampu putih memantulkan kilau pada backdrop besar yang menegaskan tema acara. Temu kader Gerindra Sulawesi Selatan. Musik penyemangat mengalun singkat, lalu bergeser ke hening saat Sekjen Gerindra Ahmad Muzani melangkah ke podium bersama tokoh Sulsel Andi Iwan Darmawan Aras atau yang akrab disebut AIA. Gerindra Sulsel Dari baris terdepan sampai sisi paling belakang, seruan yang sama merambat seperti ombak. Prabowo dua periode. Seruan itu tidak sekadar yel yel, melainkan penanda arah energi politik yang tengah berusaha disolidkan dari Makassar ke kabupaten kabupaten.

“Di politik, seruan paling nyaring bukan datang dari pengeras suara, tetapi dari rasa bahwa para kader merasa diajak berjalan bersama.”

Denyut Panggung dan Bahasa Tubuh Para Tokoh

Suasananya bukan kampanye akbar, namun aura mobilisasi terasa nyata. Rangkaian layar LED menampilkan montase kerja pemerintahan dan potret kegiatan kader di tingkat akar rumput. Ketika Muzani naik panggung, ia tidak langsung bicara soal target dan angka. Ia memulai dari sapaan sapaan personal, menyebut beberapa nama penggerak kecamatan, menghafal titik geografi yang membuat hadirin merasa diperhatikan. AIA mengambil giliran dengan nada yang lebih datar tetapi tegas. Keduanya saling melengkapi. Yang satu menarik simpati, yang lain mengunci pesan organisasi.

Bahasa tubuh menjadi elemen tersendiri. Muzani sering mencondongkan tubuh, seolah ingin menyingkat jarak dengan hadirin di baris belakang. AIA mengangkat telapak tangan setiap kali menekankan kata kerja. Bangun, rapikan, jaga. Isyarat itu sederhana, namun efektif menyalakan semangat di ruangan yang dipenuhi penggerak partai dari lintas generasi.

“Dua Periode” sebagai Seruan, Bukan Sekadar Slogan

Seruan dua periode bergema beberapa kali. Dalam konteks internal kader, ini dibaca sebagai ajakan menjaga kesinambungan agenda pemerintahan dan konsolidasi mesin politik sejak dini. Bagi kader akar rumput, narasi kesinambungan membuat kerja lapangan terasa mempunyai horizon yang jelas. Mereka diajak melihat pemilu bukan sebagai peristiwa sesaat, melainkan rangkaian target bertahap dari penguatan struktur, pemeliharaan basis, hingga pengawalan program pemerintah di wilayah masing masing.

Di sisi lain, seruan ini punya implikasi moral yang tidak kecil. Ia menuntut kader menunjukkan capaian konkret yang bisa dirasakan warga. Jalan yang lebih baik, layanan publik yang lebih cepat, ruang usaha yang lebih ramah. Tanpa itu, dua periode akan terdengar sebagai gema tanpa isi. Di forum seperti ini, tuntutan agar mesin politik bertransformasi menjadi mesin kerja menjadi tema penting yang berulang di banyak pidato.

“Slogan hanya bernilai jika ada bukti kecil yang bisa disentuh warga di dekat rumahnya.”

Strategi Sulawesi Selatan sebagai Poros Konsolidasi

Sulawesi Selatan secara tradisional dipandang sebagai salah satu poros penting peta elektoral. Kombinasi populasi, karakter pemilih yang aktif berdialog, serta jaringan komunitas diaspora yang kuat menjadikan wilayah ini relevan jauh melampaui batas administratifnya. Karena itu, temu kader di Makassar diposisikan sebagai gong pembuka yang pantulannya ingin terdengar sampai ke Luwu Raya, Toraja, Bone, Bulukumba, hingga Selayar.

Usai sesi utama, tim organisasi memaparkan matriks kerja yang rapi. Setiap DPC membawa peta wilayah dengan penandaan TPS prioritas, daftar relawan inti, serta agenda temu warga bulanan. Cara memetakan kerja seperti ini menunjukkan penekanan pada disiplin organisasi. Mereka bergerak dari narasi ke matriks, dari pidato ke jadwal, dari semangat ke formulir tindakan.

Menjahit Jaringan Komunitas, Dari Pasar hingga Kampus

Kelebihan pertemuan kader yang matang adalah bagaimana ia memetakan kanal kanal nonpartai untuk menyebarkan pesan. Di Sulsel, pasar tradisional dan komunitas kampus sering menjadi ruang diskusi yang hidup. Kader ditugaskan merawat dialog di dua ruang itu dengan pendekatan yang berbeda. Di pasar, bahasa yang dipakai adalah harga bahan pokok, biaya transport, dan urusan administrasi sederhana. Di kampus, perbincangan bergerak ke isu masa depan kerja, teknologi, dan ruang berkarya.

Dalam breakout session yang lebih kecil, beberapa penggerak perempuan memaparkan bagaimana mereka mengubah pertemuan arisan menjadi ruang edukasi kebijakan publik, misalnya cara mengakses layanan kesehatan atau beasiswa. Di sisi lain, sayap pemuda menyusun jadwal kegiatan olahraga sore sebagai jembatan membicarakan isu isu yang kerap terasa jauh bila disampaikan di forum formal. Politik menjadi percakapan wajar, bukan interupsi yang memecah suasana.

“Jaringan terbaik adalah yang tumbuh dari kebiasaan warga, bukan yang hadir dadakan saat kampanye.”

Figur AIA dan Jembatan Makassar–Daerah

AIA mengambil porsi khusus dalam temu kader ini. Selain statusnya sebagai tokoh Sulsel, ia dilihat sebagai jembatan antara Makassar dan kabupaten. Dalam sesi dialog, ia tidak memakai bahasa janji, melainkan bahasa operasional. Penugasan jelas, tenggat wajar, dan tolok ukur yang bisa diverifikasi. Pendekatan ini mendapatkan respons positif karena memberi arah konkret bagi penggerak yang terbiasa bekerja di lapangan.

Ia juga menekankan pentingnya menghindari kompetisi internal yang menguras energi. Dalam pengalamannya, yang membuat target meleset bukan lawan dari luar, melainkan friksi yang dibiarkan tumbuh di dalam. Para pengurus PAC dan ranting diminta memelihara ruang obrolan yang sehat, memastikan keluhan cepat diurai sebelum menjadi resistensi.

Sekjen Ahmad Muzani dan Nada Koherensi

Jika AIA menekankan dialektika tugas wilayah, Muzani mengikatnya menjadi koherensi nasional. Ia menempatkan Sulsel sebagai pelapak besar yang memamerkan tiga hal kepada provinsi lain. Kedisiplinan laporan, kekompakan narasi, dan ketepatan bergerak. Ia menyebutkan bahwa sistem politik modern menuntut organisasi bergerak seperti orkestra. Semua instrumen terdengar, tetapi tidak saling menenggelamkan.

Pada beberapa bagian pidato, Muzani mendorong kader untuk mempraktikkan politik yang menyejukkan. Sulsel punya sejarah panjang perjumpaan budaya. Menjaga kesantunan menjadi modal penting agar energi organisasi tidak dihabiskan untuk menjawab gesekan di ruang digital. Fokus diarahkan kembali ke rumah rumah warga, ke kegiatan komunitas, ke layanan yang membuat kehadiran kader terasa bermanfaat.

“Koherensi bukan berarti seragam. Koherensi adalah ketika semua bergerak dalam nada yang saling melengkapi.”

Konten Pesan: Dari Makro ke Mikro

Materi yang disebarkan pascapertemuan memperlihatkan modul pesan berlapis. Pada lapis makro, ditekankan narasi kesinambungan stabilitas, penguatan layanan publik, dan keberlanjutan program kerakyatan. Lapis menengah mengajak kader menerjemahkan narasi makro ke isu lokal, misalnya penguatan pasar rakyat di Bone atau pengembangan wisata desa di Toraja. Lapis mikro adalah ranah cerita personal. Bagaimana program tertentu membantu pedagang kecil mengakses pembiayaan, bagaimana perbaikan jalan lingkungan menurunkan ongkos harian, atau bagaimana pelatihan digital membuka pasar baru untuk pengrajin.

Struktur berlapis ini dimaksudkan agar pesan tidak berhenti di poster. Ia harus menjadi cerita yang dapat diceritakan ulang oleh warga, karena mereka merasakannya langsung. Tanpa lapis mikro, politik akan terasa jauh. Dengan lapis mikro, politik kembali menjadi obrolan di beranda rumah.

Mesin Relawan dan Etika Lapangan

Satu sesi yang menarik adalah pembahasan etika relawan. Tim hukum internal mengingatkan bahwa kontestasi yang sehat menuntut disiplin pada aturan kampanye, kehati hatian pada disinformasi, dan ketegasan menolak praktik praktik yang merusak kepercayaan publik. Mereka menekankan pentingnya literasi digital. Relawan diajak tidak hanya aktif menyebar pesan, tetapi juga andal memeriksa informasi, mengoreksi dengan santun, serta tidak terpancing provokasi.

Di wilayah yang kerap diramaikan konten viral, ketenangan menjadi mata uang langka. Tim relawan dibekali protokol respons. Siapa yang merespons, kapan, dan dengan data apa. Dengan begitu, energi terarah dan reputasi terjaga.

“Kemenangan yang paling panjang usianya lahir dari cara bertarung yang membuat lawan tetap dihormati.”

Logistik, Data, dan Ritme Kerja

Di balik gegap gempita seruan dua periode, ada pekerjaan yang lebih senyap namun kritis. Logistik dan data. Tim penyelenggara menayangkan jadwal pengiriman materi, SOP dokumentasi, serta tata kelola data simpatisan. Kita sering terpukau pada panggung, tetapi yang menentukan konsistensi adalah dapur. Distribusi materi, keandalan perangkat, dan keamanan basis data menjadi tiga sumbu yang dijaga ketat. Mereka menghindari jebakan euforia tanpa fondasi.

Ritme kerja disusun realistis. Alih alih memaksakan target harian yang melelahkan, setiap DPC diberi ruang menyusun ritme berdasarkan medan wilayah. Daerah pesisir, pegunungan, dan perkotaan jelas memerlukan pendekatan berbeda. Keragaman ini diakui, bukan dipaksa seragam.

Mengelola Perbedaan di Dalam Rumah Sendiri

Forum juga tidak menutup mata terhadap fakta politik yang cair. Di beberapa kecamatan, dukungan personal pada figur lokal bisa menimbulkan percampuran preferensi. Alih alih menentangnya, struktur justru memetakan dan meminimalkan gesekan. Prinsipnya sederhana. Perbedaan yang dikelola dengan adab akan menjadi energi tambahan. Perbedaan yang dibiarkan tanpa kanal akan menjadi kebisingan yang menggerogoti tenaganya sendiri.

Langkah langkah mediasi internal disosialisasikan, termasuk kanal pengaduan yang langsung diawasi pengurus provinsi. Tujuannya bukan mencari siapa yang salah, melainkan memadamkan api kecil sebelum menjadi besar.

Perspektif Pemilih Muda dan Bahasa Baru

Sulsel memiliki demografi pemilih muda yang signifikan. Untuk itu, unit komunikasi kreatif mengambil peran. Mereka menyiapkan bahasa baru yang menghindari jargon. Video pendek yang bercerita, infografik yang tidak menggurui, dan konten harian yang menyorot kerja nyata kader di kampung kampung. Mereka menghindari pola satu arah, memilih format QnA dan live singkat yang membuka ruang tanya jawab.

Bahasa baru ini penting agar politik tidak terasa kaku. Pemilih muda ingin diajak bicara, bukan disuruh mendengar. Mereka peduli pada isu peluang kerja, kualitas pendidikan, dan ruang berekspresi. Ketika pesan menyentuh tiga isu itu, keterlibatan tumbuh organik.

“Kepada anak muda, yang paling meyakinkan bukan wacana panjang, melainkan bukti pendek yang rutin.”

Mengikat Solidaritas Lintas Komunitas

Gerindra Sulsel memanfaatkan temu kader untuk mengikat jejaring lintas komunitas. Nelayan, petani, ojek daring, pelaku UMKM, sampai pegiat seni diundang dalam sesi tematik yang lebih kecil. Alih alih memonopoli panggung, pengurus banyak mendengar. Dari ruang dengar itu, daftar isu konkret muncul. Harga solar, akses pupuk, perlindungan sosial saat sepi order, tata kelola festival desa, sampai manajemen sampah di kawasan wisata.

Daftar itu bukan sekadar catatan. Ia diikat menjadi agenda tindak lanjut yang dibagikan kembali ke peserta. Dengan cara itu, temu kader bukan berhenti sebagai seremonial, tetapi menjadi mesin pengumpulan soal yang harus diselesaikan. Dua periode diartikulasikan bukan sebagai permintaan ke warga, melainkan sebagai tanggung jawab ke warga.

Wajah Acara di Luar Panggung Utama

Di lorong belakang aula, bazar kecil menampilkan produk UMKM binaan kader setempat. Kopi Toraja, abon tuna dari pesisir, rempah campur untuk minuman hangat, dan kain tenun dari pedalaman. Para pengunjung berhenti, mencicip, dan membeli. Politik bertemu ekonomi mikro. Di sisi lain, pojok layanan konsultasi hukum dan administrasi kependudukan dipadati warga yang kebetulan datang menjemput kerabat. Momentum politik disandingkan dengan manfaat praktis.

Pemandangan seperti ini menjelaskan alasan mengapa acara partai bisa tetap ramai meski di luar musim kampanye. Warga mencari manfaat langsung. Jika pulang membawa ilmu dan barang, mereka akan kembali pada pertemuan berikutnya.

“Acara yang baik memberi pulang dua hal sekaligus. Pengetahuan dan alasan untuk tersenyum.”

Catatan Etis dan Kerendahan Hati Politik

Di akhir sesi, moderator mengingatkan kembali etika kontestasi. Seruan dua periode sah sebagai ekspresi semangat kader. Namun semangat itu harus bergerak dalam pagar hukum, menghormati pilihan warga, dan mengakui bahwa kedaulatan ada di bilik suara. Kerendahan hati menjadi aksesoris yang tidak boleh ditinggalkan. Bahasa politik yang merangkul, bukan menghardik, akan memperpanjang usia kepercayaan.

Nada ini relevan terutama di era percakapan daring yang mudah memanas. Ketika elite mencontohkan kesejukan, barisan di bawah mendapatkan referensi perilaku. Politik tidak lagi dibayangkan sebagai gelanggang adu bentak, melainkan ruang kompetisi gagasan dan kerja nyata.

Setelah Lampu Padam, Pekerjaan Sebenarnya Dimulai

Seusai foto bersama, bangku bangku dilipat, dan musik penutup diperdengarkan, kader berbaris keluar dengan membawa map kecil berisi jadwal, lembar kontak, serta materi komunikasi. Di luar gedung, Makassar kembali pada ritmenya. Jalanan padat, pedagang kaki lima menata stan, langit senja menyala jingga.

Di pundak para kader, beban yang sebelumnya berupa yel yel kini berubah menjadi daftar kerja. Menjaga barisan, merawat jaringan, memastikan program berjalan, membuktikan manfaat di lingkungan masing masing. Seruan dua periode sudah diucapkan. Berikutnya yang diuji bukan pita suara, melainkan konsistensi tangan dan langkah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *