Data BPS: Maros Urutan ke-10 Daerah Termiskin di Sulawesi Selatan Tahun 2024

Ekonomi136 Views

Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan kembali membuka mata banyak pihak tentang ketimpangan ekonomi antarwilayah di provinsi yang dikenal sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia Timur ini. Dalam data tahun 2024, Kabupaten Maros tercatat berada di urutan ke-10 daerah termiskin di Sulawesi Selatan, sebuah fakta data BPS yang cukup mengejutkan mengingat kabupaten ini berdekatan langsung dengan Makassar dan dikenal sebagai daerah penyangga ibu kota provinsi tersebut.

Hasil survei data BPS ini bukan hanya angka statistik. Ia mencerminkan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks di lapangan kesenjangan pembangunan antara kawasan industri dan pedesaan, ketimpangan distribusi pendapatan, hingga persoalan lapangan kerja dan harga bahan pokok.

“Kadang kita terlalu fokus pada pembangunan fisik, tapi lupa bahwa kesejahteraan warga di desa-desa terpencil masih jauh dari harapan,”

Potret Ekonomi Sulawesi Selatan Tahun 2024

Sulawesi Selatan adalah provinsi dengan potensi ekonomi yang sangat besar. Dari sektor pertanian, perikanan, hingga pariwisata, daerah ini menyimpan sumber daya yang melimpah. Namun, potensi tersebut belum sepenuhnya mampu diolah menjadi kesejahteraan merata.

Berdasarkan data BPS Sulsel, tingkat kemiskinan provinsi ini pada Maret 2024 tercatat di angka 8,77 persen, mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pemerataan kesejahteraan masih menjadi tantangan besar, terutama bagi daerah-daerah di luar Makassar dan Gowa yang mengalami pertumbuhan pesat.

Dari 24 kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan, masih ada sejumlah daerah yang tergolong miskin berdasarkan tingkat pendapatan per kapita dan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar menurut data BPS. Maros, yang berada di posisi ke-10, menggambarkan bahwa kemajuan ekonomi tidak selalu identik dengan kesejahteraan sosial secara merata.

Maros di Urutan ke-10: Antara Pertumbuhan dan Ketimpangan

Data BPS mencatat, tingkat kemiskinan di Kabupaten Maros mencapai sekitar 9,45 persen dari total penduduk. Angka ini memang masih lebih baik dibandingkan beberapa kabupaten di wilayah utara seperti Jeneponto, Luwu Timur, dan Luwu Utara, namun cukup ironis jika melihat letaknya yang sangat dekat dengan pusat ekonomi Makassar.

Sebagian besar masyarakat miskin di Maros tinggal di daerah pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian dan perikanan tradisional. Data BPS, wilayah kota Maros mengalami kemajuan pesat dengan hadirnya kawasan industri dan pariwisata seperti Taman Nasional Bantimurung, manfaat pembangunan tersebut belum sepenuhnya dirasakan masyarakat bawah.

Kesenjangan antara pusat kota dan desa semakin terasa. Di satu sisi, muncul pusat perbelanjaan dan kawasan industri baru, sementara di sisi lain, petani dan nelayan masih berjuang menghadapi harga pasar yang tidak stabil.

“Maros ini seperti dua dunia yang berbeda: satu tumbuh cepat, satu tertinggal dalam diam,”

Kabupaten Termiskin di Sulawesi Selatan Tahun 2024 Menurut Data BPS

Berdasarkan laporan data BPS, berikut adalah daftar 10 kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan tahun 2024 berdasarkan persentase penduduk miskin:

  1. Kabupaten Jeneponto
  2. Kabupaten Luwu Utara
  3. Kabupaten Enrekang
  4. Kabupaten Luwu Timur
  5. Kabupaten Bulukumba
  6. Kabupaten Bone
  7. Kabupaten Wajo
  8. Kabupaten Tana Toraja
  9. Kabupaten Soppeng
  10. Kabupaten Maros

Dari daftar data BPS tersebut, terlihat bahwa sebagian besar kabupaten termiskin berada di wilayah tengah dan utara Sulawesi Selatan, yang masih bergantung pada sektor primer seperti pertanian dan perikanan tradisional. Meskipun beberapa wilayah sudah mulai mengembangkan industri kecil dan pariwisata, perputaran ekonominya masih lambat dan tidak merata.

Akar Persoalan: Ketimpangan Struktural dan Akses Ekonomi

Salah satu penyebab utama kemiskinan di kabupaten seperti Maros adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya dan kesempatan ekonomi. Banyak masyarakat di desa yang masih bergantung pada pekerjaan musiman tanpa jaminan pendapatan tetap.

Sementara di sektor industri, tenaga kerja lokal sering kali kalah bersaing dengan pekerja dari luar daerah yang memiliki keahlian lebih tinggi menurut data BPS. Kondisi ini membuat sebagian besar penduduk lokal tetap berada di lingkaran ekonomi informal.

Selain itu, akses terhadap pendidikan dan kesehatan di wilayah perdesaan Maros masih menjadi masalah klasik. Banyak anak muda yang terpaksa berhenti sekolah karena faktor ekonomi atau harus membantu keluarga di sawah dan tambak.

“Bukan tidak ada peluang di Maros, tapi belum semua orang punya akses untuk ikut tumbuh bersama peluang itu,”

Pengaruh Urbanisasi dan Ketergantungan pada Makassar

Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Makassar, Maros menjadi kawasan penyangga yang padat aktivitas ekonomi. Namun, efek urbanisasi justru menciptakan paradoks pertumbuhan kota yang cepat tidak selalu diikuti dengan pemerataan kesejahteraan.

Banyak warga Maros bekerja di Makassar sebagai buruh harian, sopir, atau tenaga jasa, namun penghasilan yang mereka bawa pulang sering kali tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga di kampung halaman menurut data BPS. Sementara itu, harga kebutuhan pokok terus meningkat seiring naiknya biaya hidup di wilayah perkotaan sekitar.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun Maros dekat secara geografis dengan pusat pertumbuhan, secara ekonomi masih banyak warganya yang tertinggal. Ketergantungan pada aktivitas ekonomi Makassar menjadikan Maros belum memiliki kekuatan ekonomi mandiri yang stabil menurut data BPS.

“Dekat dengan kota besar tidak otomatis membuat rakyatnya sejahtera. Kadang justru menciptakan ketimpangan baru,”

Pemerintah Daerah dan Upaya Penanggulangan

Menurut data BPS, pemerintah Kabupaten Maros sebenarnya telah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan, mulai dari bantuan langsung, subsidi pertanian, hingga program pemberdayaan UMKM. Namun, efektivitas program tersebut masih menjadi tantangan besar.

Beberapa program dianggap belum menyentuh akar masalah karena bersifat jangka pendek. Diperlukan kebijakan yang lebih berorientasi pada peningkatan produktivitas masyarakat, bukan hanya bantuan sosial semata.

Bupati Maros, dalam beberapa kesempatan, menyatakan bahwa pemerintah daerah berkomitmen menekan angka kemiskinan melalui peningkatan akses ekonomi desa dan pemberdayaan perempuan. Salah satu strategi yang tengah dikembangkan adalah mendorong pengolahan hasil pertanian dan perikanan agar memiliki nilai tambah lebih tinggi.

“Kita ingin masyarakat tidak hanya menjual bahan mentah, tapi bisa menghasilkan produk olahan yang bisa bersaing di pasar,” ujar Bupati dalam salah satu forum ekonomi daerah.

Namun, pengamat ekonomi menilai bahwa kebijakan tersebut membutuhkan dukungan serius dari pemerintah provinsi dan pusat, terutama dalam hal pembiayaan, pelatihan, dan akses pasar.

Tantangan Infrastruktur dan Digitalisasi

Salah satu masalah besar di kabupaten-kabupaten termiskin di Sulsel, termasuk Maros, adalah ketimpangan infrastruktur. Meskipun wilayah perkotaan Maros sudah berkembang, banyak desa masih kesulitan mengakses jalan yang layak dan jaringan internet yang stabil.

Hal ini menghambat kegiatan ekonomi masyarakat, terutama mereka yang ingin mengembangkan usaha berbasis digital atau memperluas pasar melalui media online. Di era ekonomi digital seperti sekarang, akses internet yang minim membuat warga desa tertinggal dari arus perdagangan modern.

Selain itu, konektivitas transportasi antarwilayah yang belum maksimal juga menyulitkan distribusi hasil pertanian dan perikanan ke pasar besar. Akibatnya, harga jual di tingkat petani dan nelayan tetap rendah, sementara biaya operasional terus meningkat.

“Kemiskinan tidak akan berkurang jika jalan ke pasar saja masih berlubang dan sinyal internet tak bisa diandalkan,”

Perspektif Sosial: Kemiskinan dan Martabat

Bagi masyarakat di pedesaan Sulawesi Selatan, kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal martabat. Banyak warga yang merasa enggan menerima bantuan sosial karena gengsi dan nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi kerja keras dan kemandirian.

Namun, di sisi lain, tanpa dukungan kebijakan yang berkelanjutan, mereka akan terus berhadapan dengan realitas yang sulit. Pola hidup sederhana sering kali menjadi pilihan, bukan karena keinginan, tetapi karena keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan layak.

Di beberapa desa di Maros bagian utara, misalnya, banyak keluarga yang hidup dari hasil pertanian tadah hujan. Ketika musim kemarau tiba, mereka harus mencari pekerjaan lain seperti buruh bangunan atau tukang ojek. Siklus kemiskinan pun terus berulang dari generasi ke generasi.

“Bagi sebagian orang, kemiskinan itu bukan hanya kurang uang, tapi kurang kesempatan untuk berubah,”

Potensi Ekonomi yang Belum Tergarap

Meski menghadapi tantangan besar, Maros dan beberapa kabupaten lain yang termasuk dalam daftar termiskin sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Di sektor pariwisata, misalnya, Maros dikenal dengan Bantimurung-Bulusaraung, yang sering disebut “The Kingdom of Butterflies”. Potensi ini bisa menjadi sumber ekonomi baru jika dikelola lebih baik dan melibatkan masyarakat lokal secara langsung.

Selain itu, sektor pertanian dan perikanan juga masih sangat potensial. Pengembangan industri kecil dan pengolahan produk lokal bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan pada sektor primer. Pemerintah daerah bersama perguruan tinggi di Makassar juga bisa berkolaborasi dalam program riset dan inovasi untuk membantu petani meningkatkan produktivitas.

Potensi tambang dan industri marmer yang dimiliki Maros juga bisa menjadi penopang ekonomi daerah, asalkan dikelola secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.

“Yang dibutuhkan bukan hanya investasi besar, tapi kebijakan yang memberdayakan warga lokal agar jadi bagian dari rantai ekonomi,”

Harapan untuk Pemerataan Pembangunan

Data BPS tentang kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan tahun 2024 seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak, bukan hanya pemerintah daerah tetapi juga masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Ketimpangan pembangunan antara kota dan desa perlu segera diatasi agar tidak menimbulkan jurang sosial yang semakin lebar.

Sulawesi Selatan, dengan kekayaan alam dan potensi manusianya, tidak seharusnya memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Diperlukan sinergi lintas sektor untuk memastikan setiap kabupaten, termasuk Maros, mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

“Pembangunan yang sejati bukan ketika kota makin terang, tapi ketika desa tak lagi gelap,”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *