Makassar malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Di bawah langit yang diterangi cahaya lampu merah putih, kader dan simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sulawesi Selatan berkumpul dalam suasana penuh haru. Mereka menggelar peringatan haul Bung Karno, sang proklamator bangsa, dengan tajuk “Doa untuk Bung Karno”, sebuah momen reflektif untuk mengenang jasa dan perjuangan sang bapak bangsa Indonesia.
Acara itu tidak sekadar ritual seremonial, tetapi menjadi ruang spiritual di mana semangat nasionalisme dan religiusitas bertemu dalam satu napas. Di tengah lantunan doa dan pembacaan tahlil, wajah-wajah penuh hormat menunduk mengenang sosok yang telah menginspirasi generasi demi generasi Ir. Soekarno.
“Bung Karno bukan hanya pemimpin politik, tapi juga jiwa bangsa yang terus hidup di dalam doa rakyatnya.”
Peringatan Haul Bung Karno di Makassar
Acara yang digelar di kantor DPD PDIP Sulsel itu berlangsung khidmat. Puluhan kader partai, simpatisan, serta masyarakat umum datang mengenakan pakaian dominan merah dan hitam, warna khas partai yang juga menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati.
Ketua DPD PDIP Sulsel membuka acara dengan sambutan penuh makna. Ia menyampaikan bahwa peringatan haul bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga pengingat akan tanggung jawab moral generasi sekarang untuk meneruskan cita-cita kemerdekaan.
Doa bersama dipimpin oleh ulama lokal yang membacakan tahlil dan surat Yasin. Setelahnya, hadirin mengheningkan cipta sambil memutar rekaman pidato yang menggema di seluruh ruangan. Suara beratnya yang lantang masih memberi getar semangat bagi mereka yang mendengarnya.
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” ujar suara Bung Karno dari pengeras suara, disambut tepuk tangan penuh haru dari para hadirin.
Soekarno dan Tradisi Berdoa
Bicara tentang Bung Karno tak bisa dilepaskan dari dimensi spiritualitasnya. Banyak orang mengenalnya sebagai orator ulung dan pemimpin revolusioner, namun tak semua tahu bahwa Soekarno juga dikenal sebagai sosok yang taat berdoa dan memiliki hubungan mendalam dengan nilai-nilai keislaman.
Sejak muda, tumbuh dalam lingkungan religius. Ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru agama, sedangkan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berasal dari keluarga Hindu Bali yang taat. Dari dua latar itu, Soekarno belajar menghormati semua agama dan menjadikan doa sebagai penuntun langkah hidupnya.
Dalam banyak kesempatan, Soekarno berdoa bagi bangsa. Ia percaya bahwa kekuatan spiritual adalah sumber utama keberanian dalam perjuangan. Dalam pidatonya di awal kemerdekaan, Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar bukan hanya karena senjatanya, tapi karena doa rakyatnya yang tulus.”
Ungkapan itu menggambarkan keyakinannya bahwa doa bukan sekadar ritual pribadi, tetapi kekuatan kolektif bangsa.
“Doa Bung Karno adalah bentuk cinta yang tak kasat mata. Ia memohon bukan untuk dirinya, tapi untuk Indonesia yang terus ia cintai.”
Makna Doa untuk Bung Karno di Bulan Penuh Keberkahan
Peringatan haul tahun ini terasa lebih istimewa karena bertepatan dengan bulan penuh makna bagi umat Islam. Bulan ini sering dimaknai sebagai waktu yang baik untuk berdoa dan memperkuat hubungan spiritual.
Dalam konteks itu, PDIP Sulsel menjadikan doa untuk Bung Karno bukan sekadar acara politik, melainkan momentum batin untuk merenungi perjalanan bangsa yang dibangun dari keringat, air mata, dan doa para pendahulu.
Bagi sebagian besar kader PDIP, Bung Karno bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan sosok yang terus hidup dalam nilai-nilai perjuangan. Setiap doa yang dibacakan malam itu seolah menjadi bentuk komunikasi antara masa kini dan masa lalu.
Seorang kader muda PDIP yang hadir mengatakan bahwa doa untuk Bung Karno adalah wujud rasa terima kasih generasi muda kepada sosok yang telah menanamkan nilai cinta tanah air.
“Kita berdoa bukan karena Bung Karno telah tiada, tapi karena semangatnya masih hidup di dada setiap anak bangsa.”
Doa sebagai Warisan Spiritual Bung Karno
Banyak catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Soekarno selalu memulai langkah besar dengan doa. Bahkan sebelum memproklamasikan kemerdekaan, ia bersama Hatta dan para tokoh lain sempat berdoa bersama agar perjuangan mereka diridai Tuhan.
Kebiasaannya itu terbawa hingga akhir hayat. Dalam catatan keluarga, Soekarno disebut sering menyendiri di malam hari, merenung dan berdoa untuk bangsa yang ia cintai. Ia memohon agar Indonesia tetap berdiri tegak dan tidak tercerai-berai oleh kepentingan pribadi.
Doa-doanya tidak hanya untuk kemenangan politik, tetapi untuk keadilan, kemakmuran, dan persatuan rakyat.
“Bung Karno percaya bahwa revolusi sejati bukan dimulai dari senjata, tapi dari hati yang berserah lewat doa.”
Pidato dan Doa yang Tak Terlupakan
Salah satu momen paling ikonik dari Bung Karno yang berkaitan dengan doa terjadi ketika ia berpidato di sidang PBB tahun 1960. Di hadapan dunia, ia dengan lantang mengutip ayat Al-Qur’an dan berbicara tentang perdamaian universal.
Pidato itu menunjukkan bahwa Soekarno tidak hanya berbicara dengan logika politik, tapi juga dengan hati yang penuh spiritualitas. Ia menggabungkan nasionalisme dan religiusitas dalam satu napas perjuangan.
Bagi banyak orang, doa Bung Karno tidak berhenti di masanya. Kata-katanya masih menjadi “doa abadi” yang terus hidup, terutama di tengah bangsa yang sedang berjuang melawan perpecahan dan ketidakadilan.
“Pidato Bung Karno bukan sekadar kalimat politik. Di dalamnya ada doa yang menjelma menjadi semangat kebangsaan.”
Haul Bung Karno sebagai Refleksi Kebangsaan
Acara doa untuk Bung Karno di Makassar juga menjadi ruang refleksi bagi seluruh kader PDIP. Mereka tidak hanya mengenang sosok Soekarno, tetapi juga mencoba memahami pesan moral yang ia wariskan.
Bung Karno mengajarkan bahwa politik tanpa nilai kemanusiaan akan kehilangan arah. Dalam konteks sekarang, pesan itu relevan di tengah tantangan politik praktis yang sering menjauh dari cita-cita rakyat.
Ketua panitia acara haul menyampaikan bahwa kegiatan seperti ini penting untuk menjaga semangat gotong royong dan nilai kebangsaan di tengah masyarakat. Ia berharap agar kegiatan ini menjadi tradisi tahunan yang terus dijaga, tidak hanya oleh PDIP, tetapi juga oleh masyarakat luas.
“Haul ini bukan ritual milik partai, tapi milik bangsa. Bung Karno adalah milik semua rakyat Indonesia.”
Keterlibatan Tokoh Agama dan Masyarakat
Menariknya, acara peringatan ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh lintas agama dan organisasi masyarakat. Mereka datang tidak sekadar untuk menghormati Bung Karno sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai simbol persatuan nasional.
Para tokoh agama menyampaikan bahwa Soekarno adalah teladan dalam menghargai perbedaan. Dalam setiap pidatonya, ia selalu menegaskan bahwa Indonesia dibangun di atas fondasi keberagaman yang harus dijaga dengan cinta dan doa.
Seorang ustaz yang memimpin doa malam itu mengatakan bahwa berdoa untuk Bung Karno adalah bentuk penghormatan kepada manusia yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk bangsa. Ia juga menekankan bahwa doa adalah bahasa universal yang menyatukan semua manusia, tanpa memandang agama dan ideologi.
“Doa itu lintas batas. Ketika kita mendoakan Bung Karno, sejatinya kita sedang mendoakan bangsa yang ia cintai.”
Soekarno dalam Ingatan Rakyat Sulawesi Selatan
Bung Karno memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan rakyat Sulawesi Selatan. Dalam beberapa kunjungan kenegaraan semasa hidupnya, ia selalu disambut hangat oleh masyarakat Makassar dan daerah sekitarnya.
Banyak warga yang masih mengingat cerita dari orang tua mereka tentang bagaimana Bung Karno berinteraksi dengan rakyat kecil. Ia dikenal rendah hati, sering menyalami warga tanpa sekat, dan selalu menegaskan pentingnya keadilan sosial.
Maka tidak heran jika haul Bung Karno di Sulsel selalu dipenuhi masyarakat lintas generasi. Dari kalangan tua yang dulu menyaksikan langsung pidatonya, hingga anak muda yang mengenalnya melalui buku sejarah dan potongan video di media sosial.
“Bung Karno bukan hanya bagian dari masa lalu Sulsel, tapi bagian dari jiwa rakyatnya yang cinta pada tanah air.”
Makna Spiritualitas dalam Politik
Dalam konteks lebih luas, doa untuk Bung Karno juga menjadi simbol pertemuan antara spiritualitas dan politik. Dua hal yang sering dianggap bertentangan, namun sejatinya bisa saling melengkapi.
Bung Karno membuktikan bahwa menjadi pemimpin politik tidak berarti harus menjauh dari nilai-nilai religius. Justru, dengan doa dan spiritualitas, seorang pemimpin dapat menjaga moral dan nurani dalam setiap keputusan.
PDIP Sulsel tampaknya ingin meneruskan semangat itu dengan menjadikan haul Bung Karno sebagai momentum introspeksi bagi kader dan pejabat publik.
Mereka diingatkan bahwa kekuasaan sejati bukan berasal dari jabatan, tetapi dari doa dan restu rakyat.
“Politik tanpa doa adalah ambisi. Tapi politik dengan doa adalah pengabdian.”
Suasana Malam yang Penuh Haru
Menjelang akhir acara, seluruh hadirin berdiri, menyalakan lilin merah putih, dan bersama-sama melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di antara suara itu, beberapa orang menitikkan air mata.
Malam itu, tidak ada perbedaan antara politisi, rakyat, atau ulama. Semua bersatu dalam doa untuk Bung Karno, doa untuk bangsa, dan doa untuk masa depan yang lebih baik.
Di sudut ruangan, terpampang foto besar Bung Karno sedang menengadahkan tangan — bukan dalam orasi, tapi dalam posisi berdoa. Gambar itu seakan mengingatkan semua yang hadir bahwa bahkan pemimpin besar pun tunduk di hadapan Tuhan.
Bagi mereka yang hadir malam itu, momen tersebut bukan hanya tentang mengenang, tetapi tentang menyadari betapa besar makna doa dalam perjalanan bangsa Indonesia.
“Ketika Bung Karno berdoa, ia sedang memohon agar kita tidak berhenti mencintai Indonesia dengan cara yang beradab.”
Warisan Abadi dalam Setiap Doa
Acara haul dan doa untuk Bung Karno di Makassar malam itu mungkin telah usai, tetapi gema semangatnya akan terus hidup. Doa-doa yang dipanjatkan bukan hanya untuk mengenang, melainkan untuk menyalakan kembali api perjuangan dan nasionalisme di hati setiap warga.
Bagi banyak orang, Bung Karno bukan hanya presiden pertama Indonesia, tetapi guru bangsa yang mengajarkan bagaimana berjuang dengan iman dan cinta.
Dalam setiap doa yang disebut malam itu, nama Soekarno bukan sekadar dikenang, tetapi dihidupkan kembali melalui semangat persatuan, gotong royong, dan keberanian yang ia wariskan.
“Doa untuk Bung Karno bukan hanya bentuk penghormatan, tapi peringatan bahwa bangsa ini lahir dari doa seorang pemimpin dan rakyatnya yang percaya pada keajaiban perjuangan.”






