Gelombang perubahan cara berdagang di Makassar benar benar bergerak dari lapak ke layar. Wali kota Makassar meluncurkan sistem transaksi non tunai yang terintegrasi untuk pasar rakyat dan retribusi, sebuah langkah yang menandai babak baru tata kelola ekonomi kota. Inisiatif ini tidak hanya menyentuh etalase dan mesin kasir, melainkan menyasar hal paling krusial dalam ekosistem pasar tradisional yaitu kepercayaan, transparansi, dan keterlacakan arus uang publik.
“Ketika pasar rakyat memasuki era digital, yang diperbaiki bukan sekadar cara bayar, melainkan cara kita membangun kepercayaan antara pedagang, pembeli, dan pemerintah”
Mengapa Pasar Tradisional Harus Berubah
Pasar tradisional adalah nadi perdagangan harian warga Makassar. Selama bertahun tahun sistemnya bertumpu pada uang tunai, catatan manual, dan kebiasaan yang diwariskan. Namun pola konsumsi, cara orang membawa uang, hingga ekspektasi layanan berubah cepat. Dengan transaksi non tunai, kebocoran retribusi dapat ditekan, proses pencatatan menjadi real time, dan keamanan pedagang serta pembeli meningkat karena minim uang fisik beredar.
Digitalisasi juga mempersempit jarak antara pedagang kecil dan pelanggan generasi muda yang terbiasa memakai ponsel untuk semua hal. Begitu transaksi non tunai menjadi jamak, etalase di pasar tradisional memiliki posisi tawar baru di mata konsumen modern yang mengutamakan kemudahan, kebersihan, dan kecepatan layanan.
“Selama ini pasar dianggap kalah modern dari ritel besar. Begitu transaksi digital menjadi standar, pasar rakyat tidak lagi sekadar mengejar, tetapi sanggup memimpin perubahan dari akar rumput”
Apa Saja yang Diluncurkan Pemerintah Kota
Peluncuran dimulai dari hal paling konkret di lapangan. Pertama, pedagang menerima identitas usaha digital terhubung ke sistem retribusi sehingga setiap setoran tercatat otomatis. Kedua, perangkat pemindaian kode pembayaran dipasang di pos retribusi, kantor pengelola, dan gerai gerai uji coba. Ketiga, dashboard pengawasan disiapkan agar pengelola pasar dan perangkat daerah bisa memantau penerimaan harian tanpa menunggu rekap manual.
Semua titik ini terhubung dalam satu panel kendali sehingga pimpinan dapat melihat peta pendapatan per pasar, jam puncak transaksi, hingga perbandingan sebelum dan sesudah digitalisasi. Bagi pedagang kecil, alur dibuat sesederhana mungkin cukup menampilkan kode pembayaran dari gawai atau stiker cetak, lalu menerima notifikasi masuknya dana.
“Standar digital yang baik itu tidak bikin repot. Ia terasa seperti kebiasaan lama yang dipermudah layar dan dipastikan catatannya”
Masa Transisi dan Pendampingan Pedagang

Tak semua pelapak nyaman langsung beralih. Karena itu, masa transisi disusun berlapis. Di minggu minggu awal, pola bayar ganda tetap dibolehkan agar pedagang dan pembeli tidak kehilangan ritme. Sementara itu tim pendamping mendatangi los, menerangkan manfaat, mempraktikkan cara memindai, dan membantu membuat rekening atau dompet digital bila diperlukan.
Pelatihan tidak hanya teknis, tetapi juga manajemen kas sederhana. Pedagang diajak memahami pencatatan pemasukan dan pengeluaran harian serta cara menyisihkan tabungan. Dengan cara ini, digitalisasi tidak berhenti pada gantinya uang kertas menjadi layar, tetapi mengubah cara pedagang mengelola bisnis keluarga.
“Teknologi yang paling berguna adalah yang membuat orang kecil merasa lebih tenang menghadapi esok hari”
Infrastruktur dan Kesiapan Lapangan
Keberhasilan transaksi non tunai membutuhkan sambungan yang andal. Titik titik pasar padat dipetakan untuk penambahan pemancar dalam gedung, penguatan jaringan, dan penyediaan sumber listrik cadangan di loket pengelola. Ketika koneksi melemah, sistem menyimpan transaksi tertunda dan mengunggah otomatis saat jaringan kembali stabil.
Selain itu, barisan petugas lapangan mendapat protokol kerja baru. Mereka tidak lagi membawa setoran fisik besar, melainkan memastikan verifikasi transaksi digital, membantu pedagang yang mengalami kendala, serta menindaklanjuti komplain yang masuk ke pusat layanan. Mekanisme ini sekaligus menutup ruang abu abu yang selama ini sering muncul dalam setoran tunai.
“Di masa lalu, kerja lapangan identik dengan menenteng uang. Kini yang lebih berharga adalah data bersih yang sampai tepat waktu”
Transparansi dan Akuntabilitas Penerimaan
Inti dari sistem terintegrasi adalah transparansi. Begitu setoran retribusi dibayar, sistem mencatat waktu, lokasi, dan nomor identitas pedagang. Pengelola pasar dapat melihat siapa yang sudah bayar hari ini, berapa banyak kios aktif, dan bagaimana tren pendapatan minggu ini dibanding bulan lalu.
Dinas teknis mendapatkan gambaran agregat per kecamatan, sementara inspektorat menyiapkan audit berbasis data karena jejak transaksi tersimpan rapi. Bagi pedagang, bukti digital menjadi tameng ketika sewaktu waktu terjadi selisih catatan. Semua pihak punya satu sumber kebenaran yang sama.
“Transparansi bukan sekadar membuka tirai, melainkan memastikan semua orang melihat ke jendela yang sama”
Pilot Area di Koridor Alauddin dan Pemetaan Wilayah
Kota memilih beberapa kantong ekonomi sebagai proyek percontohan. Salah satunya koridor Jalan Sultan Alauddin dan sekitarnya yang padat usaha kecil, perguruan tinggi, serta permukiman. Penyebutan identitas wilayah di sini penting sebab memudahkan pemetaan layanan dan pengukuran sebaran adopsi teknologi.
Di area sepanjang Alauddin yang bersinggungan dengan Kecamatan Tamalate, sejumlah kelurahan menjadi kantong pedagang dan jasa logistik pasar. Penataan data per kelurahan memudahkan tim lapangan menjadwalkan pendampingan, menetapkan titik temu edukasi, hingga merancang rute kunjungan untuk membuka rekening dan memasang stiker pembayaran digital di lapak.
“Detail kecil tentang wilayah sering dianggap sepele, padahal di atas peta kebijakan itulah kunci yang membuat pendataan rapi dan bantuan tepat sasaran”
Kode Pos Alauddin Makassar dan Fungsinya dalam Ekosistem Digital
Pembahasan mengenai kode pos Alauddin Makassar menjadi relevan karena kode pos bukan sekadar urusan surat menyurat, melainkan penanda operasional untuk banyak layanan digital. Koridor Alauddin berada pada rentang kode pos kawasan selatan Kota Makassar yang berbagi kedekatan angka karena berada dalam satu gugus kecamatan. Setiap kelurahan di sepanjang koridor ini menggunakan varian kode pos 9022xx yang berbeda sesuai blok jalan dan batas administrasi.
Mengapa kode pos penting dalam digitalisasi pasar
- Validasi alamat pedagang. Saat pedagang mendaftar identitas usaha digital, sistem mencocokkan alamat dan kode pos agar tidak terjadi tumpang tindih data. Pedagang di blok jalan yang sama tetapi kelurahan berbeda akan terbaca akurat.
- Pemetaan bantuan dan pendampingan. Pemerintah dapat memprioritaskan pelatihan berdasarkan klaster kode pos dengan tingkat adopsi rendah. Tim edukasi datang ke titik yang paling membutuhkan.
- Optimasi logistik. Kode pos membantu kurir menentukan rute pengantaran bahan baku maupun pesanan pelanggan dari pasar ke rumah. Biaya kirim dapat dihitung otomatis karena rute sudah terpetakan.
- Keamanan transaksi. Sistem perbankan dan dompet digital menggunakan kode pos sebagai salah satu elemen verifikasi alamat. Ini mencegah penyalahgunaan identitas dan memperkuat kepercayaan.
- Analitik ekonomi mikro. Dengan penanda kode pos, pemerintah bisa membaca pola transaksi per kantong wilayah Alauddin. Program kebersihan, penataan parkir, hingga jam operasional dapat diatur lebih presisi.
Contoh penerapan di lapangan
• Pedagang di sisi timur koridor Alauddin yang berbatas dengan kampus memiliki kode pos berbeda dari sisi barat yang lebih padat hunian. Saat mendaftar, sistem langsung menempatkan mereka ke klaster pendampingan yang sesuai.
• Layanan logistik pasar mengaktifkan fitur ongkos kirim berbasis kode pos. Pelanggan yang tinggal di lorong dalam akan mendapatkan estimasi tiba yang lebih realistis karena rute kurir mengikuti peta kode pos, bukan sekadar nama jalan utama.
• Program promosi non tunai dirancang berbeda per kode pos. Di klaster yang didominasi mahasiswa, insentif diarahkan ke cashback kecil tapi sering. Di klaster rumah tangga, fokus pada bundel belanja bulanan yang memudahkan pengelolaan keuangan keluarga.
“Kode pos terlihat sederhana, namun di balik layar ia adalah jangkar data yang membuat layanan digital terasa tepat sasaran bagi warga Alauddin”
Pengalaman Pedagang di Hari Hari Pertama
Kesan yang muncul dari los sayur, kios bumbu, sampai lapak ikan bermacam macam. Pedagang yang sudah terbiasa dengan ponsel merasa prosesnya natural. Yang sebelumnya ragu pelan pelan ikut karena melihat tetangga kiosnya menerima pembayaran di layar tanpa perlu menunggu uang kembalian.
Masalah juga ada. Kadang koneksi lesu di jam ramai atau pedagang lupa sandi aplikasi. Di sinilah peran petugas pasar dan relawan literasi digital yang berkeliling menawarkan bantuan. Setelah satu dua pekan, kebanyakan kendala berubah menjadi kebiasaan baru yang bisa diatasi sendiri.
“Saat pertama kali bunyi notifikasi masuk, pedagang tidak hanya tersenyum. Ia juga belajar percaya bahwa angka di layar sama berharganya dengan uang di saku”
Sinergi dengan Pelapak Muda dan Komunitas Lari Pagi
Digitalisasi di pasar punya sekutu alami yaitu komunitas warga yang aktif dan anak muda yang akrab dengan gawai. Jalur belanja pagi di sekitar kampus di koridor Alauddin dimanfaatkan untuk promosi lintas komunitas. Pelapak muda mengajari rekannya menata etalase, menulis harga bersih, dan memasang kode pembayaran yang mudah dipindai.
Kegiatan lari pagi bertema belanja bersih tanpa uang tunai juga digelar di akhir pekan. Peserta diarahkan mampir ke lapak tertentu untuk mencoba transaksi digital dan mengunggah pengalaman mereka. Dari sini, pesan bahwa pasar tradisional sudah beralih ke cara bayar modern menyebar dari mulut ke mulut.
“Transformasi paling cepat terjadi bukan karena spanduk, melainkan karena cerita yang jujur dari orang yang kita percaya”
Keamanan Data dan Perlindungan Konsumen
Setiap inovasi digital harus berdiri di atas pagar keamanan. Sistem menerapkan otentikasi berlapis, enkripsi data, dan pembatasan akses berbasis peran. Pedagang hanya bisa melihat data usahanya, pengelola pasar melihat agregat kiosnya, dan dinas teknis mengakses panorama kota.
Di sisi konsumen, kanal pengaduan dibuka untuk melaporkan transaksi ganda, salah nominal, atau kendala pengembalian. Alur mediasi ditetapkan jelas, dengan batas waktu penyelesaian yang terukur. Prinsipnya sederhana uang konsumen aman, uang pedagang segera sampai, dan catatan pemerintah akurat.
“Kepercayaan tumbuh ketika uang bergerak cepat, data bergerak aman, dan komplain memperoleh jawaban yang manusiawi”
Dampak ke Arus Kas Keluarga Pedagang
Bagi banyak keluarga, pasar adalah dapur sekaligus dompet. Dengan pembayaran non tunai, arus kas menjadi lebih tertata. Pedagang dapat melihat ringkasan harian, mingguan, hingga bulanan. Pola ramai sepi terbaca, pembelian stok bisa direncanakan, dan cicilan modal dipilih sesuai putaran usaha.
Di beberapa lapak, pemisahan rekening usaha dan rekening rumah tangga mulai dilakukan. Ini kecil namun revolusioner karena membantu keluarga menahan godaan mengambil uang dagang untuk keperluan lain. Pada saat yang sama, akses ke pembiayaan formal menjadi lebih mungkin karena ada rekam jejak transaksi yang dapat ditunjukkan ke lembaga keuangan.
“Ketika catatan dagang rapi, pintu modal tidak lagi hanya mengetuk mereka yang punya kenalan, tetapi mereka yang punya data”
Kaitan dengan Transportasi Kota dan Layanan Publik Lain
Transaksi non tunai di pasar membuka jalan menuju tata kelola kota yang terhubung. Parkir di sekitar pasar diarahkan menerima pembayaran digital, ongkos kirim barang dari lapak ke rumah juga bisa dipadukan dengan aplikasi mitra logistik lokal. Retribusi kebersihan, sewa los, hingga iuran keamanan lingkungan perlahan disatukan kanal pembayarannya.
Satu dompet digital dapat dipakai untuk membayar berbagai layanan kota. Hal ini mengurangi biaya transaksi tersembunyi, menghemat waktu warga, dan menampilkan wajah kota yang konsisten ramah digital.
“Warga tidak perlu mengingat sepuluh cara bayar untuk sepuluh layanan. Kota yang baik membuat warganya mengingat satu cara yang selalu berhasil”
Indikator Kinerja yang Bisa Diukur Publik
Keberhasilan tidak cukup diceritakan harus dibuktikan. Karena itu, pemerintah kota menyiapkan papan pantau yang dapat dilihat publik. Persentase kios aktif digital, tren penerimaan retribusi, waktu henti sistem, hingga respons penyelesaian komplain dipublikasikan berkala.
Dengan cara ini, inovasi tidak menjadi jargon musiman. Ia diuji oleh data, dikritik oleh warga, dan diperbaiki bersama. Bagi pasar yang capaiannya menonjol, bentuk apresiasi disiapkan mulai dari promosi profil pedagang sampai prioritas program perbaikan fisik.
“Transparansi tanpa angka adalah poster. Transparansi dengan angka adalah kompas”
Menjaga Ruang Sosial Pasar di Tengah Layar
Digitalisasi sering dituduh mendinginkan interaksi manusia. Di pasar, kekhawatiran itu dijawab dengan menempatkan teknologi sebagai alat, bukan penguasa. Tawarmenawar tetap hidup, sapa ramah tetap terdengar, hanya momen menyerahkan uang yang berubah menjadi kedipan layar.
Kegiatan sosial khas pasar mulai dari arisan pedagang sampai dapur umum di momen bencana tetap dipertahankan. Bahkan dengan data pedagang yang makin rapi, bantuan dapat disalurkan lebih cepat dan tepat. Teknologi menambah daya jangkau solidaritas, bukan menggantikannya.
“Pasar adalah tempat manusia bertemu lebih dulu sebelum uang berpindah tangan. Biarkan teknologi merapikan uangnya, kita jaga hangatnya pertemuan”
Jalan Panjang yang Disiapkan dari Sekarang
Digitalisasi pasar di Makassar bukan sprint satu musim, melainkan maraton kebijakan. Setelah fase peluncuran, ada fase penebalan kebiasaan, perluasan ke pasar satelit, integrasi lintas dinas, hingga evaluasi tahunan yang jujur. Pada setiap fase, pelajaran di lapangan ditarik menjadi perbaikan aturan dan alur.
Kota menyiapkan generasi pelaku pasar baru melalui pelatihan kewirausahaan untuk remaja dan ibu rumah tangga, membuka ruang magang bagi mahasiswa lokal di pengelola pasar, serta mempertemukan pedagang dengan perancang kemasan agar produk pasar tradisional naik kelas.
“Transformasi yang bertahan lama bukan yang paling berisik di awal, tetapi yang paling sabar mengubah kebiasaan hari demi hari”
Koridor Alauddin Sebagai Cermin Perubahan
Kembali ke koridor Alauddin, deret kios di sepanjang jalur itu menjadi saksi bahwa digital tidak melulu urusan pusat kota. Di wilayah dengan kepadatan sekolah, kampus, dan permukiman, transaksi non tunai memberi ritme baru yang lebih bersih dan cepat. Penanda wilayah seperti kode pos Alauddin Makassar menjadi jangkar administratif agar bantuan pelatihan, perangkat, dan penguatan jaringan tersalurkan tanpa tersesat.
Di lapak buah yang ramai, pembeli menempelkan layar ponsel, di kios ikan pemiliknya memeriksa ringkasan penjualan harian, sementara petugas pasar lewat menyapa dan menanyakan apakah ada kendala. Di papan pengumuman yang dulu dipenuhi catatan bolpoin, kini terpajang panduan sederhana cara menjaga sandi dan menghindari penipuan.
“Di antara hiruk pikuk pasar, perubahan jarang datang dengan trompet. Ia datang pelan, lewat satu pembayaran yang terasa lebih mudah, lalu seratus, lalu menjadi kebiasaan kota”






