Laksus Desak Polda dan BPOM Selidiki 9 Brand Skincare Diduga Bermasalah

Laksus Desak Polda dan BPOM Selidiki 9 Brand Skincare Diduga Bermasalah Isu mengenai keamanan produk kecantikan kembali mencuat ke publik setelah Lembaga Advokasi Konsumen dan Usaha Sulawesi Selatan (Laksus) mendesak Polda Sulsel dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk segera menyelidiki sembilan merek skincare yang diduga tidak memenuhi standar izin edar dan mengandung bahan berbahaya.

BPOM Desakan ini muncul setelah lembaga tersebut menerima sejumlah laporan dari masyarakat dan pelaku usaha kosmetik lokal yang dirugikan akibat beredarnya produk skincare tanpa izin resmi namun tetap dijual bebas melalui toko daring maupun distributor di lapangan.

“Kecantikan tidak boleh dibangun di atas kebohongan dan bahaya kesehatan. Regulasi harus menegakkan batas antara promosi dan penipuan publik.”

Awal Mula Kasus

Kasus ini bermula dari temuan Laksus terhadap peredaran berbagai produk skincare yang mengklaim mampu memutihkan kulit dalam waktu singkat. Produk-produk tersebut disebut dijual dengan harga murah namun menjanjikan hasil instan yang tidak wajar.

Beberapa konsumen melaporkan efek samping setelah menggunakan produk itu, seperti kulit mengelupas, gatal, hingga muncul bintik merah di wajah. Setelah dilakukan pengujian laboratorium sederhana bekerja sama dengan pihak universitas, ditemukan indikasi bahwa beberapa produk mengandung merkuri dan hidrokuinon, dua zat berbahaya yang dilarang dalam kosmetik.

Temuan tersebut langsung dilaporkan ke BPOM dan aparat kepolisian agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Namun hingga kini, Laksus menilai belum ada langkah konkret dari lembaga terkait.

“Jika sebuah produk bisa memutihkan wajah dalam tiga hari, logikanya pasti ada zat keras di baliknya.”

Sembilan Brand Skincare yang Dipertanyakan

Dalam laporan resminya, Laksus tidak langsung menyebut nama sembilan merek tersebut ke publik untuk menghindari gugatan hukum. Namun lembaga ini menegaskan bahwa semua brand tersebut aktif menjual produk mereka secara daring, bahkan bekerja sama dengan influencer kecantikan di media sosial.

Sebagian besar dari merek tersebut diduga tidak memiliki izin edar BPOM dan hanya mencantumkan nomor fiktif pada kemasan. Beberapa bahkan diklaim berasal dari luar negeri padahal diproduksi secara rumahan tanpa pengawasan.

Laksus meminta agar BPOM dan Polda Sulsel menelusuri rantai distribusi mulai dari produsen, agen penjualan, hingga pihak yang melakukan endorsement berbayar.

“Di era digital, penipuan kosmetik bersembunyi di balik iklan glowing dan wajah influencer. Aparat harus lebih cepat dari algoritma media sosial.”

Bahaya Zat Berbahaya dalam Produk Kecantikan

Merkuri dan hidrokuinon yang ditemukan dalam produk-produk bermasalah ini bukanlah bahan asing dalam kasus pelanggaran kosmetik. Keduanya sering digunakan untuk memutihkan kulit secara cepat, namun efek jangka panjangnya bisa sangat berbahaya.

Merkuri dapat menyebabkan kerusakan ginjal, gangguan saraf, dan iritasi parah pada kulit. Sedangkan hidrokuinon dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hiperpigmentasi permanen dan risiko kanker kulit.

BPOM sendiri telah menetapkan bahwa kedua bahan ini tidak boleh digunakan dalam produk kosmetik. Meski demikian, sejumlah produsen nakal masih berani menambahkannya karena efek instan yang disukai pasar.

“Keinginan tampil cantik seketika sering kali membuat orang lupa bahwa kulit manusia bukan laboratorium eksperimen.”

Respons Polda Sulsel dan BPOM

Menanggapi desakan Laksus, pihak Polda Sulsel menyatakan telah menerima laporan resmi dan kini tengah mempelajari dokumen serta bukti awal yang diserahkan. Polisi berjanji akan menindaklanjuti kasus ini jika ditemukan pelanggaran pidana dalam proses produksi dan distribusi.

Sementara itu, perwakilan BPOM Makassar mengatakan bahwa pihaknya juga sedang melakukan pengawasan intensif terhadap penjualan produk kosmetik ilegal, baik di pasar tradisional maupun platform digital. BPOM berencana menggandeng Direktorat Siber Polri untuk menelusuri iklan berbayar dan penjualan di e-commerce.

“Kami tidak bisa menindak hanya karena laporan media sosial, tapi kami pastikan setiap laporan masyarakat akan ditindaklanjuti dengan investigasi lapangan.”

Dampak Terhadap Konsumen

Kasus ini menimbulkan keresahan di kalangan konsumen, terutama perempuan muda yang menjadi target utama pemasaran produk skincare. Banyak di antara mereka mengaku mulai takut membeli produk baru setelah mengetahui adanya temuan ini.

Beberapa konsumen yang sudah terlanjur menggunakan produk dari brand yang diduga bermasalah mengaku mengalami efek samping, tetapi tidak tahu harus mengadu ke mana. Laksus kini membuka posko pengaduan untuk menampung laporan dari korban penggunaan produk ilegal tersebut.

“Konsumen hari ini tidak kekurangan pilihan, tapi kekurangan kejelasan mana yang benar-benar aman.”

Influencer dan Peran Media Sosial

Salah satu faktor yang membuat produk-produk skincare bermasalah ini cepat populer adalah promosi masif oleh influencer kecantikan di media sosial. Mereka mempromosikan produk dengan testimoni “sebelum dan sesudah” yang menggoda, sering kali tanpa memeriksa keamanan dan izin edar.

Laksus menilai bahwa praktik endorsement tanpa tanggung jawab ini harus diatur lebih ketat. BPOM dan Kementerian Komunikasi dan Informatika didesak membuat regulasi yang mewajibkan influencer memeriksa legalitas produk sebelum mempromosikannya.

“Uang dari endorsement tidak sebanding dengan dosa moral jika ternyata produk yang dipromosikan membahayakan ribuan orang.”

Kasus Serupa di Tahun-Tahun Sebelumnya

Kasus kosmetik ilegal bukan hal baru di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, BPOM telah memusnahkan jutaan produk skincare tanpa izin edar yang nilainya mencapai miliaran rupiah.

Namun, modus pelaku kini semakin canggih. Mereka menggunakan kemasan mewah, mengaku impor dari Korea atau Thailand, dan menggunakan testimoni palsu dari pengguna fiktif. Sebagian bahkan mengirim produk melalui jasa logistik pribadi agar tidak terdeteksi.

Di Makassar sendiri, pada 2022 lalu BPOM berhasil mengungkap kasus kosmetik oplosan yang diproduksi di rumah kontrakan di Tamalanrea, dengan omzet mencapai ratusan juta per bulan.

“Setiap kali satu merek ilegal ditutup, dua merek baru muncul di dunia maya. Ini seperti permainan bayangan yang tak berkesudahan.”

Perlindungan Konsumen dan Penegakan Hukum

Laksus menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku usaha kosmetik ilegal tidak boleh berhenti pada tingkat distributor. Aparat harus menelusuri produsen utama dan pihak yang terlibat dalam rantai pemasaran, termasuk oknum yang memalsukan izin edar.

Selain itu, Laksus juga meminta BPOM memperkuat sistem pengawasan berbasis digital yang dapat memantau penjualan daring secara real-time.

Hingga kini, masih banyak produk ilegal yang lolos ke pasar online karena lemahnya pengawasan lintas platform. Beberapa marketplace memang sudah menyediakan fitur verifikasi, namun belum semuanya efektif.

“Jika negara bisa memantau lalu lintas keuangan digital, seharusnya juga bisa memantau peredaran barang berbahaya di dunia maya.”

Peran Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah juga diminta turun tangan dalam mengawasi peredaran kosmetik di wilayahnya. Dinas Kesehatan Kota Makassar diminta memperkuat koordinasi dengan BPOM untuk melakukan razia rutin di toko-toko kecantikan dan klinik perawatan yang berpotensi menjual produk tanpa izin.

Selain itu, pengawasan terhadap klinik estetika juga menjadi perhatian, karena banyak klinik yang menggunakan produk dari merek tidak resmi dalam layanan perawatan kulitnya.

Pihak Dinas Kesehatan menegaskan akan melakukan inspeksi mendadak terhadap klinik-klinik yang diduga menggunakan produk ilegal, terutama yang menawarkan perawatan wajah instan dengan harga tidak masuk akal.

“Banyak orang mengira kalau sesuatu dilakukan di klinik pasti aman, padahal belum tentu. Banyak klinik yang hanya berubah jadi toko skincare dengan jas putih sebagai kamuflase.”

Pendidikan dan Kesadaran Konsumen

Para pakar kecantikan dan dermatolog ikut mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam memilih produk skincare. Mereka menyarankan agar konsumen selalu memeriksa nomor izin edar BPOM dan komposisi bahan sebelum membeli.

Selain itu, masyarakat juga harus waspada terhadap produk yang menjanjikan hasil instan, terutama jika dipromosikan dengan narasi “hasil cepat dalam 3 hari” atau “kulit putih permanen tanpa efek samping”.

Laksus juga berencana bekerja sama dengan kampus dan komunitas perempuan untuk mengadakan seminar edukatif tentang keamanan kosmetik. Tujuannya agar masyarakat bisa lebih kritis dan tidak mudah tertipu iklan.

“Kecantikan yang aman tidak pernah instan. Butuh waktu, kesabaran, dan pemahaman bahwa kulit adalah organ hidup, bukan kanvas.”

Tantangan Penegakan di Era Digital

Salah satu tantangan terbesar dalam kasus kosmetik ilegal saat ini adalah peredaran melalui platform digital. Penjualan di media sosial dan e-commerce sulit dilacak karena pelaku bisa berpindah akun kapan saja.

Banyak penjual juga menggunakan sistem pre-order dengan transaksi melalui WhatsApp untuk menghindari deteksi otomatis dari pihak platform. Selain itu, beberapa pelaku menggunakan jasa influencer kecil dengan audiens terbatas, sehingga sulit terpantau oleh regulator.

BPOM mengakui bahwa sistem pengawasan digital mereka masih perlu diperkuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi promosi produk berisiko tinggi di dunia maya.

“Era digital menuntut pengawasan yang digital juga. Hukum tak bisa lagi berjalan di kecepatan abad lalu.”

Dukungan Publik dan Tekanan Sosial

Desakan Laksus mendapat dukungan luas dari masyarakat, terutama dari komunitas perempuan dan organisasi konsumen. Banyak yang menilai langkah ini penting untuk melindungi generasi muda dari bahaya kosmetik beracun yang mengintai di balik iklan viral.

Beberapa publik figur juga mulai ikut bersuara, menyerukan agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan hasil instan dan selalu membeli produk resmi yang memiliki izin edar. Gerakan #StopSkincareIlegal mulai ramai di media sosial dengan ribuan unggahan edukatif dari warganet.

“Jika promosi lebih kuat daripada regulasi, maka masyarakatlah yang harus menjadi penjaga terakhir bagi kesehatannya sendiri.”

Rencana Aksi Lanjutan

Laksus berencana mengajukan class action jika dalam waktu dekat tidak ada tindak lanjut konkret dari BPOM maupun Polda Sulsel. Lembaga ini juga sedang menyiapkan laporan lanjutan yang berisi daftar distributor dan akun media sosial yang terlibat dalam pemasaran produk ilegal tersebut.

Selain itu, mereka akan menggandeng tim ahli hukum pidana untuk memastikan bahwa penyelidikan tidak berhenti di tingkat administratif, melainkan masuk ke ranah pidana sesuai pasal tentang perlindungan konsumen dan tindak pidana kesehatan.

Beberapa kampus di Makassar juga dikabarkan akan dilibatkan dalam penelitian independen untuk menguji keamanan berbagai produk skincare yang beredar di pasaran lokal.

“Ketika pemerintah lamban, masyarakat sipil harus mengambil peran. Penegakan hukum bukan monopoli aparat, tapi tanggung jawab bersama.”

Harapan Terhadap Penegakan Regulasi Kecantikan

Kasus sembilan brand skincare ini menjadi peringatan keras bagi semua pelaku industri kecantikan di Indonesia. Pasar kosmetik memang terus berkembang pesat, tetapi tanpa regulasi yang kuat, pertumbuhan itu bisa berubah menjadi bencana kesehatan.

Masyarakat kini menanti langkah tegas dari Polda Sulsel dan BPOM. Laksus berharap kasus ini tidak hanya berhenti pada penyitaan produk, tapi juga membawa efek jera bagi produsen dan influencer yang terlibat dalam praktik ilegal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *