Sekolah Kristen IPEKA CPI Makassar Resmi Dibuka, Gunakan ICE Curriculum

Sekolah Kristen IPEKA CPI Makassar Resmi Dibuka, Gunakan ICE Curriculum Makassar menambah satu penanda baru di peta pendidikannya. Tepat di kawasan Center Point of Indonesia yang terus bergeliat, Sekolah Kristen IPEKA CPI membuka pintu untuk tahun ajaran perdana. Di balik bangunan modern berlapis kaca, papan nama IPEKA berdiri bersih sekaligus tegas, menandai kehadiran aktor baru yang siap bersaing di segmen pendidikan berbasis karakter dan sains. Bukan sekadar gedung, peluncuran ini juga memperkenalkan ICE Curriculum yang diklaim menjadi jantung pembelajaran di semua jenjang di bawah atapnya.

“Sekolah yang baik bukan cuma mengajari anak menjawab soal, melainkan melatih mereka bertanya dengan benar.”

Wajah Baru Pendidikan di Kawasan Pesisir Kota

Keputusan membuka kampus di kawasan CPI bukan tanpa alasan. Area reklamasi yang berkembang pesat itu telah menjadi lokus perkantoran, ruang publik, dan hunian baru. Hadirnya sekolah bertaraf nasional di tengah kawasan ini memendekkan jarak antara rumah, kantor, dan ruang belajar. Orang tua di pesisir barat Makassar kini memiliki opsi yang lebih dekat untuk pendidikan berbahasa pengantar ganda dengan fasilitas lengkap. Mobilitas pagi hari yang selama ini menguras tenaga pelan pelan diberi alternatif.

Secara arsitektural, kampus IPEKA CPI memadukan geometri sederhana dengan ruang terbuka. Sebuah plaza teduh menyambut pengunjung sebelum memasuki lobi berkaca tinggi. Dari sinilah alur sirkulasi terbagi rapi ke blok prasekolah, SD, SMP, dan SMA. Setiap blok memiliki “ruang tengah” untuk interaksi informal, tempat anak berdiskusi dan mengerjakan proyek tanpa harus selalu duduk di kelas.

Apa Itu ICE Curriculum

ICE Curriculum merupakan pendekatan kurikulum IPEKA yang menautkan tiga hal: fondasi iman Kristen yang membentuk nilai, literasi akademik yang kuat, serta kompetensi abad 21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi. ICE sendiri merangkum semangat IPEKA Christian Education yang menekankan integrasi antara pengetahuan, karakter, dan panggilan melayani. Di kelas, ICE diterjemahkan lewat modul bertahap, rubrik penilaian yang transparan, dan proyek lintas mata pelajaran yang berangkat dari masalah nyata.

Guru bukan lagi transmitter materi semata, melainkan perancang pengalaman belajar. Anak diajak mengamati, merumuskan pertanyaan, menguji hipotesis, dan mempresentasikan temuan. Kegiatan literasi tidak berhenti pada membaca teks, tetapi melebar ke menafsirkan data, melihat bias, dan menyusun argumen yang bisa diuji.

Dari Sains hingga Humaniora, Semua Berpijak pada Proyek

Pada jenjang SD, tema “air” misalnya ditarik sebagai payung proyek. IPA membahas siklus air, IPS menyoroti distribusi dan keadilan akses, Matematika mengajak menghitung debit dan konversi satuan, Bahasa melatih menulis opini tentang hemat air, sementara Seni membuat poster kampanye. Hasilnya tidak sekadar nilai ulangan, melainkan pameran mini yang dinikmati orang tua di aula.

Naik ke SMP dan SMA, proyek menjadi lebih kompleks. Kelas Biologi membangun kebun hidroponik kecil, Fisika memodelkan aliran dan tekanan, Ekonomi menghitung biaya produksi dan margin, sedangkan Bahasa Inggris mengemas pitch deck untuk calon sponsor lokal. Anak belajar bahwa angka, teks, dan nilai bukan barang terpisah, melainkan alat yang saling menguatkan.

“Ketika pelajaran saling menyapa, anak tidak lagi bertanya ‘Ini buat apa’, karena jawabannya terasa di hari yang sama.”

Ruang Belajar: Lebih dari Sekadar Kelas

IPEKA CPI mengandalkan ruang ruang tematik yang memancing penjelajahan. Maker space dengan printer 3D, peralatan solder, dan kit robotika membuka peluang eksplorasi teknik sejak dini. Laboratorium sains didesain terang dengan meja kerja modular yang mudah dipindah. Studio musik teredam, black box untuk seni pertunjukan, dan galeri mini untuk pameran karya memberi panggung untuk bakat kreatif. Perpustakaan dua lantai tidak lagi sunyi mencekam; ia menjadi learning commons dengan sofa empuk, bilik diskusi, dan koleksi digital yang bisa diakses lewat perangkat sekolah.

Lapangan serbaguna, lintasan lari pendek, serta kolam renang belajar berada di sisi timur kampus, memanfaatkan angin laut yang menyejukkan. Guru olahraga memadukan permainan tradisional dan cabang populer agar kebugaran tidak terasa sebagai beban.

Bahasa Pengantar Ganda dan Etika Digital

Bahasa Indonesia tetap menjadi tulang punggung, sementara Bahasa Inggris dibiasakan dalam presentasi, literatur, dan korespondensi akademik tertentu. Anak tidak dipaksa bicara “asing” setiap detik, tetapi ditantang agar nyaman berpindah kode sesuai konteks. Untuk memastikan literasi digital tumbuh sehat, sekolah menerapkan etika penggunaan perangkat, mulai dari manajemen waktu layar, atribusi sumber, hingga sopan santun di ruang virtual. Tugas yang memanfaatkan AI diawasi dengan kebijakan yang jelas: alat boleh membantu, tetapi penalaran dan orisinalitas tetap milik siswa.

Di prasekolah, pemanfaatan gawai dibatasi. Sentuhan, gerak, cerita, dan permainan sensori menjadi penopang kurikulum. Anak belajar berbaris bukan untuk disiplin kosong, melainkan melatih kontrol diri dan sensitivitas pada ruang orang lain.

Profil Guru dan Budaya Pembelajaran Orang Dewasa

Sekolah mengusung standar rekrutmen yang menekankan tiga hal: penguasaan materi, keterampilan pedagogi aktif, dan kemauan belajar terus menerus. Setiap guru mengikuti siklus lesson study, yakni merancang, mengajar, diamati, lalu merefleksikan kelas bersama rekan sejawat. Budaya ini membuat perbaikan berlangsung harian, bukan menunggu lokakarya tahunan.

Bimbingan konselor hadir bukan hanya ketika ada masalah. Ia turun ke kelas untuk mengajarkan strategi belajar, manajemen emosi, dan komunikasi asertif. Orang tua pun dilibatkan lewat seminar pendek agar pola asuh rumah selaras dengan nilai sekolah.

“Anak akan repot mengeja integritas bila orang dewasa di sekelilingnya tidak satu kata dengan perbuatan.”

Liturgi Nilai dalam Ritme Harian

Sebagai sekolah Kristen, nilai tidak hadir sebagai poster. Ia diwujudkan dalam kebiasaan kecil: mengucap terima kasih pada petugas kebersihan, berbagi giliran di kantin, meminta maaf dengan tulus, dan memeriksa kembali tugas sebelum dikumpulkan. Doa bersama pada awal hari menjadi ritme yang menenangkan, bukan kewajiban menegangkan. Pada momen tertentu, kapel sekolah menampung ibadah tematik yang mengikat kebersamaan lintas jenjang.

Nilai melayani diwujudkan dalam program service learning. Siswa SMP menginisiasi perpustakaan mini di kampung nelayan, SMA mengadakan klinik numerasi dasar bagi adik adik SD yang membutuhkan. Anak belajar bahwa ilmu yang baik meninggalkan manfaat, bukan hanya angka rapor.

Kesehatan, Gizi, dan Keamanan Anak

Klinik kecil dengan perawat jaga menangani pertolongan pertama dan pemantauan kesehatan berkala. Menu kantin dikurasi agar seimbang dan transparan etikanya, menampilkan komposisi dan alergen. Protokol perlindungan anak ditegakkan: area CCTV di koridor, pintu kelas berkaca, pelaporan insiden yang mudah diakses, dan pelatihan wajib bagi semua staf tentang pencegahan perundungan dan kekerasan berbasis gender.

Sekolah juga menyusun kebijakan “jalan kaki aman” di kawasan kampus, melatih siswa menyeberang, mengantre, dan menjaga diri di ruang publik. Edukasi kesiapsiagaan bencana dilakukan melalui simulasi ringan yang menyenangkan, bukan menakut nakuti.

Hari Pertama: Potret Sehari di IPEKA CPI

Bel masuk berbunyi lembut, bukan sirene. Siswa berkumpul di ruang tengah untuk pengantar singkat. Di kelas SD, guru mengawali dengan pertanyaan pemantik “Bagaimana kita tahu air bersih,” lalu anak bekerja dalam kelompok, mengamati sampel, mencatat, dan mempresentasikan temuan sederhana. Di SMP, mata pelajaran Matematika mengajak bermain “pasar data”; siswa tawar menawar angka dengan alasan statistik. SMA mengadakan diskusi lintas mapel tentang energi terbarukan, diakhiri kunjungan virtual ke laboratorium universitas mitra.

Siang hari, klub pilihan hidup. Robotika beradu logika, paduan suara menata harmoni, basket berlatih set play, dan jurnalisme pelajar menyusun naskah untuk portal sekolah. Sepulang kelas, sebagian anak mengikuti klinik remedial atau pengayaan. Guru menutup hari dengan merekap catatan formatif, menyiapkan esok yang sedikit lebih baik.

“Sekolah terasa hidup ketika anak pulang dengan cerita, bukan hanya pekerjaan rumah.”

Penerimaan Siswa Baru dan Akses Beasiswa

Sistem penerimaan dirancang dua arah. Di satu sisi mengukur kesiapan akademik dan karakter, di sisi lain memberi gambaran nyata kehidupan sekolah melalui open house dan kelas coba. Wawancara dengan orang tua bukan arena interogasi, melainkan dialog tentang ekspektasi dan kolaborasi. Untuk menjaga keberagaman, tersedia skema beasiswa merit dan kebutuhan yang transparan, mengundang dukungan mitra agar lebih banyak anak bertalenta mendapat akses.

Anak berkebutuhan khusus dipertimbangkan melalui asesmen profesional dan rencana dukungan individual. Targetnya jelas: inklusi yang bertanggung jawab, tidak memaksa namun tidak juga menutup pintu bagi kesempatan.

Kerja Sama dengan Kampus dan Industri

IPEKA CPI menenun relasi dengan perguruan tinggi dan pelaku industri lokal. Dosen tamu hadir untuk memperkaya perspektif, sedangkan kunjungan industri memberi anak pengalaman melihat proses nyata, dari logistik pelabuhan hingga dapur kreatif periklanan. Pada level SMA, program magang singkat dibuka dengan pengawasan ketat agar keselamatan dan esensi belajar tetap terjaga. Siswa mempelajari etos kerja, menyerap budaya profesional, sekaligus memetakan minat karier.

Kolaborasi ini memperluas horizon: anak memahami bahwa sains, seni, dan bisnis saling membutuhkan. Mereka melihat masa depan bukan sebagai teka teki yang menakutkan, melainkan sebagai proyek besar yang bisa dipecah menjadi langkah langkah kecil.

Olahraga, Seni, dan Kompetisi yang Sehat

Kalender sekolah memadukan kejuaraan olahraga, festival seni, dan lomba akademik. Bukan semuanya untuk juara, tetapi semuanya untuk tumbuh. Tim futsal belajar disiplin taktik, kelompok teater menyusun naskah orisinal, dan tim debat mengasah adab berbeda pendapat. Guru membimbing anak membedakan ambisi dan obsesi, mengajarkan kemenangan yang rendah hati dan kekalahan yang bermartabat.

Ruang apresiasi tidak hanya untuk pemenang podium. Pameran karya kelas juga menampilkan proses: sketsa awal, prototipe gagal, dan catatan revisi. Anak belajar bahwa keindahan sering lahir dari ketekunan yang tak terlihat.

Orang Tua sebagai Mitra

Sekolah membangun kanal komunikasi yang jelas: rapor naratif per kuartal, konferensi tiga pihak guru orang tua siswa, dan portal daring yang memuat perkembangan tugas. Grup pesan instan ada, tetapi etika komunikasi diatur agar efektif dan beradab. Forum orang tua menjadi lahan praktik kepemimpinan warga, menggalang dukungan untuk program sosial, beasiswa, serta peningkatan fasilitas.

Keterlibatan bukan berarti intervensi. Sekolah menegaskan batas profesional, sementara orang tua menghormati keputusan pedagogis. Di antara keduanya, anak berdiri sebagai subjek utama yang suaranya didengar.

“Pendidikan terbaik terjadi ketika sekolah dan rumah berhenti saling menyalahkan, lalu mulai berbagi pekerjaan.”

Menjaga Jejak Lingkungan

Kampus mengusung praktik hijau: pemilahan sampah, pengurangan plastik sekali pakai, penampungan air hujan untuk menyiram taman, dan panel surya atap sebagai sumber listrik tambahan. Anak diajak menghitung jejak karbon sederhana, bukan untuk menghakimi, melainkan agar akrab dengan tanggung jawab ekologis. Proyek kebun sekolah mengajarkan rantai pangan, dari menanam, merawat, memanen, hingga mengolah menjadi kudapan sehat di kelas Tata Boga.

Kegiatan bersih pantai yang terjadwal bersama komunitas sekitar CPI bukan sekadar aksi foto, tetapi bagian dari service learning yang terukur dampaknya. Laporan sebelum sesudah menunjukkan data, bukan hanya semangat.

Tekad Menghadirkan Kualitas dengan Akar Lokal

IPEKA CPI datang dengan janji kualitas, tetapi juga kesadaran bahwa Makassar punya identitas yang layak dirawat. Bahasa Makassar dan Bugis mendapat ruang sebagai kekayaan budaya, diperkenalkan dalam sesi tematik dan perayaan hari besar lokal. Kuliner daerah, musik tradisi, dan kisah pahlawan Sulawesi Selatan menjadi materi literasi sosial yang membanggakan. Anak dibesarkan sebagai warga global yang kukuh berdiri di tanah sendiri.

Dalam setiap langkah, sekolah berupaya menjaga keseimbangan: antara iman dan ilmu, antara angka dan nurani, antara ambisi pribadi dan manfaat bagi sesama. ICE Curriculum menjadi jembatan yang membawanya ke ruang kelas, halaman, dan setumpuk pengalaman yang akan membekas jauh setelah anak menanggalkan seragam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *