Seperti sudah diketahui khalayak ramai, hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa di Bangka Belitung beberapa hari yang lalu, salah satunya melahirkan fatwa tentang tidak bolehnya mengucapkan salam lintas agama. Fatwa ini kemudian mengakibatkan polemik dan perdebatan bukan hanya di kalangan “grassroot” tetapi juga di kalangan akademisi dan ulama di Indonesia.
Sebenarnya, fatwa ini sudah menjadi perdebatan pada tahun 2019 di mana MUI mengharamkannya sementara NU baik di tingkat pusat maupun wilayah secara terbuka menyatakan bahwa itu tidak haram. Izinkan saya menelaah duduk perkara fatwa ini khususnya pada aspek epistemologi hukum Islam.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang bisa dipakai untuk menyoroti hal ini. Pertama, pendekatan “Fiqh”, kedua pendekatan “siyasah syariyyah”, dan ketiga, pendekatan “maqasid syariah”. Yang menarik dicermati adalah dua pendekatan terakhir yakni pendekatan “siyasah syariah” dan pendekatan “maqasid syariah”.
Pendekatan “siyasah syariah” menghendaki agar setiap masalah keagamaan harus diposisikan sejak awal apakah itu masuk dalam kategori ajaran atau kebijakan. Pada intinya pendekatan ini sering sekali memposisikan sesuatu yang secara fiqhi tidak boleh tapi kemudian dibolehkan karena di dalamnya terdapat desakan kemaslahatan.
Dalam konteks fatwa ini, ketika seorang pejabat melakukan salam lintas agama dalam sebuah acara kenegaraan, jauh lebih maslahat untuk memilih pandangan fiqhi lembaga keagamaan yang membolehkan salam lintas agama dibanding yang melarang. Salah satu alasannya karena Indonesia sedang merawat kerukunan dan berikhtiar secara maksimal untuk menciptakan kedamaian antar umat beragama.
Dengan kata lain, pendekatan “siyasah syariyah” memungkinkan pemerintah atau pejabat untuk memilih pandangan hukum Islam yang menurutnya lebih maslahat dibanding Fiqhi yang kurang mendukung kemaslahatan. Teori paling populer dalam “siyasah” adalah pemerintah diberi kewenangan untuk mengeluarkan “public policy” selama itu berorintasi kepada kemaslahatan dan tidak melanggar prinsip Islam tentunya. Sedangkan pendekatan “maqasid syariah” menekankan bahwa kalau terjadi perdebatan fiqhi di antara ulama, maka pemerintah dan negara disarankan untuk memilih pandangan yang lebih mendukung dan menghadirkan “maqasid syariah”.
Salah satu “maqasid syariah” adalah kerukunan, kedamaian, dan harmonisasi antar umat Islam atau antar umat beragama. Bahkan pendekatan “maqasid syariah” banyak dicontohkan oleh nabi dan para sahabat yang bahkan menunda penerapan satu hukum yang jelas “qathi” karena ditengarai penerapannya bisa mengganggu keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama. Karena itu, fatwa ini tidak menemukan signifikansinya dan kurang relevan untuk situasi saat ini.
Fatwa ini “agak disesalkan” karena kemudian muncul kembali di saat Indonesia sedang berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Apa yang dicetuskan oleh fatwa ini tidak lebih dari sebuah fiqhi yang kurang menyentuh aspek aqidah yang tentunya berbeda dengan fiqhi yang lain yang sudah berkembang sebelumnya. Menurut saya pemerintah tidak perlu merasa bersalah karena munculnya fatwa ini dikarenakan adanya fiqhi yang bisa lebih sesuai dan sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dan negara.
Dalam epistemologi fatwa, umat Islam terutama pemerintah, tidak perlu terikat dengan sebuah fatwa yg kurang sesuai dengan situasi yg dialaminya atau tidak sejalan dengan arah kebijakannya terutama kalau ada fatwa lain yg koheren dengan mazhabnya.(*)
Oleh: Abdul Rauf Amin
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin