UIN Alauddin Makassar Ikuti Pembukaan Nasional Latsar CPNS dan Orientasi PPPK Ruang aula birokrasi sering kali identik dengan protokol kaku. Namun pagi itu, suasana berbeda menyelimuti kampus UIN Alauddin Makassar. Layar lebar menampilkan siaran langsung pembukaan nasional Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil dan Orientasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Para peserta baru duduk rapi mengenakan seragam dinas, sebagian mengalungkan kartu identitas, sebagian lagi memegang buku catatan yang masih wangi percetakan. Di barisan belakang, para pejabat kampus dan panitia pelatihan memantau kelancaran acara, memastikan transisi dari prosesi nasional ke sesi kampus berjalan mulus. Di saat seperti ini, antusiasme dan ketegangan berpadu menjadi satu, menandai dimulainya bab penting bagi aparatur sipil negara generasi baru di lingkungan perguruan tinggi Islam negeri.
“Momentum semacam ini mengingatkan bahwa ASN bukan sekadar profesi, melainkan janji yang diucapkan di hadapan publik.”
Makna Strategis Latsar dan Orientasi bagi Kampus Keagamaan
Pelatihan Dasar CPNS dan Orientasi PPPK bukan sekadar syarat administrasi. Bagi kampus keagamaan yang mengemban misi moderasi dan pelayanan pendidikan, dua agenda ini menjadi pintu masuk pembentukan karakter aparatur. Latsar mematri nilai dasar aparatur sipil negara serta etos kerja yang berorientasi pada pelayanan. Sementara itu, orientasi bagi PPPK menegaskan budaya kinerja, penguasaan prosedur, dan penyesuaian terhadap kultur kerja instansi. Di lingkungan UIN, keduanya diharapkan menyatu dengan tradisi akademik yang kritis, terbuka, dan beradab.
Konteks ini membuat partisipasi UIN Alauddin Makassar terasa lebih dari sekadar hadir. Ia adalah deklarasi kesiapan institusi untuk menata ulang kualitas layanan, dari tata persuratan sederhana sampai urusan besar seperti tata kelola penelitian, beasiswa, dan kerjasama internasional.
Rangkaian Pembukaan Nasional yang Rapi dan Penuh Pesan
Sesi pembukaan nasional berlangsung ringkas namun padat. Pengantar menekankan mandat reformasi birokrasi yang berkelanjutan. Ada penegasan bahwa Latsar dan orientasi bukan sekadar pertemuan kelas, melainkan program pembentukan profil ASN yang sanggup bekerja lintas sektor dan sensitif terhadap perubahan sosial. Pada jeda singkat, kamera menyorot wajah wajah peserta dari berbagai provinsi. Ekspresi mereka beragam, dari mata yang berbinar hingga dahi yang mengernyit menampung materi.
Setelah prosesi nasional selesai, kampus menggelar pengarahan internal. Pimpinan UIN Alauddin Makassar menyampaikan pentingnya mengawinkan spirit pelayanan publik dengan nilai keislaman yang rahmatan lil alamin. Ini bukan jargon. Dalam praktiknya, misi itu diterjemahkan dalam SOP yang manusiawi, layanan yang inklusif, dan keberanian memotong alur birokrasi yang bertele tele.
“Pelayanan terbaik selalu berawal dari kesediaan mendengar keluhan paling kecil dan menindaklanjutinya tanpa menunda.”
Siapa Saja yang Mengikuti dan Bagaimana Komposisinya
Formasi peserta di kampus mencerminkan beragam peran. Ada dosen baru yang siap meniti jalur akademik, ada tenaga kependidikan yang menjadi tulang punggung layanan administrasi, dan ada pula tenaga teknis yang bersentuhan langsung dengan laboratorium, pusat data, serta layanan perpustakaan. Komposisi lintas unit membuat diskusi menjadi kaya. Seorang analis data berbagi sudut pandang tentang keamanan informasi, sementara staf layanan mahasiswa bercerita tentang dinamika antrian pada masa pendaftaran ulang.
Keterwakilan perempuan dan laki laki relatif seimbang. Keberagaman ini bukan sekadar statistik. Ia menentukan cara agenda pelatihan dirancang, memastikan contoh kasus dan simulasi tidak bias, serta semua peserta merasa diwadahi kebutuhannya.
Materi Inti yang Menjembatani Nilai dan Kinerja
Peta materi Latsar dan orientasi dirancang berlapis. Peserta diajak meneguhkan nilai dasar aparatur, mulai dari integritas hingga orientasi pelayanan. Setelan berikutnya adalah akuntabilitas, nasionalisme konstitusional, etika publik, serta komitmen anti korupsi. Di lingkungan UIN, materi moderasi beragama mendapat porsi strategis, diletakkan bukan sebagai mata kuliah normatif, melainkan sebagai ketrampilan berinteraksi yang konkret.
Pendidikan dan latihan juga menekankan kecakapan digital. Peserta diperkenalkan pada aplikasi layanan kepegawaian, sistem informasi surat menyurat elektronik, pengelolaan dokumen berbasis awan, serta pengamanan data pribadi. Kelak, penguasaan ini menjadi pembeda dalam percepatan layanan kampus.
“Integritas itu fondasi, tetapi tanpa kecakapan digital, gedung yang kokoh bisa lambat dihuni.”
Metode Pelatihan: Dari Kuliah Umum hingga Simulasi Kasus
Untuk memastikan materi tidak hambar, panitia kampus memadukan kuliah umum, diskusi terarah, dan simulasi kasus. Dalam satu sesi, peserta diminta melakukan role play di loket layanan. Skemanya sederhana namun menantang. Seorang mahasiswa datang dengan keluhan KRS yang terkunci tepat di batas waktu. Peserta yang berperan sebagai petugas layanan diminta mengambil keputusan cepat, berpedoman pada aturan, tetapi tetap memberi solusi. Dari situ ketahuan siapa yang kuat di komunikasi, siapa yang cermat pada regulasi, dan siapa yang perlu penguatan manajemen emosi.
Simulasi lainnya menyentuh aspek keamanan data. Skenarionya, ada permintaan salinan kartu keluarga untuk keperluan beasiswa. Peserta harus memilah mana data yang boleh dibagikan dan prosedur apa yang wajib dilalui, termasuk mekanisme redaksi informasi sensitif jika memang diperlukan.
Moderasi Beragama sebagai Kompetensi Layanan
Di kampus keagamaan, nilai moderasi tidak berhenti pada narasi. Ia hadir dalam SOP. Misalnya, penyediaan ruang laktasi yang layak, layanan aduan yang ramah disabilitas, serta pengaturan jadwal layanan saat hari besar tanpa mengorbankan hak mahasiswa dari latar budaya yang berbeda. Pada sesi ini, peserta diajak mengekstraksi nilai nilai moderasi menjadi indikator perilaku. Bagaimana sikap di loket ketika menghadapi pemohon yang berbahasa daerah. Bagaimana membuat tulisan layanan yang tidak eksklusif. Bagaimana merespons perbedaan keyakinan mahasiswa internasional yang belajar di kampus Islam.
“Moderasi beragama yang teruji selalu tampak pada keputusan kecil, bukan pada poster besar di dinding.”
Antikorupsi dan Konflik Kepentingan, Pelajaran yang Harus Diulang
Ada satu materi yang selalu sensitif sekaligus penting. Antikorupsi dan konflik kepentingan. Peserta diajak bertemu contoh konkret, bukan pasal pasal kering. Bagaimana jika diminta mempercepat proses legalisasi dengan imbalan kecil. Bagaimana jika seorang kolega mengusulkan vendor alat laboratorium yang ternyata memiliki hubungan keluarga. Diskusi dibawa ke ranah praktis. Kejelasan alur pengadaan, daftar negatif vendor, dan mekanisme pelaporan menjadi kunci.
Di akhir sesi, peserta menandatangani pernyataan integritas. Mungkin terdengar seremonial, tetapi budaya menulis janji di tempat umum memiliki daya psikologis. Ia mematri tanggung jawab pada diri sendiri sebelum dimintai pertanggungjawaban oleh orang lain.
Transformasi Digital dan Kebiasaan Baru Mengurus Dokumen
Urusan surat menyurat sering menjadi titik keluhan warga kampus. Pelatihan kali ini mendorong penggunaan sistem elektronik penuh untuk pengajuan surat tugas, cuti, serta permohonan layanan kepegawaian. Peserta diajari cara memindai dokumen yang baik agar bisa terbaca mesin, mengunggah ke repositori yang benar, dan memberi nama berkas yang standar. Hal kecil seperti penamaan file menjadi fokus karena memotong waktu pencarian saat dibutuhkan cepat.
Sesi keamanan digital menyoroti praktik sandi ganda, peringatan phishing, dan etika penggunaan surel institusi. Aparatur digugah untuk berhenti menggunakan sandi tunggal dan menghindari menyimpan data sensitif di perangkat pribadi tanpa pengamanan.
Etika Komunikasi Publik dan Pengelolaan Krisis
Kampus adalah ruang publik. Aparatur dapat sewaktu waktu berhadapan dengan situasi krisis komunikasi, dari gangguan layanan jaringan hingga polemik di media sosial. Sesi ini mengajarkan pola komunikasi yang jernih. Informasi disampaikan dengan format siap pakai. Apa masalahnya, apa yang sedang dilakukan, dan kapan estimasi pulih. Peserta dilatih menulis pengumuman yang tidak bertele tele namun tidak kering rasa, menjaga kepercayaan publik sekaligus menenangkan suasana.
“Kredibilitas layanan sering lahir dari pengakuan yang jujur tentang masalah, bukan dari upaya menutupinya.”
Kesehatan Mental dan Manajemen Energi ASN Pemula
Transisi menjadi ASN kerap memindahkan seseorang ke ritme kerja yang rigid. Panitia menyisipkan modul kesehatan mental. Peserta diajak mengenali tanda kelelahan, teknik jeda singkat, dan cara meminta bantuan tanpa takut dinilai lemah. Unit konseling kampus memaparkan jalur rujukan untuk dukungan psikologis. Budaya kerja yang sehat adalah pra syarat layanan yang konsisten. Dengan tenaga yang terjaga, senyum di loket bukan basa basi, melainkan daya yang menular ke pemohon.
Sesi ini menekankan bahwa produktivitas bukan jam kerja yang panjang, melainkan fokus dan ketepatan menyelesaikan tugas sesuai prioritas.
Peran Pimpinan UIN Alauddin dalam Menjaga Ritme Perubahan
Kepemimpinan menentukan arahnya, bukan sekadar kecepatannya. Pimpinan kampus menekankan tiga hal. Kejelasan indikator kinerja yang terukur dan bisa diaudit. Dukungan sarana serta pelatihan berkelanjutan agar aparatur tidak merasa ditinggalkan. Mekanisme umpan balik yang aman sehingga pegawai dapat mengusulkan perbaikan tanpa takut. Ini menciptakan lingkaran kebijakan yang hidup. Masalah di loket layanan bermutasi menjadi perbaikan SOP, bukan jadi bahan bisik bisik di koridor.
Di rapat akhir hari, pimpinan mengingatkan agar hasil pelatihan kembali ke meja kerja dalam bentuk perubahan kecil yang konsisten. Misalnya, penerapan standar salam, standar klarifikasi data, dan standar waktu respons surel.
Logistik Pelaksanaan, Kolaborasi, dan Disiplin Waktu
Dari sisi logistik, kampus menyiapkan ruang pelatihan berpendingin udara, perangkat audio yang jernih, dan jaringan internet stabil agar peserta bisa mengikuti sesi daring nasional tanpa jeda. Panitia menerapkan disiplin waktu yang tegas tetapi manusiawi. Istirahat diberi cukup, salat tidak dikejar kejar, dan agenda kembali tepat waktu. Keadilan kecil seperti ini menjaga konsentrasi. Penjadwalan ulang untuk peserta dengan kebutuhan khusus juga dilakukan agar keterbatasan tidak menjadi penghalang.
Kolaborasi lintas unit terlihat cair. Biro umum, kepegawaian, pusat TIK, dan fakultas bergerak seperti satu orkestrasi. Di situ tampak bahwa pelatihan bukan urusan satu kantor, melainkan kerja kolektif kampus.
“Pelatihan yang baik akan terasa bukan pada megahnya panggung, melainkan pada rapi dan tenangnya alur.”
Dampak yang Diharapkan pada Layanan Harian
Pascapelatihan, ekspektasi publik sederhana. Antrian lebih tertib, jawaban lebih cepat, surat menyurat lebih jelas, dan pengaduan ditangani dengan empati. Di tataran internal, peta kerja menjadi jelas. Siapa bertanggung jawab atas apa, bagaimana eskalasi jika ada kendala, dan berapa lama standar penyelesaian. Unit layanan mahasiswa menargetkan waktu respons pengajuan legalisasi tidak lagi hitungan hari, melainkan jam. Sementara bagian kepegawaian menyiapkan dashboard progres agar pegawai bisa memantau status dokumennya tanpa harus bolak balik bertanya.
Kampus menempatkan indikator keberhasilan yang spesifik. Bukan sekadar jumlah peserta lulus, tetapi perbaikan nyata pada skor kepuasan layanan dan penurunan keluhan berulang.
Suara Peserta dan Momen Kecil yang Menyentuh
Dalam jeda makan siang, terdengar percakapan ringan. Seorang peserta yang sebelumnya bekerja di sektor swasta mengaku kaget dengan kedisiplinan administrasi di layanan kampus. Ia merasa perlu mempelajari ulang bahasa dokumen. Peserta lain, yang berlatar belakang aktivis, merasa tertantang mengubah semangat advokasi menjadi SOP tingkat mikro. Cerita cerita semacam ini menyirami tujuan pelatihan. Ia menunjukkan bahwa perubahan dimulai dari pengakuan dan kesediaan mengoreksi diri.
Di ujung hari, seorang peserta membawa pulang gagasan sederhana. Ia ingin mengubah template balasan surel dengan struktur yang lebih ramah, menambahkan salam pembuka yang khas, dan menutup dengan informasi kontak yang jelas. Kecil, tetapi di situlah kehangatan layanan tumbuh.
Jalan Lanjut: Pendampingan dan Ujian Lapangan
Latsar dan orientasi hanyalah awal. Kampus menyiapkan pendampingan tiga bulan untuk memastikan materi masuk ke kebiasaan. Mentor unit akan memantau implementasi standar baru, memberi catatan mingguan, dan mengadakan klinik perbaikan cepat. Ujian lapangan akan menilai bukan hanya hafalan materi, tetapi kemampuan mengelola situasi yang tak terduga. Misalnya, lonjakan pemohon pada masa registrasi, gangguan jaringan, atau perubahan kebijakan mendadak.
Peta karier juga dibuka transparan. Jalur pengembangan kompetensi, kesempatan sertifikasi, dan rotasi peran dipaparkan agar aparatur melihat masa depan yang jelas di dalam institusi.
“Kualitas pelayanan publik jarang lahir dari satu gebrakan. Ia tumbuh dari kebiasaan baik yang diawasi, disemangati, dan diperbaiki terus menerus.”
Menambatkan Harapan pada Generasi Aparatur Baru
Ketika layar menutup siaran nasional dan aula kembali sunyi, yang tersisa adalah pekerjaan. UIN Alauddin Makassar telah menandai kehadirannya di panggung pembukaan Latsar CPNS dan orientasi PPPK, tetapi lebih dari itu, kampus telah menanam kompas pada dada tiap peserta. Kompas yang menunjuk ke arah integritas, kompetensi, dan keberpihakan pada publik. Besok, loket akan kembali ramai, kotak masuk surel akan penuh, dan telepon akan berdering. Di sanalah ujian sesungguhnya berlangsung, jauh dari sorot kamera dan pidato.
Kita menunggu layanan yang lebih cekat, wajah yang lebih ramah, dan keputusan yang lebih adil. Jika pelatihan hari ini mampu menggerakkan hal hal kecil di meja kerja esok hari, maka tujuan besarnya sedang tercapai. Sebab pelayanan publik yang baik tidak selalu terdengar gegap gempita. Ia bekerja dalam senyap, namun jejaknya terasa lama di hati orang yang dilayani.