Prof Mustari Mustafa Bahas Etika Kepemimpinan di Forum LK III BADKO HMI Sulsel

Ragam46 Views

Prof Mustari Mustafa Bahas Etika Kepemimpinan di Forum LK III BADKO HMI Sulsel Ruang pertemuan itu padat oleh energi muda. Spanduk pelatihan menempel rapi di dinding, meja panel disusun memanjang, dan di hadapan ratusan peserta yang mengenakan jas almamater hijau, Prof Mustari Mustafa berdiri dengan sikap tenang. Ia memulai dengan pertanyaan sederhana yang memancing senyap, apakah pemimpin itu lahir dari talenta atau dibentuk oleh kebiasaan. Dalam hitungan menit, suasana forum LK III BADKO HMI Sulsel yang semula formal bergeser menjadi kelas besar yang hidup. Peserta tidak hanya menonton, mereka ikut menggugat, menyela dengan sopan, dan menimbang ulang gagasan tentang kuasa dan amanah.

“Integritas bukan atribut yang ditaruh di saku. Ia seperti otot, hanya kuat bila dilatih terus menerus.”

Mengapa Etika Menjadi Pijakan Pertama

Di sesi pengantar, Prof Mustari menekankan bahwa etika kepemimpinan adalah fondasi yang menentukan arah setiap keputusan. Dalam organisasi kemahasiswaan, di birokrasi, maupun di dunia usaha, kita cenderung memuja hasil, padahal cara mencapai hasil sama pentingnya. Ia mengajak peserta melihat kembali peta nilai yang sering terabaikan, kejujuran dalam laporan, transparansi dalam pembagian tugas, dan tanggung jawab pada janji yang diucapkan di rapat.

Pesan yang mengemuka adalah perlunya standar moral yang tidak elastis mengikuti kenyamanan. Etika, kata Prof Mustari, bukan pagar untuk membatasi kreativitas, melainkan lajur agar inovasi tidak menabrak kepentingan publik. Dengan bahasa yang sederhana, ia menautkan prinsip filsafat pada realitas kampus dan komunitas.

LK III BADKO HMI Sulsel Sebagai Laboratorium Nilai

Pelatihan tingkat LK III di lingkungan BADKO HMI Sulsel diposisikan sebagai jenjang yang mempertemukan teori, praktik, dan kepemimpinan strategis. Di sinilah peserta tidak hanya mempelajari metode analisis sosial politik, tetapi juga melatih kepekaan membaca situasi organisasi. Prof Mustari menyebut forum ini laboratorium nilai. Di laboratorium, eksperimen mungkin gagal, tetapi catatan kegagalan itu berharga karena mengajarkan cara memperbaiki instrumen.

Para instruktur mendorong peserta untuk menulis log etika harian. Tugasnya tampak remeh, merekam satu keputusan kecil yang mereka buat, mengapa itu diambil, nilai apa yang diprioritaskan, dan risiko apa yang diterima. Latihan ini menggeser etika dari tataran slogan menjadi kebiasaan reflektif.

Kepemimpinan sebagai Seni Memelihara Kepercayaan

Menurut Prof Mustari, definisi paling operasional dari kepemimpinan adalah kemampuan memelihara kepercayaan dalam jangka panjang. Kepercayaan dibangun dari konsistensi perilaku, bukan dari poster dan pidato. Ia mencontohkan tiga indikator sederhana yang bisa diukur sendiri, presisi waktu, ketepatan kata, dan kedisiplinan menyampaikan kabar buruk. Tiga hal ini terlihat sepele, tetapi menjadi matriks keandalan yang dinilai diam diam oleh anggota tim.

Dari indikator itu mengalir konsekuensi. Pemimpin beretika tidak membiarkan ruang abu abu tumbuh subur. Ia menjelaskan konflik kepentingan, menolak gratifikasi kecil yang mengikat, dan berani mengundurkan diri dari keputusan voting bila posisinya rentan bias. Di titik ini, etika bukan lagi wacana, ia menjelma disiplin personal.

Dilema dan Studi Kasus: Wilayah yang Jarang Dipetakan

Bagian terseru forum adalah sesi studi kasus. Peserta diberi tiga skenario, pengelolaan dana kegiatan dengan batas waktu mepet, konflik perekrutan panitia yang sarat pertemanan, dan keputusan cepat terkait rumor pelanggaran etik oleh rekan seperjuangan. Prof Mustari meminta setiap kelompok merumuskan langkah, nilai yang dijaga, serta konsekuensi yang siap ditanggung.

Diskusi memunculkan peta dilema yang jujur. Ada kelompok yang tergoda menutupi kekurangan laporan demi reputasi. Ada yang bersikeras membuka semua risiko meskipun mungkin memukul semangat kader. Di sinilah Prof Mustari masuk, mengurai perbedaan antara rahasia organisasi yang sah dan penyembunyian informasi yang merugikan publik. Ia mengajak peserta menilai ulang istilah loyalitas, bahwa loyal pada organisasi berarti setia pada nilai nilainya, bukan pada kesalahan pengurusnya.

Etika Digital: Jejak yang Tak Pernah Hilang

Kepemimpinan di era digital menghadirkan ruang etika baru. Postingan media sosial, grup percakapan, dan unggahan dokumentasi kegiatan membentuk citra yang lebih cepat daripada rilis resmi. Prof Mustari mengingatkan bahwa jejak digital bersifat keras kepala, ia menyimpan versi diri kita yang sering tidak kita kendalikan. Karena itu, literasi etika digital menjadi keharusan, bukan embel embel.

Ia menawarkan tiga pertanyaan saring sebelum menekan tombol kirim, apakah unggahan itu benar, apakah ia bermanfaat, dan apakah cara mengatakannya adil. Tiga filter ini menjaga percakapan publik dari sensasionalisme yang merusak. Di ruang digital, kepemimpinan etis berarti berani menunda demi verifikasi, bukan berlomba menjadi yang tercepat menyebar kabar.

“Di zaman serba cepat, menunda lima menit untuk mengecek kebenaran adalah bentuk keberanian.”

Mengasah Kepekaan: Antara Aturan Tertulis dan Adab

Etika tak berhenti di pasal pasal. Ada wilayah adab yang lebih halus, cara menyela diskusi, mengakui kontribusi orang lain, dan meminjam kewenangan tanpa membuat orang merasa diperas. Prof Mustari menyebutnya seni berorganisasi. Seni ini menuntut kecermatan membaca ruang, kapan berbicara, kapan diam, dan kapan menyudahi perdebatan agar tidak melebar.

Ia mengajak peserta melatih frasa frasa yang menyejukkan, saya mohon izin mengoreksi cara pandang, mari kita periksa datanya sekali lagi, atau saya setuju dengan bagian ini, tetapi khawatir pada dampak bagian lain. Bahasanya mungkin lembut, tetapi daya kritisnya tajam. Adab membuat kritik mudah diterima tanpa mengaburkan substansi.

Meritokrasi dan Keadilan Proses

Salah satu isu sensitif di organisasi adalah promosi jabatan. Kerap, rekomendasi diberikan dengan dalih kecepatan, padahal mengabaikan proses yang adil. Prof Mustari menantang peserta menyusun panduan merit yang sederhana, indikator kinerja, jejak kontribusi, dan komitmen belajar. Panduan ini tidak menghapus diskresi pemimpin, tetapi memasang pagar agar keputusan tidak meluncur ke favoritisme.

Meritokrasi yang sehat menumbuhkan rasa aman psikologis. Anggota tidak perlu menebak tebakan nasib. Mereka tahu jalan untuk tumbuh, dan tahu pula mengapa mereka tersisih. Dalam organisasi kader, kejelasan proses adalah vitamin yang menahan talentanya pergi ke tempat lain.

Transparansi Anggaran sebagai Latihan Akuntabilitas

Topik keuangan selalu menegangkan. Di forum ini, ketegangan itu dibuat produktif. Peserta mempraktikkan penyusunan laporan kas sederhana dengan bukti transaksi, memo internal, dan berita acara. Prof Mustari menekankan bahwa transparansi tidak harus menunggu proyek besar. Mulailah dari nominal kecil, tiket konsumsi rapat, sewa sound system, dan biaya transportasi. Kebiasaan rapi di hal kecil memudahkan organisasi saat menangani program bernilai besar.

Ia menyarankan organisasi menaruh papan laporan mingguan di ruang sekretariat, bukan untuk pamer, melainkan sebagai alarm dini. Saat ada angka janggal, koreksi terjadi cepat. Budaya koreksi cepat memotong rantai kecurigaan yang sering menghabiskan energi.

Kepemimpinan Krisis: Tenang, Terlihat, dan Terukur

Dalam setiap siklus organisasi, krisis adalah keniscayaan. Bisa karena kegagalan acara, miskomunikasi, atau insiden yang tak terduga. Prof Mustari merumuskan tiga peran pemimpin dalam krisis, menjadi pusat ketenangan, memastikan ia terlihat dan dapat dijangkau, serta mengukur setiap langkah. Ia menyebut contoh konkret, membuat pernyataan awal yang jujur dalam 24 jam, membuka kanal pengaduan, dan menunjuk satu juru bicara agar pesan tidak tercerai berai.

Sikap defensif berlebihan adalah musuh. Di krisis, publik tidak menuntut kesempurnaan, mereka menuntut kejujuran. Pemimpin yang beretika tahu kapan berkata kami salah, dan kapan menegaskan bahwa isu tertentu masih diverifikasi. Kejelasan ini menahan rumor dan memberi ruang bagi perbaikan.

Kolaborasi dengan Kampus dan Pemerintah Daerah

Forum LK III ini juga jadi ruang mempertemukan jejaring. Dosen, pegiat komunitas, dan perwakilan pemerintah daerah hadir sebagai mitra diskusi. Prof Mustari mendorong pola kolaborasi yang bertumpu pada masalah riil, bukan sekadar seremoni. Misalnya, organisasi mahasiswa menjadi mitra kampus dalam sosialisasi anti perundungan, atau bermitra dengan dinas terkait untuk menggelar lokakarya literasi digital di kelurahan.

Kolaborasi menuntut kejelasan peran. Organisasi membawa energi dan kedekatan dengan warga muda, kampus membawa riset dan metodologi, pemerintah membawa kebijakan dan sumber daya. Jika tiga unsur ini bertemu pada target yang terukur, dampaknya nyata. Etika kepemimpinan terlihat dari kemauan berbagi panggung dan keberanian berbagi tanggung jawab.

Menjaga Kesehatan Mental Pengurus

Bagian yang jarang dibahas terbuka adalah kesehatan mental pengurus. Tuntutan performa, kuliah, dan kehidupan personal kerap bertubrukan. Prof Mustari mengajak organisasi menormalisasi budaya istirahat. Ia menyarankan pembagian shift pengabdian, cuti pengurus yang tertulis, dan kanal curhat yang aman. Kepemimpinan etis mengakui batas manusiawi.

Di level individu, ia menyarankan ritme sederhana, tidur cukup, olahraga ringan, dan menulis jurnal syukur. Kedengarannya klise, tetapi tanpa fondasi ini, prinsip mulia mudah runtuh oleh keletihan. Pemimpin yang menjaga dirinya memberi contoh paling meyakinkan kepada timnya.

“Kader kuat tidak dilihat dari berapa rapat ia sanggupi, melainkan dari kemampuan berkata cukup agar besok ia bisa terus berbuat.”

Membaca Generasi Z: Nilai, Bahasa, dan Ruang Partisipasi

Peserta forum didominasi generasi Z, digital native yang kritis, cepat menangkap paradoks, dan alergi pada jargon kosong. Prof Mustari mengapresiasi kepekaan generasi ini terhadap isu keadilan sosial dan keberlanjutan. Tantangannya adalah menyusun tata kelola organisasi yang memberi ruang partisipasi bermakna, bukan sekadar memanggil mereka hadir di foto.

Ia menganjurkan mekanisme ide cepat, semacam kotak saran digital yang dibahas rutin, serta eksperimen kecil berdampak cepat. Generasi Z bekerja baik dalam sprint terukur, lalu siap melangkah ke maraton setelah melihat hasil awal. Pemimpin etis tidak mengekang ritme ini, ia hanya menyiapkan pagar agar sprint tidak keluar lintasan.

Bahasa Data: Sahabat Baru Aktivisme

Satu bagian yang mencuri perhatian adalah ajakan memeluk data. Etika kepemimpinan, kata Prof Mustari, membutuhkan pembuktian. Kampanye advokasi yang baik bukan hanya lantang, tetapi disuapi angka yang valid. Organisasi perlu melatih anggotanya membaca laporan resmi, memetakan tren, dan menyajikan temuan dalam infografik yang jernih. Bahasa data memperkuat suara moral, membuat publik percaya bahwa seruan perubahan berdiri di atas fakta.

Dengan data, pemimpin juga lebih adil. Ia menilai program bukan dari popularitas pengurus, melainkan dari manfaat yang terukur. Model ini menumbuhkan budaya belajar, di mana kegagalan bukan aib, melainkan bahan perbaikan.

Mentor dan Teladan: Dua Peran yang Tak Bisa Dipisah

Dalam tanya jawab, seorang peserta bertanya bagaimana mencari teladan di tengah kabar buruk soal moral pejabat dan aktivis. Prof Mustari menjawab lugas, pilihlah mentor, bukan idola. Mentor hidup dekat, memberi koreksi dan kesempatan mencoba. Idola mudah memukau dari jauh, tetapi jarang hadir saat kita butuh panduan. Kepemimpinan etis tumbuh dari pertemuan rutin dengan orang orang yang mau menginvestasikan waktunya untuk membentuk kita.

Ia juga mengingatkan agar peserta tidak menunggu teladan sempurna. Setiap manusia punya cacat. Yang membedakan pemimpin etis dan yang tidak adalah cara mereka memperbaiki cacat itu, bukan sekadar menutupinya.

Membumikan Etika Lewat Kebiasaan Organisasi

Sebelum jeda, Prof Mustari memberi menu praktis yang bisa diadopsi segera, agenda rapat yang selalu menyisakan lima menit untuk evaluasi etika keputusan, log pertemuan yang mencatat asumsi yang belum terverifikasi, dan rotasi tanggung jawab agar tidak muncul kantong kekuasaan kecil. Di sekretariat, ditempelkan kalimat singkat yang mengingatkan, keputusan kita berdampak pada orang yang tak hadir di ruangan ini.

Kebiasaan ini membentuk atmosfer. Anggota baru belajar dari cara organisasi bekerja setiap hari, bukan dari seminar semata. Etika, dengan demikian, menetes pelan namun pasti ke lapisan terdalam budaya organisasi.

“Organisasi yang hebat bukan yang paling ramai, melainkan yang paling jernih menilai dirinya sendiri.”

Rasa Percaya yang Menguat Setelah Forum

Ketika sesi berakhir, peserta tidak buru buru bubar. Mereka menyalami pemateri, memotret catatan papan tulis, dan melanjutkan diskusi di koridor. Ada rasa percaya yang menguat, bahwa etika bukan musuh kecepatan, melainkan cara berjalan yang membuat kecepatan kita aman. Para pengurus pulang dengan rencana kecil, menata ulang alur persuratan, memperbaiki template laporan keuangan, dan menyusun kode perilaku media sosial.

Di luar gedung, senja Makassar turun pelan. Jalanan kembali bising, tetapi ada sesuatu yang berbeda pada langkah mereka. Etika kepemimpinan yang dibahas sehari penuh tadi tidak tinggal sebagai kata kata. Ia berubah menjadi kompas yang sederhana namun tegas, yang akan mereka bawa ke ruang rapat, ke proyek sosial, dan ke percakapan yang menunggu di hari hari berikutnya. Dengan kompas itu, perjalanan organisasi mungkin tidak selalu mulus, tetapi arah moralnya terjaga. Dan bila arah terjaga, kemenangan tidak lagi sekadar angka, melainkan manfaat yang menetas di kehidupan nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *