Soal Program PSEL, Dewan: Sepanjang Pro Rakyat, Kami Akan Berikan Respons Positif Pagi baru saja merekah ketika ruang paripurna mulai terisi. Berkas tebal bertuliskan rencana PSEL—pembangkit dari sampah menjadi energi listrik—menyandar di sisi kursi para anggota. Di balik tumpukan dokumen itu, mengemuka satu pesan yang digarisbawahi pimpinan dewan: program apa pun yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diuji dengan ukuran sederhana, apakah manfaatnya langsung terasa oleh warga. Di lorong gedung, kalimat itu disederhanakan lagi oleh seorang anggota: sepanjang pro rakyat, kami akan merespons positif. Di sinilah babak baru pengelolaan sampah dan energi kota diuji, bukan sekadar oleh kelengkapan teknis, tetapi oleh kepekaan sosial dan akuntabilitas penggunaan uang publik.
“Kebijakan yang baik harus bisa dijelaskan di pos ronda dan terasa di dapur warga, bukan hanya indah di slide presentasi.”
Mengapa PSEL Masuk Radar Kebijakan
Dalam beberapa tahun terakhir, kota menghadapi persilangan dua tantangan yang saling berkait. Volume sampah harian yang terus menanjak dan kebutuhan listrik yang tumbuh seiring aktivitas ekonomi. TPA semakin sesak, umur layan memendek, sementara di sisi lain, warga menginginkan layanan kota yang lebih bersih dan stabil. PSEL, atau pengolahan sampah menjadi energi listrik, hadir sebagai salah satu jawaban yang menjanjikan dua solusi dalam satu langkah: mengurangi timbunan sampah sekaligus menambah pasokan listrik.
Bagi dewan, alasan masuk akalnya tidak cukup. Mereka meminta penjelasan terperinci: berapa persen sampah yang benar benar terolah, bagaimana kualitas emisi yang keluar, ke mana residu atau abu dikelola, dan bagaimana pembiayaan proyek ditata agar tidak membebani APBD. PSEL bukan sekadar mesin; ia ekosistem yang harus menyatu dengan sistem persampahan, kebersihan kota, dan tata kelola lingkungan.
Kriteria Pro Rakyat: Ukurannya Nyata, Bukan Retorika
Saat menyebut “pro rakyat”, dewan memecahnya menjadi sejumlah kriteria yang dapat diukur. Pertama, akses informasi publik. Warga berhak tahu rencana, teknologi, dampak lingkungan, hingga skema biaya secara terbuka. Kedua, manfaat langsung. Jalan menuju TPA diperbaiki, armada angkut ditata, warga di sekitar fasilitas mendapatkan kompensasi yang pantas, dan penerangan lingkungan meningkat karena suplai listrik yang andal.
Ketiga, efek domino ekonomi. PSEL tidak boleh mematikan mata pencaharian pelapak dan pemulung; justru sebaliknya, harus ada program integrasi agar mereka naik kelas melalui skema bank sampah, unit daur ulang, atau kemitraan pengolahan material anorganik bernilai tinggi. Keempat, tarif layanan—termasuk tipping fee—harus rasional dan dikunci dengan mekanisme evaluasi berkala agar tidak melompat tanpa kendali.
“Pro rakyat artinya manfaatnya dirasakan dari hulu ke hilir: dari petugas sapu jalan hingga ibu ibu yang menjemur pakaian di belakang rumah.”
Teknologi: Bukan Sekadar Mesin, Melainkan Standar Kualitas Udara
Salah satu titik krusial ada pada pilihan teknologi. PSEL punya banyak rupa, dari sistem termal seperti insinerasi terkendali, gasifikasi, hingga refuse-derived fuel sebagai bahan bakar substitusi. Dewan menekankan bahwa pilihan apa pun harus bertumpu pada dua hal: kemampuan reduksi sampah secara signifikan dan standar emisi yang memenuhi baku mutu. Artinya, bukan hanya “sampah hangus, listrik menyala,” melainkan “udara tetap sehat, pekerja terlindungi, dan residu ditangani aman.”
Di ruang pembahasan, perangkat kendali polusi menjadi tamu kehormatan: desulfurisasi, denitrifikasi, bag filter, hingga continuous emission monitoring system. Dewan menginginkan agar data emisi utama—partikulat, NOx, SO2, dioxin furan—tersaji real time dan bisa diakses publik dalam bentuk dashboard sederhana. Transparansi semacam itu menjadi pagar yang mencegah standar turun pelan pelan tanpa ada yang menyadari.
Skema Pembiayaan: KPBU, Konsesi, dan Tanggung Jawab Anggaran
Kekhawatiran klasik dalam proyek infrastruktur sosial adalah beban jangka panjang pada APBD. Karena itu, dewan mendorong skema kreatif semisal kerja sama pemerintah dan badan usaha, konsesi, atau campuran yang membagi risiko dengan adil. Prinsipnya jelas: dana publik tidak boleh menjadi satu satunya bantalan, sementara investor privat juga tidak boleh dibiarkan memindahkan semua risiko ke pangkuan warga.
Dokumen perjanjian harus memuat mekanisme renegosiasi bila variabel utama berubah—misalnya volume sampah tidak sesuai proyeksi atau harga listrik spot bergeser. Kejelasan ini penting agar pemerintah daerah tidak terjebak pada kontrak yang sulit ditinjau ulang. Di sisi lain, insentif berbasis kinerja—pay for performance—bisa dipakai untuk memastikan operator menjaga efisiensi dan kualitas.
“Uang publik itu seperti oksigen. Ia menopang hidup kota. Karena itu setiap liter yang dipakai harus bisa dihitung napasnya.”
Integrasi dengan Bank Sampah dan Daur Ulang
Salah kaprah yang sering terjadi adalah menganggap PSEL sebagai “jawaban tunggal” sehingga program daur ulang dan pengurangan di sumber kurang diperhatikan. Dewan menolak pendekatan itu. PSEL, tegas mereka, justru harus duduk di hilir setelah hulu diperkuat. Artinya, pemilahan di rumah tangga, penguatan bank sampah, dan industri daur ulang tetap menjadi pilar utama. Yang masuk ke PSEL adalah residu yang memang sulit didaur ulang secara ekonomis.
Skema kerja sama dirancang agar pelapak dan pemulung memperoleh posisi yang adil. Misalnya, zona pemilahan pra-PSEL yang dioperasikan koperasi pelapak, pelatihan keselamatan kerja, serta akses modal mikro untuk memperbarui alat angkut. Dengan begitu, PSEL menjadi bagian dari ekonomi sirkular, bukan penghalang.
Lingkungan Sekitar: Kompensasi, Tata Ruang, dan Akses Kesehatan
Membangun fasilitas PSEL mirip menanam benda besar di halaman kota; dampaknya terasa oleh warga sekitar. Dewan menegaskan perlunya skema kompensasi yang riil bagi komunitas terdampak. Bukan hanya bantuan satu kali, melainkan program berkelanjutan: peningkatan kualitas air bersih, perbaikan sekolah, pelatihan kerja bagi anak muda, dan layanan kesehatan berkala untuk memantau kualitas udara, keluhan pernapasan, atau iritasi kulit.
Aspek tata ruang juga dibahas. Akses kendaraan berat harus dipisahkan dari permukiman padat, jalur hijau di sekeliling fasilitas dihadirkan sebagai penyangga, dan rute angkut sampah diatur agar tidak menimbulkan kemacetan di jam sibuk. Kecil kecil menumpuk jadi besar; infrastruktur yang tidak memancing keluhan sehari hari akan lebih mudah dirawat dukungan publiknya.
Manajemen Residu: Dari Fly Ash hingga Bottom Ash
Setiap fasilitas termal melahirkan residu. Fly ash dan bottom ash bukan sekadar “debu,” melainkan material yang butuh penanganan khusus. Dewan meminta agar rencana pengelolaan residu ditulis sejak awal dan diuji lewat pilot project. Ada opsi pemanfaatan terbatas untuk material konstruksi non-struktural setelah melalui stabilisasi dan uji toksisitas, ada pula opsi penimbunan terkontrol di sel residu khusus. Intinya, tidak boleh ada kejutan di belakang hari. Masalah lingkungan paling mahal adalah yang dikira kecil lalu dibiarkan.
“Kebijakan yang beradab mengenali konsekuensi sampai ke reremahnya, bukan hanya memamerkan kilau di poster.”
Roadmap Implementasi: Uji Coba, Evaluasi, dan Skala Penuh
Dewan menolak gaya “sekali jadi” untuk proyek kompleks. Mereka mendorong tahapan yang wajar: uji coba skala menengah, audit kinerja independen, evaluasi tipping fee, lalu peningkatan kapasitas. Tahapan seperti ini memang menuntut kesabaran, tetapi justru mengurangi risiko kegagalan besar yang memakan energi politik dan biaya sosial. Di tiap tahap, pelibatan pihak ketiga independen—kampus, asosiasi profesi, dan komunitas lingkungan—menjadi kewajiban, bukan kosmetik.
Keteraturan tahapan juga memudahkan komunikasi ke publik. Warga paham kapan suara mereka didengar, kapan hasil pengujian diumumkan, dan kapan fasilitas beroperasi lebih luas. Kepastian ritme mengurangi ruang rumor dan mematangkan kepercayaan.
Transparansi Data: Dashboard Publik dan Hak Warga untuk Tahu
Salah satu poin yang ditekankan pimpinan dewan adalah hak warga untuk mengakses data PSEL tanpa berbelit. Karena itu, mereka mendorong lahirnya dashboard publik yang menampilkan volume sampah terolah, jam operasi, downtime, komposisi sampah, hingga emisi utama harian. Bahasa yang dipakai harus sederhana, grafik yang ramah gawai, dan ada penjelasan singkat untuk setiap lonjakan atau penurunan. Jika terjadi pelanggaran batas emisi, mekanisme peringatan dan sanksi harus bisa dilacak. Transparansi bukan sekadar unggahan PDF berkala, melainkan percakapan dua arah.
“Kepercayaan publik tumbuh dari kebiasaan membuka data sebelum diminta.”
Dampak Ekonomi: Dari Energi ke Peluang Kerja
PSEL berpotensi menciptakan rantai nilai baru. Selain listrik, residu tertentu dapat menjadi bahan baku industri sekunder setelah diproses aman, layanan pemeliharaan memerlukan tenaga teknisi tersertifikasi, dan manajemen logistik sampah memicu pembaruan armada dan sistem rute. Dewan meminta agar operator menyertakan peta kebutuhan tenaga kerja, jenis sertifikasi yang dibutuhkan, dan rencana alih keterampilan bagi pekerja persampahan eksisting.
Di hulu, penguatan bank sampah membuka peluang usaha mikro: pengolahan plastik jadi bijih, kerajinan kertas daur ulang, hingga kompos untuk urban farming. Jika dirajut, ekosistem ini menyerap tenaga kerja lokal dan mengalirkan nilai tambah di wilayah yang selama ini dekat dengan TPA.
Edukasi Publik: Mengubah Kebiasaan, Memperpanjang Umur Kebijakan
Teknologi secanggih apa pun akan patah kalau kebiasaan warga tidak berubah. Dewan menuntut porsi anggaran edukasi yang nyata dalam paket PSEL. Mulai dari modul pemilahan di rumah, pelatihan kader lingkungan di RT RW, kemitraan dengan sekolah untuk program “bawa pulang sampahmu,” hingga insentif pajak atau retribusi bagi kawasan yang patuh pada standar pengurangan sampah. Edukasi bukan poster, ia butuh teladan dan kemudahan.
Kota yang berhasil mengelola sampah selalu memiliki cerita tentang kebiasaan yang diulang ribuan kali. Dari situ lahir angka besar yang stabil. PSEL menjadi jangkar yang menampung residu, bukan kran yang membuat warga merasa boleh membuang apa saja asal “nanti juga jadi listrik.”
Kepastian Hukum dan Penegakan: Dari Kontrak hingga Sanksi
Dalam rapat kerja, dewan menyoroti pentingnya pasal yang jelas tentang pelanggaran. Apa yang terjadi jika operator gagal memenuhi target minimal pengolahan. Bagaimana skema denda, dan ke mana uang denda digunakan. Bagaimana jika pemerintah terlambat membayar layanan karena kondisi fiskal, atau volume sampah menyusut karena program hulu sangat berhasil. Kepastian seperti ini mencegah konflik di tengah jalan yang bisa melumpuhkan layanan publik.
Rantai penegakan juga dibahas. Pengawasan teknis oleh dinas terkait, audit lingkungan berkala, dan inspeksi mendadak bila ada laporan warga. Semuanya ditopang oleh saluran pengaduan yang responsif. Setiap laporan harus mendapat nomor tiket, ada batas waktu penanganan, dan hasilnya diumumkan. Rasa adil lahir dari prosedur yang konsisten.
“Kepastian hukum adalah jembatan antara niat baik dan hasil yang bisa dipegang.”
Menghindari Jebakan Proyek Mercusuar
Dewan mengingatkan eksekutif agar tidak tergoda menjadikan PSEL sebagai mercusuar yang menyilaukan tetapi sulit dirawat. Kecanggihan teknologi penting, namun kemudahan pemeliharaan lebih penting. Suku cadang harus mudah diakses, SDM lokal harus disiapkan sejak awal, dan ketergantungan pada satu vendor tunggal dihindari. Pilihan desain yang modular memberi ruang perbaikan tanpa memadamkan keseluruhan sistem.
Kota telah belajar dari banyak proyek yang mengagumkan saat peresmian, tetapi redup di tahun ketiga karena beban operasional tak tertangani. PSEL yang pro rakyat adalah yang stabil dalam senyap, bukan yang hanya ramai saat pemotongan pita.
Menimbang Risiko, Menata Mitigasi
Setiap proyek besar membawa risiko. Gangguan pasokan sampah karena cuaca ekstrem, kerusakan alat kritis, atau protes warga akibat bau tak sedap. Dokumen manajemen risiko harus jujur menuliskan semua kemungkinan, tidak menyisakan “catatan kaki” yang dikubur. Mitigasi disiapkan: unit cadangan, jadwal perawatan prediktif, dan rencana komunikasi krisis. Begitu ada gejala, publik diberi kabar lebih dulu, bukan setelah keluhan menumpuk.
Risiko sosial juga dipetakan: potensi konflik dengan pelapak, perubahan rute angkut, dan tekanan lalu lintas. Setiap perubahan menyentuh kehidupan nyata orang. Menjelaskannya di awal adalah bentuk penghormatan kepada warga.
Sikap Dewan: Kritis-Produktif, Bukan Kritis-Obstruktif
Frasa “respons positif sepanjang pro rakyat” bukan lampu hijau tanpa syarat. Dewan memposisikan diri sebagai penjaga akal sehat. Mereka menagih data, membahas risiko, menyesuaikan jadwal, namun pada saat bersamaan menawarkan jalan keluar agar kebijakan tidak mengawang. Sikap kritis produktif inilah yang dibutuhkan agar PSEL tidak menjadi wacana yang menua, melainkan layanan yang lahir sehat.
Di tingkat komisi, pembahasan lintas fraksi memotong garis politik jangka pendek. Sampah dan listrik adalah urusan semua orang. Publik pun diajak mengawasi, sebab partisipasi adalah selimut paling hangat bagi kebijakan yang ingin bertahan lama.
“Tugas kami bukan mengerem atau menggas sembarang, melainkan menjaga agar kendaraan ini sampai tujuan dengan selamat.”
Bagaimana Warga Bisa Terlibat Sejak Awal
Di luar ruang dewan, kota menyiapkan kanal partisipasi yang sederhana. Forum konsultasi lingkungan, jajak pendapat berbasis RW, dan uji publik dokumen teknis yang diringkas menjadi bahasa sehari hari. Warga dapat memberi masukan rute truk sampah, jam operasional, atau lokasi buffer zone yang paling masuk akal. Komentar yang masuk dicatat, ditanggapi, dan menjadi bagian dari versi final dokumen.
Keterlibatan semacam ini membuat warga merasa memiliki. Ketika warga memiliki, dukungan moral tumbuh dan perilaku keseharian ikut menyesuaikan. Pemilahan di rumah jadi kebiasaan, pelanggaran dilaporkan, dan sampah liar berkurang karena rasa malu sosial bekerja.
Menatap Implementasi: Disiplin, Data, dan Doa yang Bekerja
Pada akhirnya, PSEL akan dinilai oleh hal hal yang sederhana. Apakah bau menyurut, apakah tumpukan liar menghilang, apakah listrik bertambah andal, apakah tarif tidak membengkak, apakah pekerja di lapangan pulang dengan aman. Dewan memilih berdiri di sisi warga dalam mengajukan pertanyaan pertanyaan itu, sembari memberi ruang bagi eksekutif dan operator untuk bekerja dengan ritme yang realistis.
Program besar selalu membutuhkan kombinasi tiga hal: disiplin menjalankan rencana, data untuk mengoreksi langkah, dan doa orang banyak agar niat baik tidak tersesat di jalan. Jika tiga hal itu berjalan berdampingan, maka frasa “sepanjang pro rakyat, kami respons positif” tidak berhenti sebagai slogan, melainkan berubah menjadi cara kerja kolektif yang dapat diandalkan. Dan di kota ini, cara kerja seperti itulah yang paling dibutuhkan.