100 Mahasiswa UMMA Maros Belajar Kebal Hoaks di Sekolah Kebangsaan Tular Nalar 30 MAFINDO

Pendidikan44 Views

Fenomena hoaks yang semakin marak di era digital telah menjadi ancaman serius bagi literasi masyarakat, khususnya generasi muda. Menyadari hal tersebut, 100 mahasiswa UMMA mengikuti kegiatan Sekolah Kebangsaan Tular Nalar 30 yang digelar oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Program ini menjadi ruang belajar bagi para mahasiswa untuk memahami cara berpikir kritis, menyaring informasi, serta menjadi agen penyebar kebenaran di tengah banjirnya informasi digital.

“Melawan hoaks bukan hanya soal membantah kebohongan, tetapi membangun kesadaran agar setiap individu mau mencari kebenaran secara utuh.”

Semangat Literasi Digital di Kalangan Mahasiswa UMMA

Kegiatan Sekolah Kebangsaan Tular Nalar 30 yang berlangsung di Aula Kampus mahasiswa UMMA Maros ini menghadirkan antusiasme tinggi dari para mahasiswa. Mereka datang dari berbagai jurusan, mulai dari komunikasi, pendidikan, hingga teknik. Seluruh peserta mengikuti sesi pembelajaran interaktif yang dikemas dengan pendekatan modern, seperti simulasi, permainan edukatif, dan diskusi kelompok.

Dalam sambutannya, Rektor mahasiswa UMMA, Dr. H. Andi Syamsul Bahri, M.Ag, menekankan pentingnya generasi muda memahami literasi digital sebagai bagian dari pendidikan karakter kebangsaan. Menurutnya, kampus harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang cerdas bermedia.

“Mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa. Jika mereka terjebak dalam informasi palsu, maka masa depan bangsa ikut terancam.”

Kolaborasi Mahasiswa UMMA dan MAFINDO

Kerja sama antara mahasiswa UMMA dan MAFINDO bukanlah hal baru. Sejak dua tahun terakhir, kedua institusi ini telah aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan literasi digital dan pelatihan jurnalisme warga. Namun, edisi Tular Nalar 30 menjadi momentum penting karena membawa pendekatan baru yang lebih kontekstual dan dekat dengan kehidupan mahasiswa.

Dalam program ini, para peserta tidak hanya diajak mengenali hoaks, tetapi juga memahami bagaimana disinformasi bekerja secara sistematis. Mereka belajar cara memverifikasi informasi menggunakan alat pengecekan fakta seperti Google Fact Check Tools, Hoax Buster Tools, dan TurnBackHoax.id.

“Melawan hoaks itu seperti vaksin. Sekali kita paham cara mengenalinya, imunitas berpikir kita akan meningkat dengan sendirinya.”

Modul Belajar: Dari Etika Digital hingga Keamanan Siber

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini terdiri dari beberapa modul utama yang dirancang langsung oleh tim MAFINDO dan didukung oleh Google.org serta Siberkreasi. Modul pertama membahas tentang Etika Digital, yang menekankan bagaimana mahasiswa harus bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial.

Modul kedua membahas Teknik Deteksi Hoaks, di mana mahasiswa diajarkan untuk mengenali ciri-ciri berita palsu, gambar hasil rekayasa, dan narasi manipulatif yang sering digunakan untuk memecah belah masyarakat.

Modul ketiga yang paling menarik adalah Keamanan Siber dan Privasi Digital. Dalam sesi ini, mahasiswa belajar bagaimana melindungi data pribadi, mengenali modus phishing, serta mencegah penyebaran informasi sensitif yang bisa disalahgunakan pihak tak bertanggung jawab.

“Kita sering menganggap media sosial itu ruang bebas, padahal setiap klik dan unggahan punya dampak sosial yang panjang.”

Diskusi Interaktif dan Tantangan Lapangan

Salah satu hal yang membuat kegiatan ini berbeda adalah pendekatan pembelajarannya yang tidak monoton. Mahasiswa tidak hanya duduk mendengarkan, tetapi juga berperan aktif dalam setiap sesi. Mereka diajak berdebat tentang isu-isu aktual seperti penyebaran hoaks politik, isu agama, dan kesehatan.

Sesi debat ini dibimbing langsung oleh fasilitator dari MAFINDO yang berpengalaman dalam menangani berbagai kasus hoaks nasional. Setiap kelompok diberi kasus simulasi, lalu mereka diminta untuk menemukan kebenaran menggunakan data dan sumber kredibel.

“Semakin banyak orang muda yang berani memeriksa fakta, semakin kecil ruang bagi kebohongan untuk tumbuh di masyarakat.”

Keterlibatan Dosen dan Pemerintah Daerah

Kegiatan ini juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah dan civitas akademika. Beberapa dosen mahasiswa UMMA turut hadir dan menjadi pembimbing selama pelatihan berlangsung. Mereka melihat kegiatan ini sebagai bagian penting dari implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), di mana mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dan tangguh menghadapi arus informasi.

Pemerintah Kabupaten Maros melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) juga mengapresiasi kegiatan ini. Kepala Diskominfo menilai bahwa program seperti Tular Nalar 30 membantu pemerintah dalam memperkuat literasi digital masyarakat, terutama di kalangan anak muda.

“Program ini mengajarkan nilai kebangsaan yang sesungguhnya, karena hoaks bukan sekadar kesalahan informasi, tapi ancaman terhadap persatuan bangsa.”

Tantangan Generasi Z dalam Era Digital

Generasi Z mahasiswa UMMA yang hidup dalam dunia digital menghadapi tantangan yang berbeda dibanding generasi sebelumnya. Informasi kini datang begitu cepat dan tanpa filter. Akibatnya, banyak yang tidak sempat memverifikasi sebelum membagikan ulang ke media sosial.

Data dari Kementerian Kominfo menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia masih kesulitan membedakan berita asli dan palsu. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya program seperti Tular Nalar yang membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis.

Di sisi lain, mahasiswa kini dihadapkan pada banjir konten yang tidak hanya berisi hoaks, tetapi juga ujaran kebencian, propaganda politik, dan teori konspirasi. Kondisi ini membuat literasi digital menjadi kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh setiap mahasiswa.

“Literasi digital bukan hanya kemampuan teknis, tapi juga kesadaran moral untuk tidak menjadi bagian dari penyebar kebohongan.”

Testimoni Mahasiswa: Antara Tertantang dan Terinspirasi

Banyak peserta mengaku kegiatan ini membuka wawasan mereka tentang pentingnya berpikir kritis. Nurul Fadillah, mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris, mengaku awalnya tidak begitu peduli dengan isu hoaks karena merasa hal itu tidak berdampak langsung. Namun setelah mengikuti pelatihan, pandangannya berubah.

Ia kini lebih berhati-hati dalam membagikan informasi dan bahkan mulai menjadi sukarelawan fact-checker di lingkungannya. Hal serupa juga disampaikan oleh Ilham Rahman mahasiswa UMMA, mahasiswa Ilmu Komunikasi, yang menilai program ini bisa menjadi gerakan sosial yang besar jika diterapkan di seluruh kampus Indonesia.

“Ternyata melawan hoaks itu tidak sulit, asal kita mau belajar dan peduli dengan dampak sosialnya.”

Tantangan dan Rencana Lanjutan

Meski kegiatan mahasiswa UMMA berjalan sukses, pihak MAFINDO mengakui masih ada tantangan besar dalam memperluas dampak gerakan ini. Tidak semua kampus memiliki fasilitas dan dukungan sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pelatihan sejenis.

Untuk itu, MAFINDO bersama mahasiswa UMMA berencana membuat Pusat Literasi Digital Mahasiswa yang berfungsi sebagai wadah pelatihan, riset, dan advokasi kebijakan publik terkait media digital. Diharapkan ke depan, pusat ini bisa melahirkan generasi akademisi yang mampu menjadi pendidik literasi digital di berbagai daerah.

“Kampus harus menjadi benteng terakhir melawan kebodohan digital. Literasi bukan pilihan, tapi kewajiban bagi setiap insan akademik.”

Spirit Kebangsaan dalam Tular Nalar 30

Mahasiswa UMMA, program ini bukan hanya soal teknologi dan informasi, tetapi juga tentang menanamkan nilai kebangsaan. Dalam sesi terakhir, mahasiswa diajak merefleksikan bagaimana hoaks dapat memecah belah bangsa, menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, bahkan menimbulkan konflik sosial.

MAFINDO mengajak peserta untuk menjadikan kebangsaan sebagai filter moral dalam bermedia sosial. Artinya, sebelum menyebarkan informasi, setiap orang harus menimbang apakah konten tersebut membawa manfaat bagi persatuan atau justru menimbulkan perpecahan.

“Kebebasan berekspresi di dunia digital harus dibarengi dengan tanggung jawab moral. Tanpa itu, kebebasan hanya akan berubah menjadi bumerang.”

Penutup yang Menginspirasi Generasi Muda

Di akhir kegiatan, seluruh peserta berkomitmen menjadi agen literasi digital di lingkungan kampus dan masyarakat. Mereka membentuk komunitas kecil yang akan rutin melakukan diskusi, kampanye edukatif, dan pelatihan verifikasi fakta secara mandiri.

Kegiatan Sekolah Kebangsaan Tular Nalar 30 di kampus UMMA Maros ini menjadi bukti bahwa perubahan dimulai dari ruang kecil. Ketika mahasiswa mulai berpikir kritis dan berani menolak kebohongan, maka masa depan literasi bangsa akan lebih cerah dan berdaya.

“Kita tidak bisa menghentikan arus informasi, tapi kita bisa belajar menjadi navigator yang bijak di tengah samudra digital.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *