Sosok Alwi Hamu di Mata Danny Pomanto, Seperti Orang Tua Sendiri

Sosok Alwi Hamu di Mata Danny Pomanto, Seperti Orang Tua Sendiri Pagi di Makassar selalu mulai lebih cepat bagi orang yang punya janji dengan kenangan. Di sebuah sudut kota, secangkir kopi hitam mengepul seperti doa, dan percakapan tentang sosok yang mengikat banyak hati kembali dibuka. Nama itu sederhana sekaligus berat: Alwi Hamu. Bagi Mohammad Ramdhan Pomanto, Wali Kota Makassar yang akrab disapa Danny Pomanto, Alwi bukan sekadar tokoh pers, pengusaha media, atau figur publik Sulawesi Selatan. Dalam banyak momen, ia hadir seperti orang tua sendiri. Kedekatan yang melampaui protokol, nasihat yang melampaui hitungan jabatan, dan teguran yang terasa seperti pagar agar tidak terpeleset di jalan yang licin.

“Ada nasihat yang tak perlu direkam. Ia tinggal di dada, bekerja diam diam memperbaiki cara kita memandang dunia.”

Pertemuan yang Memanjang Menjadi Persaudaraan

Kisah tentang kedekatan dua tokoh ini sering diceritakan dalam penggalan penggalan sederhana. Mulanya kesempatan, kemudian kesempatan itu tumbuh menjadi percakapan rutin, lalu bergeser menjadi kebiasaan. Tidak selalu di ruang resmi. Kadang di teras kantor, kadang di sela peresmian acara, kadang di telepon yang singkat tetapi mengubah cara mengambil keputusan. Alwi berbicara dengan gaya yang menenangkan, memberi bingkai pada isu tanpa membuat pendengarnya merasa digurui. Danny menyimak, menanggapi, menimbang, dan membawa pulang pokok pikiran itu sebagai bahan bakar kerja.

Yang membuat relasi ini bertahan bukan kesamaan selera, melainkan kesamaan kompas. Alwi menempatkan integritas sebagai poros, sementara Danny, yang terbiasa menata kota dari detail yang sering luput, menemukan titik temu pada etos menaruh hal benar di tempat yang semestinya. Dari situlah persaudaraan yang tidak sedarah itu mendapat napas panjang.

Cara Alwi Menegakkan Kata Kata

Bagi Alwi, kata adalah janji. Dan janji, bila sudah diucap, harus menemui jalannya sendiri. Ia membesarkan dunia jurnalisme daerah dengan meletakkan standar yang tegas: akurasi sebagai syarat, keberimbangan sebagai kebiasaan, dan keberanian sebagai nadi. Bagi Danny, yang hidup di pusaran kebijakan dan selera publik, standar ini seperti pengingat harian. Bahwa kebijakan tidak cukup baik bila hanya membahagiakan pengambil keputusan. Ia harus dapat dipertanggungjawabkan, tersusun dengan data, dan sehat untuk jangka panjang.

Dalam percakapan mereka, jurnalisme bertemu tata kelola. Alwi menegaskan pentingnya logika dan fakta, Danny menambahkan kebutuhan akan keindahan yang membuat warga mau merawat kotanya. Pertemuan dua pandang ini membuat ide ide yang lahir tidak sekadar kuat di atas kertas, melainkan juga sanggup berjalan di trotoar.

“Kebenaran yang baik tidak hanya benar dalam angka, tetapi juga ramah dalam cara disampaikan.”

Menjadi Orang Tua di Saat yang Tidak Ramai

Kedewasaan seorang “orang tua” terlihat bukan ketika sorak sorai mengalun, melainkan saat sunyi datang. Alwi hadir di momen momen semacam itu. Tidak selalu dengan solusi lengkap, tetapi dengan kalimat pendek yang mengikat ketenangan. Ketika keputusan politik, sosial, atau kebudayaan menuntut keberanian, Alwi mengingatkan bahwa jarak terpendek menuju kepercayaan publik adalah kejujuran. Kalimat yang diulangnya tidak menua: jangan menutup kesalahan, perbaiki. Jangan membiarkan rumor memimpin, jelaskan.

Ada saat ketika kritik berdatangan seperti hujan peluru. Danny yang berada di garis depan pemerintahan kota tentu merasakannya. Alwi menempatkan kritik sebagai vitamin, bukan racun. Ia memisahkan antara serangan yang hanya gaduh dengan kritik yang punya tulang punggung. Dari situ lahir kebiasaan memeriksa ulang data, merapikan narasi, dan mengakui lubang yang terbuka agar bisa ditambal.

Siri dan Pacce, Nilai yang Tidak Pernah Pensiun

Sulawesi Selatan punya dua kata kunci yang sulit diterjemahkan penuh, tetapi mudah dirasakan: siri dan pacce. Martabat dan solidaritas. Alwi menghidupkan keduanya dalam praktik sehari hari. Siri membuatnya tegak saat harus menolak sesuatu yang tidak benar, pacce membuatnya lentur saat harus mengerti kesulitan orang lain. Di meja kecil tempat mereka sering bertukar kabar, dua nilai ini menjadi landasan yang tidak diucapkan terlalu sering tetapi selalu hadir.

Bagi Danny, memimpin kota pelabuhan berarti menjaga keseimbangan antara tegas pada aturan dan peka pada manusia yang hidup di antara aturan. Alwi, sebagai senior, mengajarkan cara menjaga wibawa tanpa kehilangan empati. Nasihat yang tampak sederhana ini menyelamatkan banyak kebijakan dari jebakan populer sesaat.

“Martabat tanpa empati mudah menjadi keras. Empati tanpa martabat mudah menjadi lemah. Di antara keduanya kita belajar berjalan.”

Masih Percaya pada Pendidikan Pelan Pelan

Di dunia yang serba cepat, Alwi tetap percaya pada pendidikan pelan pelan. Ia menganggap rubrik opini yang digarap serius bisa sekuat ruang kuliah, bahwa liputan mendalam dapat menjadi laboratorium berpikir bagi publik. Danny menjemput gagasan itu dalam bentuk kebijakan yang mengundang warga belajar mencintai kotanya. Taman yang hidup, perpustakaan yang rendah hati, trotoar yang benar benar ramah, dan festival budaya yang memberi ruang untuk cerita lokal.

Keduanya paham bahwa publik tidak diminta berubah seketika. Mereka diajak berjalan. Dan orang cenderung bersedia berjalan jika merasakan hasil di depan mata. Alwi menaruh kepercayaan pada kata yang jernih, Danny menaruh energi pada karya yang kasatmata. Kombinasi yang jarang tetapi efektif.

Teguran yang Menumbuhkan, Bukan Membenamkan

Salah satu ciri orang tua yang baik adalah kesediaan menegur dengan cara yang membuat anaknya tumbuh. Alwi tidak ragu menyampaikan keberatan. Ia memanggil bukan untuk memalukan, tetapi untuk mengingatkan. Nada suaranya tidak naik turun, tetapi intinya sampai. Danny, yang terbiasa menerima banyak opini, mengenali nada teguran ini sebagai sinyal penting. Di sana ia belajar bahwa seorang pemimpin yang sehat adalah mereka yang memiliki tempat untuk ditarik kembali ke garis lurus saat langkah terlalu miring.

Teguran yang menumbuhkan juga terjadi sebaliknya. Danny, dengan medan tugas berbeda, membawa cerita lapangan yang menantang idealisme. Di titik inilah perbincangan menjadi kaya. Ideal bertemu real, prinsip bertemu kemungkinan. Hasilnya bukan kompromi yang keropos, melainkan strategi yang lebih matang.

“Kawan yang baik bukan yang selalu setuju, melainkan yang berani menahan lengan kita ketika tepi jurang sudah terlalu dekat.”

Jejak di Ruang Redaksi, Jejak di Ruang Kebijakan

Bagi banyak jurnalis muda, nama Alwi Hamu setara pintu. Ia membuka kesempatan, mendorong, sekaligus menuntut. Standar yang ia tetapkan memaksa orang memperkaya bacaan, memeriksa ulang narasumber, dan memahami konteks sebelum menulis. Jejak itu tidak hilang, bahkan ketika beberapa alumni redaksinya meniti karier di medan lain.

Di ruang kebijakan, Danny mengakui bahwa cara pandangnya terhadap komunikasi publik banyak ditempa dari kedekatan dengan rumah besar media yang dibangun Alwi. Tidak sekadar mengabarkan apa yang selesai, tetapi menjelaskan mengapa sesuatu dikerjakan, bagaimana dampaknya, dan kapan publik bisa menilai. Bahasa yang pelan namun ajek ini menolong banyak program kota melalui fase skeptis awal.

Mengendus Arah Angin, Menjaga Arah Kompas

Alwi punya naluri membaca arah angin zaman. Ia peka pada gelombang opini, sensitif pada arus budaya yang naik turun. Namun ia tidak menjadikan arah angin sebagai penentu tunggal. Kompas moral ia jaga teguh, sehingga langkah yang diambil tidak sekadar mengikuti mayoritas sesaat. Danny menyerap seni ini dalam kebijakan yang kadang tidak populer di awal tetapi terasa manfaatnya di belakang. Pengelolaan sampah yang lebih disiplin, penataan ruang yang mengurangi godaan mengambil jalan pintas, hingga pembatasan yang menjaga ruang publik tetap milik bersama.

Membaca angin tanpa kehilangan kompas adalah keahlian yang dibutuhkan di kota besar. Banyak kebijakan runtuh bukan karena salah tujuan, melainkan salah cara membaca timing. Pelajaran tentang waktu, dari ruang redaksi ke ruang rapat, menjadi salah satu warisan paling berharga dalam hubungan dua sosok ini.

“Kadang kita perlu membiarkan badai lewat sebelum memancang tiang yang lebih tinggi.”

Mewariskan Cara, Bukan Mengikat Nama

Kedekatan yang sehat tidak membangun kultus. Alwi tidak mengunci nasihatnya pada namanya sendiri. Ia mewariskan cara. Cara memeriksa, cara menahan diri, cara berkata “saya tidak tahu” ketika informasi belum lengkap. Danny menghidupkan warisan ini dalam etos kerja tim: keputusan kolektif yang dicatat, evaluasi yang disepakati, dan keberanian mengubah haluan bila data berkata lain.

Dalam pola ini, nama boleh berganti, tetapi mutu tetap terjaga. Orang tua yang bijak tidak mencetak pengagum, melainkan pembelajar. Itulah mengapa, di kalangan orang dekat, Alwi sering dibicarakan bukan lewat daftar prestasi, melainkan lewat kalimat singkat yang ia lontarkan di waktu yang pas.

Kota Sebagai Buku Terbuka

Satu gagasan yang kerap menyatukan keduanya adalah keyakinan bahwa kota harus menjadi buku terbuka. Bagi Alwi, transparansi adalah syarat berita yang sehat. Bagi Danny, transparansi adalah syarat kebijakan yang tahan banting. Keduanya menginginkan warga dapat mengakses penjelasan, memeriksa dokumen yang relevan, dan memahami jalur partisipasi. Kelindan ini memperkecil ruang salah paham.

Saat kota menjadi buku terbuka, kritik menemukan halaman yang tepat, dukungan menemukan bab yang relevan, dan seteru menemukan catatan kaki yang tak bisa diabaikan. Transparansi memaksa semua pihak bersikap dewasa. Ia adalah pelajaran panjang yang tidak selesai dalam satu periode, tetapi keduanya sepakat menulisnya bab demi bab.

“Keterbukaan bukan kebaikan hati pemerintah. Ia hak warga dan kewajiban pemimpin.”

Rasa Duka yang Diubah Menjadi Janji Kerja

Setiap orang besar menyisakan ruang kosong ketika berpulang. Kehilangan itu hadir sebagai duka, tetapi juga sebagai janji yang harus ditepati oleh mereka yang ditinggalkan. Pada saat saat seperti itu, hubungan “seperti orang tua sendiri” memanggil peran barunya. Ia bukan hanya kenangan, melainkan kompas yang tetap berfungsi. Danny menafsirkan ruang kosong itu sebagai undangan untuk bekerja lebih tertib, lebih jernih, lebih jujur terhadap batas, dan lebih berani terhadap tantangan.

Mereka yang mengenal keduanya tahu, kesedihan tidak dipamerkan berlebihan. Ia dikerjakan dalam bentuk kerja yang lebih rapi, percakapan yang lebih tenang, dan pelayanan yang lebih telaten. Di situlah duka menjadi tenaga, bukan beban.

Membiarkan Kisah Ini Mengalir di Kota

Setiap kota butuh cerita yang membuat warganya merasa lebih baik menjadi bagian dari tempat yang sama. Kisah tentang Alwi Hamu di mata Danny Pomanto adalah salah satunya. Ia bukan legenda yang terlalu jauh untuk diraih. Ia cerita tetangga yang masuk akal: tentang senior yang sabar, tentang pemimpin yang mau diajar, tentang cara menaruh nilai nilai lama ke dalam mesin modern dengan tanpa kehilangan makna.

Cerita ini mengalir di warkop, di ruang redaksi, di kantor kelurahan, di ruang kelas, dan di telepon yang tiba tiba berdering saat malam turun. Ia tidak menuntut tepuk tangan. Ia hanya mengingatkan bahwa di balik kebijakan, papan headline, dan panggung acara, ada hubungan manusia yang jujur, pelan, dan mengikat. Hubungan yang, bila dirawat, melahirkan kota yang lebih teduh.

“Kita tidak selalu membutuhkan pahlawan baru. Kadang kita hanya perlu merawat warisan cara berpikir yang sudah terbukti menjaga akal sehat.”

Menatap Hari Esok dengan Tenang

Setelah semua keramaian reda, yang tersisa adalah pekerjaan yang menunggu di meja. Jalan yang perlu ditambal, drainase yang harus dibersihkan, kebijakan yang perlu ditulis ulang agar lebih adil, dan berita yang harus disusun agar lebih jernih. Di titik ini, sosok orang tua yang hadir dalam bentuk nasihat terasa paling kuat. Ia tidak menolong dalam bentuk tangan, tetapi dalam bentuk arah. Arah itu yang membuat langkah tidak tergesa, keputusan tidak pongah, dan wajah tidak terlalu sering menoleh ke cermin.

Di Makassar, arah itu punya jejak. Dari ruang redaksi ke ruang kebijakan, dari suara yang lembut ke tindakan yang tegas. Bagi Danny Pomanto, menyebut nama Alwi Hamu berarti menyebut sebuah ukuran. Ukuran yang tidak ditulis di plakat, melainkan di cara memegang amanah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *