Sosok Opu Daeng Risadju, Nama Jalan Baru di Makassar

Sosok Opu Daeng Risadju, Nama Jalan Baru di Makassar Di balik deru kendaraan yang berkejaran di kota, nama jalan sering kali menjadi pengingat halus tentang siapa saja yang pernah menyalakan obor keberanian. Ketika Makassar menamai sebuah ruas baru sebagai Jalan Opu Daeng Risadju, kota ini tidak sekadar menambah orientasi peta. Ia menanam penanda ingatan kolektif atas sosok perempuan Sulawesi Selatan yang mengubah sunyi menjadi nyali, dan rumah tangga menjadi markas perjuangan. Nama itu kini hadir di rambu, dipanggil oleh sopir angkutan, dan dicantumkan pada alamat toko. Setiap kali terdengar, sejarah pun berjalan kaki di trotoar kota.

“Memberi nama jalan pada seorang pejuang adalah cara kota berjanji untuk tidak mudah lupa.”

Perempuan Bugis yang Berubah Menjadi Api

Jejak Opu Daeng Risadju ditempa oleh zaman yang kasar. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan kebudayaan yang kuat, ketika masyarakat Bugis Makassar memegang teguh siri dan pacce, martabat dan solidaritas. Di pangkuan nilai itulah nyali berakar. Ia memulai hidup seperti banyak perempuan di masa itu, merawat keluarga, menjaga rumah, dan mengatur dapur. Namun gemuruh sejarah memanggilnya keluar, memintanya menukarkan kenyamanan harian dengan jalan sunyi yang menantang.

Kekuatan Opu lahir dari dua mata air yang saling menopang. Disiplin tradisi yang membesarkannya, dan rasa keadilan yang tak sudi melihat tanahnya dipaksa tunduk. Ketika ruang publik cenderung menutup diri bagi perempuan, ia menerobos, bukan untuk unjuk diri, melainkan untuk menjalankan panggilan zaman.

Dari Serambi Rumah ke Serambi Perlawanan

Tak ada markas mewah, tak ada panggung orasi yang aman. Serambi rumah menjadi tempat berkumpul, menulis, membagi kabar, dan menyusun langkah. Di ruang yang sempit, ia menganyam jaringan. Para ibu, pedagang pasar, pemuda kampung, pengajar madrasah, hingga tokoh adat duduk melingkar. Di sana ia belajar satu hal mendasar, bahwa perlawanan bukan hanya derap kaki di jalan, tetapi juga ketekunan menyambung asa dari pintu ke pintu.

Kekuatan organisasi yang dibangunnya mirip anyaman yang rapat. Satu putus, yang lain tetap menahan bentuk. Itulah mengapa ketika tekanan datang, gerakan tidak runtuh, hanya merunduk sebentar untuk kembali berdiri.

Bahasa yang Tegas, Hati yang Lembut

Banyak yang mengenang Opu sebagai sosok yang kata katanya berisi tetapi tidak membentak. Ia tidak menasihati dengan amarah, melainkan dengan kalimat yang membuat orang merasa diajak, bukan digiring. Cara berbicara seperti itu jarang, apalagi pada masa ketika suara perempuan sering ditepikan. Opu memahami bahwa menangkap hati adalah jalan terpendek menuju kesediaan orang bergerak bersama.

Ketika menghadapi pihak yang berseberangan, ia tidak kehilangan martabat. Ia tegak dalam sikap, rapi dalam argumen, dan sabar dalam menakar waktu. Kelembutan itulah yang membuat pesannya dibawa pulang oleh banyak orang, disampaikan lagi di meja makan keluarga, lalu diamalkan dalam tindakan sehari hari.

“Kepemimpinan terbaik adalah yang membuat orang merasa ikut memiliki keputusan.”

Perjuangan yang Tidak Memilih Jam

Seperti banyak pejuang di masa itu, hidup Opu Daeng Risadju tak diukur dari jam kerja kantoran. Pagi hari ia menyusun daftar tugas, siang ia bernegosiasi, sore ia menjahit pertemanan, dan malam ia menulis atau mengalirkan kabar. Ketika harus bergerak diam diam, ia mengubah ritme. Langkahnya memelankan diri, suaranya mengecil, tetapi jangkauannya melebar. Di ruang gelap itulah ia menyelamatkan benih benih harapan dari sapuan angin yang sering membawa kabar buruk.

Keletihan adalah bagian dari pekerjaan. Namun pada tiap jeda, ia selalu ingatkan kembali alasan mengapa semua ini dilakukan. Agar langkah tidak sekadar menjadi rutinitas, melainkan ibadah kepada tanah air yang dicintai.

Menggandeng Ulama, Adat, dan Kaum Muda

Kekuatan Opu tidak berdiri di satu kutub. Ia memadukan tiga energi yang kerap berjalan sendiri sendiri. Ulama yang membawa otoritas moral, adat yang menjaga rukun sosial, dan kaum muda yang memiliki keberanian untuk bergerak. Di titik temu itulah ia menjadi penjurit yang menyatukan ritme, memastikan perbedaan tidak menjadi retakan yang mudah disusupi.

Ketika anak muda ingin cepat, ia mengajarkan sabar yang strategis. Ketika pemuka adat mengutamakan tertib, ia mengingatkan bahwa adab tidak berarti pasif. Ketika ulama khawatir akan fitnah, ia menyusun cara bertindak yang rapi agar gerakan tetap bersih dari cela.

Rumah Tangga yang Berubah Jadi Jaringan

Bagi Opu, rumah tangga bukan alasan untuk berhenti, melainkan titik awal untuk memperluas kasih. Ia mengajari bahwa mendidik anak dan menjaga dapur dapat berjalan seiring dengan mendidik kampung dan menjaga marwah. Di masa ketika perempuan kerap dibebani standar ganda, ia tidak mengumbar protes, tetapi memamerkan bukti bahwa peran ganda bisa menjadi keunggulan jika ditata bijak.

Jaring pertemanannya lahir dari perjamuan sederhana. Secangkir teh, penganan singkat, dan percakapan yang jujur. Dari ruang kecil itu, kabar menyebar, gagasan ditukar, dan solidaritas diperkuat. Perlawanan yang besar selalu lahir dari pertemanan yang hangat.

“Perubahan besar sering dimulai dari meja kecil tempat dua orang saling percaya.”

Jejak Kesetiaan pada Marwah

Siri bagi orang Bugis Makassar adalah nadi. Siri memeluk martabat, dan martabat menuntun langkah. Opu Daeng Risadju menjadikan siri bukan sebagai tameng untuk menolak kritik, melainkan kompas untuk mengambil keputusan yang berani. Ketika dihadapkan pada pilihan mudah yang menuntut kompromi atas nilai, ia memilih jalan sulit yang menjaga marwah. Kesetiaan pada marwah membuatnya dihormati, bahkan oleh lawan yang keras kepala.

Mereka yang pernah duduk bersamanya sering bercerita tentang caranya menatap. Tatapan yang tidak menunduk, tidak pula menghardik, tetapi menegaskan bahwa di hadapan mereka berdiri seorang manusia yang tahu apa yang sedang ia perjuangkan.

Luka yang Dijahit Sunyi

Tak ada perjuangan tanpa luka. Opu kehilangan waktu, kehilangan kenyamanan, dan beberapa kali kehilangan ruang bernafas yang lapang. Namun luka tidak pernah ditukar menjadi dendam. Ia menjahitnya dengan sunyi, menambal dengan kerja kecil yang konsisten. Ia memahami satu rumus penting, bahwa dendam memberi tenaga cepat, tetapi cinta memberi tenaga panjang. Dengan bekal cinta itu, ia melewati malam malam gelap yang kadang menyisakan rasa sepi yang menakutkan.

Kepada orang orang yang patah hati oleh kerasnya zaman, ia menawari pelukan yang sederhana. Pelukan itu tidak menyelesaikan semua masalah, tetapi membuat orang kembali ingat bahwa mereka tidak sendirian.

Mengapa Nama Jalan Ini Penting

Nama jalan bukan hanya penunjuk arah. Ia adalah kurikulum ringkas bagi warga, terutama anak anak. Ketika mereka bertanya siapa Opu Daeng Risadju, kita punya alasan untuk membuka cerita. Tentang perempuan yang memimpin tanpa merasa perlu menjadi laki laki, tentang pemimpin yang bergaya halus tetapi berprinsip tebal, tentang warga yang mengubah rumah menjadi ruang publik yang aman. Jalan dengan nama ini membuat percakapan seperti itu mungkin terjadi di meja makan dan kelas kelas sekolah.

Secara psikologis, warga kota yang tiap hari melihat nama pejuang akan lebih mudah menyerap nilai nilai yang mereka wariskan. Kota pun pelan pelan membentuk karakter bersama, bukan sekadar mengatur lalu lintas.

“Kota tidak hanya dibangun oleh beton, tetapi juga oleh nama nama yang kita izinkan tinggal di peta.”

Arsitektur Memori di Ruang Kota

Rambu biru, huruf putih, dan tiang logam yang tegak adalah arsitektur memori yang sederhana. Namun di balik kesederhanaan itu, ada keputusan politik dan kebudayaan. Kota memilih siapa yang dihormati, mengapa dihormati, dan bagaimana generasi berikutnya diharapkan berjalan. Opu Daeng Risadju, dengan seluruh kisahnya, pantas mendapat tempat. Ia mewakili bab penting dalam buku besar perempuan Nusantara yang berjuang bukan untuk dinobatkan, melainkan untuk menyempurnakan makna pulang.

Penataan ruang sekitar jalan baru juga menjadi kesempatan. Trotoar yang ramah, pepohonan peneduh, mural edukatif di dinding fasilitas publik, dan sudut baca kecil di pos ronda akan menjadikan nama jalan ini tidak hanya cantik di alamat, tetapi juga nyaman ditempuh kaki dan mata.

Ekonomi Kerakyatan yang Pelan Namun Pasti

Jalan baru selalu membawa ekonomi baru. Toko kelontong, kios fotokopi, warung kopi, bengkel kecil, hingga gerai fesyen lokal akan bermunculan mengikuti arus manusia. Di sini, semangat Opu bisa diterjemahkan sebagai etos kerja yang jujur dan ulet. Pedagang yang sabar melayani, anak muda yang memulai usaha rumahan, dan komunitas warga yang menghidupkan pasar akhir pekan akan menjadikan ruas ini denyut baru di utara selatan Makassar.

Nama yang baik pada ruang yang hidup memberi resonansi yang panjang. Orang akan mengingat tidak hanya papan namanya, tetapi juga keramahan pedagang, bersihnya trotoar, dan rasa aman ketika berjalan malam.

Kelas Kecil tentang Kepemimpinan

Bayangkan seorang guru SD mengajak murid muridnya berjalan menyusuri jalan ini. Mereka berhenti di depan rambu, lalu sang guru bercerita tentang Opu. Tentang bagaimana memimpin bukan berarti selalu berada di panggung, tentang menyiapkan generasi dengan cara mendengar mereka bicara, tentang membawa nilai tanpa harus memaksa orang lain tertunduk. Dalam jarak seratus meter, murid murid itu mendapatkan kelas kepemimpinan tanpa buku teks yang tebal.

Esok lusa, salah satu dari mereka mungkin tumbuh menjadi pemimpin yang tetap mengingat pelajaran itu. Bahwa tegas bisa hadir bersama ramah, bahwa prinsip bisa berjalan beriringan dengan dialog.

“Pemimpin yang baik membuat orang merasa lebih percaya pada diri sendiri setelah bertemu dengannya.”

Menyulam Masa Lalu dengan Masa Depan

Nama jalan ini adalah jembatan yang menyulam masa lalu dengan masa depan. Di satu sisi, kita mengingat peran perempuan yang kerap tidak tercatat utuh dalam buku sejarah. Di sisi lain, kita menyalakan lampu di jalan yang akan dilalui generasi baru. Mereka berjalan di atas aspal yang halus, tetapi di kepala mereka terpatri kisah tentang orang orang yang menyiapkan jalan tanpa pernah meminta tepuk tangan.

Di gerai kecil yang baru buka, di beranda rumah yang menatap rambu, di bangku halte tempat siswa menunggu angkutan, Opu Daeng Risadju akan sering disebut. Nama itu akan jatuh dari bibir orang tua kepada anak, dari kakak kepada adik, dari sopir kepada penumpang. Kota pun menjadi ruang belajar yang tidak pernah tutup.

Rasa Syukur yang Diubah Jadi Kerja

Mengabadikan nama pejuang tidak berhenti pada ritus seremoni. Rasa syukur perlu diubah menjadi kerja yang menjaga kualitas jalan, kebersihan lingkungan, dan keamanan warga. Komunitas setempat dapat menginisiasi kegiatan rutin, dari bersih bersih kampung, menanam bibit pohon, hingga diskusi kecil tentang tokoh tokoh lokal. Pemerintah kota memastikan penerangan cukup, marka jalan jelas, dan fasilitas penyeberangan ramah anak serta penyandang disabilitas.

Ketika tanggung jawab dibagi rapi, nama jalan ini tidak akan cepat kusam. Ia akan tetap berkilau, bukan karena cat yang baru, tetapi karena perilaku warganya yang terus menata ruang bersama.

Menulis Ulang Peta Kebanggaan

Makassar adalah kota yang besar oleh pelabuhan, dagang, dan keberanian. Dengan memasukkan Opu Daeng Risadju ke peta, kota ini memperkaya daftar kebanggaannya. Bukan hanya para laksamana dan pedagang besar, tetapi juga perempuan yang menjaga api di tengah badai. Kota menjadi lebih lengkap ketika yang dikenang tidak hanya mereka yang memegang pedang, namun juga yang memegang kata dan hati.

Di peta digital, nama jalan ini akan mudah di-zoom. Di hati, ia lebih pelan, tetapi lebih dalam. Sebab ia menyentuh lapisan identitas yang membuat orang merasa punya akar dan cabang sekaligus.

“Di setiap kota, selalu ada nama yang membuat kita berdiri sedikit lebih tegak saat menyebutnya.”

Mengundang Warga untuk Menyapa

Nama jalan akan benar benar hidup ketika warga menyapanya. Pemilik usaha bisa menuliskan sejarah singkat Opu di balik struk. Sekolah bisa membuat kompetisi pidato bertema kepemimpinan perempuan. Komunitas kreatif bisa melukis mural yang elegan di dinding rumah warga setelah mendapatkan izin. Pengurus rukun tetangga bisa menamai taman kecil dengan tokoh tokoh perempuan lainnya agar jejaring ingatan makin rapat.

Makassar, dengan energi mudanya yang melimpah, punya semua bahan untuk membuat nama jalan ini menjadi gerakan kultural yang ramah. Setiap orang bisa memberi andil, sekecil apa pun, untuk memastikan nama itu tidak sekadar lewat di telinga, tetapi singgah di sanubari.

Mengakhiri Sunyi, Mengawali Laras

Pada akhirnya, Jalan Opu Daeng Risadju bukan hanya informasi bagi kurir paket. Ia adalah undangan untuk menoleh sejenak pada cermin sejarah dan bertanya, sudah sejauh mana kita menjaga marwah yang diwariskan. Kota yang besar adalah kota yang berani mengakui utangnya kepada para pendahulu, lalu membayar utang itu dengan kerja yang rapi, bahasa yang santun, dan keberanian yang jernih.

Di bawah rambu berwarna biru itu, tiap orang bebas menafsirkan. Bagi sebagian, ia sekadar alamat. Bagi yang lain, ia kompas. Dan bagi banyak anak yang sedang belajar mengeja, ia mungkin menjadi kata pertama yang mengenalkan mereka pada makna keberanian yang sederhana, lembut, dan tegak seperti perempuan yang namanya kini menghiasi peta Makassar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *